Opini
Opini: Imajinasi Kecil untuk Gubernur NTT, 21 Bupati dan Wali kota Kupang
Mereka dilantik Presiden RI Prabowo Subianto bersama kepala daerah lainnya dari seluruh penjuru Indonesia.
Oleh: Yoss Gerard Lema
Novelis, tinggal di Kota Kupang - NTT
POS-KUPANG.COM - Hari nan cerah. Propinsi Nusa Tenggara Timur bergembira. Indonesia Raya juga gembira.
Sebab telah lahir pemimpin baru NTT. Gubernur baru. 21 Bupati baru serta seorang wali kota baru. Dan lihatlah ke puncak-puncak gunung. Mutis, Lakaan, Iya, Meja, Wongge, Lewotobi, Ile Ape, Ile Mandiri, Sirung, Anak Ranakah, Ebulobo, Egon, Ile Boleng, Inerie, Kelimutu, Lewotobi Laki-Laki, Lewotobi Perempuan, Rokatenda, dll.
Di puncak gunung se-NTT bunga-bunga bermekaran. Aneka warna. Ada merah, putih, biru, kuning, coklat, hijau, hitam, jingga, dan lain-lain.
Indah dan sedap dipandang mata. Semakin menarik karena awan putih menggantung hanya beberapa meter dari puncak gunung. Dan sinar kemuliaan Tuhan memercikan cahaya kemilau di rembang pagi itu.
Sementara jutaan burung melintas di bawah awan putih dengan aneka formasi nan indah.
Itulah tanda restu alam raya menyambut pemimpin baru NTT. Wujud suka cita alam semesta dengan lahirnya pemimpin baru bagi Bumi Flobamora.
Mereka dilantik Presiden RI Prabowo Subianto bersama kepala daerah lainnya dari seluruh penjuru Indonesia.
Mereka bersumpah dan berjanji kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menjadi pejabat negara, pelayan masyarakat yang taat pada hukum dan undang-undang.
Tidak sampai di situ, atraksi alam raya pun berlanjut. Kepada Gubernur NTT, 21 Bupati dan Walikota Kupang alam raya Flobamora menunjukan potensinya yang masih tersisa.
Jutaan pohon berbaris rapi di seantero gunung, bukit dan lembah. Asam, kemiri, pinang, nangka, advokat, mangga, sirsak, kopi, cengkeh, jambu mente, jambu air, tuak, lontar, kelapa dan lain-lain. Pohon-pohon yang menghasilkan kayu juga unjuk gigi.
Beringin yang rimbun, kayu merah, jati, kayu putih, gaharu dan lain-lain. Yang tak terlihat adalah pohon cendana. Gubernur, bupati, wali kota mencari pohon itu.
Ternyata cendana terjepit di antara pohon-pohon lainnya. Bahkan
terlihat malu-malu. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Padahal aronanya sewangi sorga.
Kini panorama alam raya berganti rupa. Gubernur, 21 bupati dan wali kota terhenyak.
Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah jutaan hektar tanah kering. Inilah taring Bumi Flobamora sesungguhnya.
Saat kemarau, panas merajam, tanahnya retak, pecah, terbelah. Sebaliknya saat hujan lumpur di mana-mana.
Di tanah kering kerontang ini ditanami jagung, ubi, kacang-kacangan, ada juga padi ladang.
Sementara di lahan basah yang cuma ribuan hektar padi sawah tumbuh. Subur? Entalah. Padahal begitu banyak bendungan, embung-embung, saluran irigasi, dll telah dibangun sejak era Orde Baru dan era Reformasi.
Kini atraksi alam raya berpindah ke sungai-sungai di NTT. Gubernur dan 21 Bupati dan Wali kota diam seribu bahasa. Sebab banyak sungai atau kali telah kering. Jalur airnya masih ada.
Nanti saat musim hujan sungai-sungai itu mengamuk. Banjir. Di mana-mana banjir. Menggulung apa saja, termasuk manusia, hewan dan gubuk-gubuk reyot si miskin.
Siapa yang salah? Entahla!!! Dulu yang paling sering disalahkan adalah budaya tebas bakar dalam pengolahan tanah tradisional. Tapi sekarang?
Justru mesin chainsaw seperti musik disco yang meraung di hutan-hutan. Begitu juga pembongkaran tanah atas nama pembangunan dan rupiah. Kelestarian ekologi hancur sehancur hancurnya.
Pembabatan hutan terjadi di mana-mana. Padahal akar tunggang dan serabut pada pohon-pohon secara alamiah menjadi penampung air hujan.
Bila hutan sudah gundul, gunung, bukit, lembah seperti telanjang bulat. Rakyat bisa apa haaa?
Di tengah keprihatinan ini saya teringat pada almarhum Gubernur El Tari. Seorang Jendral TNI brilian, putra Sabu. Programnya sederhana yaitu Tanam… Tanam…Tanam… Sekali lagi Tanam.
Terlihat jelas El Tari memiliki visi jauh. Dia tahu isi otak orang NTT. Dia hafal budaya masyarakatnya. Dia kenal sistem tebas warisan nenek moyang.
Namun, dia tidak membayangkan kerakusan ekonomi generasi hari ini yang berhamba pada uang. Dan hari ini kita semakin kelabakan akibat sengatan matahari yang membakar hingga sumsum desa dan kota.
Tarian Kuda Sandelwood
Atraksi alam raya kini menampilkan dunia binatang. Gubernur, 21 Bupati dan wali kota secara seksama memperhatikan. Ternak-ternak dari seluruh penjuru Flobamora memenuhi padang penggembalaan.
Sapi, kerbau, kambing, babi, domba, anjing, ayam, itik, dll. Yang menarik semua hewan-hewan itu memakai kain tenun ikat. Indah sekali.
Hewan-hewan itu adalah hewan adat. Dipotong saat pesta. Suara mereka beragam. Ada yang mengembik. Ayam berkokok. Anjing menggonggong.
Sapi dan kerbau mendengus. Sayang tubuh mereka rata-rata kurus. Sapi, tinggal kulit pembungkus tulang. Katanya, akibat rumputnya kurang.
Budaya paron dulu tren. Kini tinggal kenangan. Mungkin hanya beberapa keluarga masih menjalani.
Dulu rata-rata berat sapi paron antara 800 sampai 1000 kilogram. Bahkan dilombakan. Sedangkan yang diantarpulaukan ke Jawa atau Hongkong minimal beratnya 500 kg.
Tapi sekarang syukur-syukur bisa dapat seberat 300 kg. Seperti rusa dewasa. Kenapa? Entahlah!!! Yang pasti menjadi petani dan peternak bukan lagi pilihan anak-anak desa.
Mereka lebih senang merantau ke luar daerah. Keluarga negeri, bekerja di perkebunan kelapa sawit. Konon, pendapatannya bagus.
Di tengah Gubernur, 21 bupati dan Wali kota sedang memperhatikan hewan-hewan itu, dari kejauhan ribuan kuda sandelwood dan kerbau berlari kencang memasuki arena.
Kuda-kuda dan kerbau juga mengenakan tenun ikat Sumba yang mahal. Mereka hewan adat. Gong dan gendang bertalu-talu. Indah, menggetarkan.
Lepas dari atraksi di padang savana penggembalaan, kini tibalah ikan-ikan menunjukan diri kepada Gubernur NTT, 21 Bupati dan wali kota.
Atraksi pertama menyajikan ribuan ikan lumba-lumba berenang timbul tenggelam. Seolah memberi hormat kepada pemimpin baru Bumi Flobamora.
Yang tak mau ketinggalan jutaan ikan terbang berterbangan kesana kemari. Menyusul di belakangnya barisan ikan pari, tongkol, blang kuning, ikan kakap merah, kakap putih, gurita, belut, dll.
Barisan terakhir adalah ribuan ikan paus melakukan manuver hingga dekat bibir pantai.
Bahkan pimpinan paus memberi aba-aba untuk menyemprotkan air ke udara. Semprotan itu melambung tinggi ke udara.
Airnya bagai pancuran yang turun ke tepi pantai. Gubernur dan 21 Bupati dan Wali kota basah kuyub. Mereka semua tertawa berderai.
Tanpa sadar mereka baru saja dipermandikan alam raya untuk menjadi pemimpin yang melayani rakyat dan peduli pada keseimbangan ekologi.
Bersamaan dengan itu jutaan ikan kecil menyerbu ke pantai. Membiarkan dirinya ditangkap masyarakat. Kombong, serdin, ewer, siput, gurita, dan sebagainya.
Warga datang dengan membawa ember untuk mencedok ikan. Rumput laut muda juga menyerbu, mengklaim dirinya juga sebagai potensi.
Tak ketinggalah tambak-tambak garam tiba-tiba terisi penuh. Bahkan tongkang-tongkang di laut penuh dengan garam yang asin.
Begitu juga siput-siput naik ke darat. Gubernur dan 21 Bupati dan Wali kota membelakkan mata. Sebab di dalam dagingnya tersimpan butir-butir mutiara dengan cahaya cemerlang.
Ooooh Tuhan betapa indah tangan kasihMu kepada rakyat di Bumi Flobamora. Mudah-mudahan Gubernur dan 21 Bupati dan Wali kota adalah orang baik. Cerdas, jujur, berani dan tulus melayani rakyat.
Belajarlah dari Bung Karno
Kini atraksi alam raya menuju senja kemerahan. Matahari terlihat jingga. Sunset. Dimana-mana sunset. Labuan Bajo bagai permata jingga dari selatan.
Tanjung Bunga membius sore melankolis. Senja di Kota Kupang memandikan Lasiana dan Nunsui seindah bibir soerga.
Sabu, Rote, Adonara, Lembata memperlihatkan sunset penuh cerita. Dan di bibir pantai berpasir putih menempatkan sunset Sumba lebih indah dari Bali.
Namun, greget sunset terindah sesungguhnya ada di bibir pantai Kota Ende. Inilah sunset bersejarah. Karena yang menikmati sunset saat itu adalah Bung Karno.
Saking kagumnya Singa Podium itu duduk terpaku bisu. Dia menatap Pulau Ende di kejauhan sambil meneteskan air mata.
Hingga sunset kuning emas itu ditelan lautan. Kemudian remang-remang, yang terdengar hanyalah deru gelombang yang pecah di bibir pantai.
Lalu hening. Bening. Tanpa kata-kata. Hanya nafas yang keluar dari mulut Sang Orator ulung itu. Dia pun kembali ke rumah kontrakannya di jalan Perwira Ende, Flores.
Di rumah dia disambut Inggit Ganarsi, istrinya tercinta. Keduanya saling menatap. Hati mereka yang bicara. Lalu ditatapnya Ratna Djuami, anak angkatnya tersayang. Bung Karno lalu ke sumur. Ambil air wudhu.
Beberapa menit kemudian dia telah berada di kamar doa. Dia sholat. Sujud sesujud-sujudnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berdoa sambal meneteskan air mata, ingusnya berhamburan.
Sholat lima waktu dijalankan dalam kepasrahan (1934-1938). Heniiing. Sungguh hening. Dia percaya Tuhan ada di dalam keheningan. Tuhan mendengar isak tangisnya.
Tuhan tahu, sebagai pemimpin, Bung Karno hanya fokus tentang nasih rakyatnya. Nasib bangsa terjajah. Sehingga rumah kontrakan di jalam Perwira itu sesungguhnya adalah rumah air mata dari seorang pemimpin.
Karena pemimpin seharusnya seperti itu. Yang dipikirkan di dalam otaknya, batinnya, hatinya, jiwanya hanyalah penderitaan rakyatnya.
Jadi jalan-jalan di kota kecil Ende yang pernah dilalui Bung Karno adalah jalan air mata. Karena sambil berjalan yang dipikirkan cuma nasib rakyatnya yang miskin papah, hidupnya tertunta-lunta.
Selama empat tahun Bung Karno melakukan retret di Ende. Tuhan mengaruniakan ilham kepada Bung Karno. Di bawah pohon sukun bercabang lima ilham suci itu merasuk ke dalam hatinya.
Menjalar ke seluruh syaraf dan pori-porinya. Dan menjadi cahaya dalam batinnya.
Di Ende inilah sesungguhnya Bung Karno menyaksikan Pancasila yang hidup dalam adat budaya orang Ende Lio. Dan jadilah Pancasila dasar negara. Fondasi kokoh yang bersumber dari budaya bangsa.
Pada titik inilah Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Wali kota/Wakil Wali kota hendaknya menyelami sejarah saat Bung Kano berada di Ende.
Walau dalam pembuangan seorang pemimpin rakyat, pemimpin politik, tetap teguh memikirkan nasib rakyatnya. Rakyat yang miskin, papah, hidup terlunta lunta.
Buat apa menjadi pejabat negara bila jabatannya hanya untuk mencuri uang dari rakyatnya.
Realita ini kini kasat mata di seluruh antero negeri. Sehingga Gubernur Melki Laka Lena dan Wakil Gubernur Johni Asadoma, serta 21 Bupati dan Wakil Bupati dan Wali kota Kupang dan Wakil Walikota Kupang setelah melakukan retret di Lembah Tidar Magelang, hendaknya melakukan retret di rumah Bung Karno di Ende.
Belajar kepemimpinan dari pemimpin sejati, negarawan sejati, tegas, jujur, berani membela kebenaran dan memanusiakan para jelata.
Semoga setelah keluar dari retret di rumah Bung Karno di Ende mudah-mudahan Gubernur Melki Laka Lena dan Wakil Gubernur Johni Asa Doma dan 21 Bupati dan Wakil Bupati serta Wali kota Kupang dan Wakil Wali kota Kupang mampu membangun ‘jembatan emas baru’ yang bisa memberikan harapan baru bagi rakyat miskin, bayi-bayi stunting, penggangguran, anak-anak disalibitas, anak putus sekolah/putus kuliah, serta nasib petani, peternak, nelayan, pedagang, dll.
Membangun jembatan emas baru menuju rakyat NTT sejahtera tidaklah susah. Tapi tidak juga gampang. Sebab akar dari segala kehancuran ekonomi Indonésia hanya satu. Korupsi.
Yang dituntut dari semua pemimpin adalah bekerja secara transparan. Tidak tipu-tipu. Menggunakan sistem digital. Bisa? Harusnya bisa.
Pada titik ini Gubernur dan 21 Bupati dan Wali kota mesti membangun tekad bersama. Dimulai dari diri sendiri. Lalu amuk getarannya ditaati jajarannya di Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.
Berjanji pada dirinya sendiri. “Menjadi pemimpin daerah: berpikir pun jangan untuk menjadi koruptor”.
Karena koruptor sesungguhnya ada dua kategori. Pertama, yang sudah ditangkap jumlahnya baru sedikit. Kedua, yang belum ditangkap, jumlahnya sangat banyak. Setiap hari masih terus mencuri dan mencuri.
Pendapat umum mengatakan, akar kemiskinan adalah kebodohan, buta huruf, malas dan tidak mau maju.
Namun, Oscar Arias Sanches, Presiden Costa Rica (1986-1990) pemenang Nobel perdamaian 1987 ketika menulis prakata dalam buku Strategi Memberantas Korupsi yang ditulis Jeremy Pope tahun 2002 mengatakan, korupsi membawa akibat langsung, yaitu memperparah kemelaratan rakyat dan memperlemah lembaga-lembaga demokrasi.
Karena itu, korupsi bukan disebabkan oleh kemiskinan, tetapi sebaliknya justru kemiskinan disebabkan oleh korupsi.
Selamat bekerja Pak Gubernur NTT dan 21 Bupati di NTT dan Pak Wali kota Kupang.
Beranilah berantaslah korupsi di NTT seperti yang dipesankan Presiden Prabowo saat retret di Magelang. Bukankah potensi alam raya NTT berlimpah? Semoga! (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.