Opini

Opini: Megakorupsi, Luka Lama yang Tak Pernah Pulih

Data yang terungkap menunjukkan betapa masifnya kerugian negara akibat praktik korupsi yang sistematis ini. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
ILUSTRASI 

Terlalu sering kita bertanya mengapa megakorupsi menjadi kasus yang terus berulang dan menjadi luka yang sulit disembuhkan? 

Padahal, Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam ulasannya “Why Nations Fail” (Daron Acemoglu, 2012) sudah pernah menyinggung bahwa: institusi yang lemah menjadi penyebab utama kegagalan suatu negara dalam mensejahterakan rakyatnya dan gagal mencegah kejahatan sistematis ini. 

Megakorupsi adalah bukti nyata dari kegagalan institusi di Indonesia. Ketika sistem hukum dan politik tidak mampu menciptakan akuntabilitas, korupsi akan terus berkembangbiak, dan luka lama ini akan terus berdarah, menghambat kesejahteraan dan merusak kepercayaan publik.

Walaupun, Susan Rose-Ackerman pernah menawarkan solusi reformasi sistemik untuk memerangi korupsi, dalam karyanya: “Corruption and Government”, (Rose-Ackerman, 1999) sebuah upaya seperti pembentukan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Gerakan anti-korupsi oleh masyarakat sipil sebagai langkah mengalahkan korupsi. 

Sayangnya, tanpa perbaikan sistemik seperti penguatan institusi, transparansi, dan partisipasi publik (membangun kesadaran koloektif dan gerakan anti korupsi), luka lama ini akan terus berulang tanpa henti.

Hingga akhirnya, Ray Fisman dan Miriam A. Golden harus menyampaikan kenyataan pahit yang harus kita terima dalam “Corruption: What Everyone Needs to Know” (Golden, 2017) bahwa korupsi tidak hanya merugikan ekonomi tetapi juga mengancam stabilitas social dan keamanan nasional. 

Megakorupsi di Indonesia telah menciptakan ketimpangan sosial yang tajam (seperti: PHK Sirtex, kemiskinan ekstrem di daerah lahan kering bagian Indonesia Timur), memicu ketidakpuasan publik dengan berbagai kebijkan pemerintah yang aneh (seperti: efisiensi anggaran, pajak dinaikan), dan berpotensi memicu konflik. 

Ketika masyarakat melihat para pelaku korupsi hidup bergelimang harta sementara rakyatnya sendiri kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, kepercayaan terhadap negara semakin terkikis.

Megakorupsi merupakan cerminan dari kegagalan kolektif kita sebagai bangsa dan redupnya harapan kita menjadikan Indonesia emas ditahun yang akan datang. 

Hal itu ibarat luka lama yang tak kunjung pulih karena sebagian besar masyarakat Indonesia belum sepenuhnya berani membongkar sistem yang melahirkan tindakan jahat ini. 

Proses menyembuhkan luka ini, diperlukan keberanian politik, komitmen moral yang tinggi, dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat (kesadaran kolektif, keberanian kolektif dan tindakan kolektif untuk membumi-hanguskan korupsi baik ditingkat nasional, lokal, sampai dilevel yang paling kecil, seperti; komunitas agama, LSM, NGO, desa dan keluarga). (*)

Sumber: Pos Kupang
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved