Perbatasan Negara

Kelompok Ahli BNPP Sesalkan Pendudukan Naktuka oleh WN Timor Leste

Wilayah Naktuka saat ini masuk ke dalam salah satu unresolved segment, atau segmen batas wilayah yang sedang masuk dalam perundingan

Editor: Ryan Nong
POS-KUPANG.COM/HO-BNPP
PENDUDUKAN WILAYAH - Kelompok Ahli (Pokli) Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Hamidin, turut menyoroti permasalahan pendudukan Naktuka, Desa Oepoli, Amfoang Timur. 

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Kelompok Ahli (Pokli) Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Hamidin, menyoroti permasalahan pendudukan Naktuka, Desa Oepoli, Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh para petani dan pekebun berkewarganegaraan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL).

Wilayah Naktuka saat ini masuk ke dalam salah satu unresolved segment, atau segmen batas wilayah yang sedang masuk dalam perundingan Indonesia - Timor Leste zona Noel Besi - Citrana. 

"Kami turut menyesalkan sikap Timor Leste yang tidak menghormati daerah tersebut yang masuk dalam status quo atau belum disepakati kedua negara. Harusnya tidak ada aktivitas di sana," ungkap Hamidin dikutip dari laman resmi BNPP

Hamidin menjelaskan, pada bulan November 2023, pemerintah Timor Leste bersama Indonesia secara bersama sama telah memasang patok batas negara di Desa Bene Ufe, sub wilayah Nitibe, di wilayah Administratib Oe - Cusse Ambeno RAEOA, Timor Leste dengan NTT, Indonesia.   

Wilayah tersebut, berjarak hanya 4 kilometer dari Citrana Vila, wilayah terdekat dengan Timor, yang berbatasan langsung dengan Indonesia. 

Namun setelah pemasangan 70 patok, lanjut Hamidin, di perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste di Kampung Naktuka, terjadilah protes keras masyarakat Timor Leste terhadap pemerintahannya. Padahal pemasangan patok tersebut juga didukung oleh Perdana Menteri (PM) Xanana Gusmao. 

"Masyarakat menganggap pemasangan patok batas negara tersebut sangat beresiko, mereka akan kehilangan 270 hektare tanah pertanian andalan desa Bene Ufe sub wilayah Nitibe wilayah administratif Oe - Cusse Ambeno yang biasa mereka sebut RAEOA," jelasnya.

Ia menambahkan penjelasan, para warga Timor Leste marah, protes dan berharap agar pihak berwenang Timor segera mencabut kembali patok batas negara tersebut.  

Masyarakat baru mengetahui penandaan batas negara dan pemasangan patok tersebut pada pertengahan Desember 2023 lalu, tepatnya pada saat para penggarap tanah melihat patok batas tersebut telah berdiri terpasang.

Para warga, terang Hamidin lagi, takut jika titik-titik batas baru ini akan menentukan perbatasan antara Timor-Leste dan Indonesia, akan segera menjadi milik negara tetangganya Indonesia.  

"Di sinilah letak persoalan bahwa mereka merasa bahwa ruang gerak teritorial mereka akan segera dibatasi. Para Warga tidak ingin tanah menjadi milik Indonesia," terangnya lagi.

Hamidin melanjutkan penjelasan, para warga sebenernya kurang memiliki wawasan tentang kesepakatan batasa negara. Para warga yang menempati Naktuka masih minim bisa berbahasa Tetum atau bahasa nasional Timor leste. "Kebanyakan masih buta huruf tidak bisa baca tulis, buta aksara," jelasnya.  

Bahkan, banyak yang masih menggunakan bahasa Baikeno yang campur baur dengan bahasa Indonesia. "Para warga hanya tahu bahwa Naktuka adalah tanah negeri mereka, tanah tempat dilahirkan," tuturnya lagi.  

Hamidin juga mendeskripsikan, saat ini kondisi masyarakat yang tinggal di daerah Naktuka sangat tertinggal. Rumah para warga di Naktuka hanya terbuat dari gubuk bambu, pelepah palem, dengan atap dedaunan.

Daerah ini juga menjadi sorotan media belum memiliki jalan raya, listrik, sarana pelayanan kesehatan dan sekolah. 

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved