NTT Terkini
Romo Leo Mali Sebut TPPO dan TPKS Terjadi karena Mentalitas Hamba
Ia mengatakan sensibilitas kegentingan masalah ini sangat kurang, artinya Lemahnya kesadaran masyarakat, tambahnya.
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Maria Vianey Gunu Gokok
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Romo Leo Mali menyebutkan Tindak Pidana Perdagangan Orang
TPKS (TPPO) dan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) terjadi karena mentalitas hamba.
"Ada mentalitas hamba dalam masyarakat kita. Sebagai subjek masyarakat belum merdeka. Tidak ada sosial denail yang muncul dari masyarakat untuk mendorong negara mengangkat masalah ini," ujar Romo Leo, Rabu (5/3/2025).
Romo Leo Mali menegaskan hal itu saat hadir sebagai pemateri dalam kegiatan Lokakarya humanis. Lokakarya ini membahas terkait penguatan psikologis pekerja Kemanusiaan dalam isu TPPO dan TPKS di NTT : Mendampingi, Merawat dan Menguatkan, yang diberlangsung di Biara Susteran SSps, Kelurahan Belo, Kecamatan Maulafa, Kupang NTT.
Romo Leo menggambarkan situasi awal tahun 2000an terkait isu TPPO dan TPKS.
Baca juga: 28 Jenazah PMI Asal NTT Dipulangkan, Tiga Kabupaten Catat Rekor Tertinggi

"Dulu orang tidak melihat ini sebagai masalah, ini seperti hal yang wajar di dalam keluarga dan masyarakat," ujarnya.
Rohaniwan yang menjadi penulis Renungan Harian Katolik di POS-KUPANG.COM ini mengaku pada awal tahun 2000-an, ia membuat jadwal khusus untuk unjuk rasa terkait topik perdagangan manusia ini.
"Dulu saya buat jadwal dari hari Senin sampai Kamis untuk turun ribut-ribut soal hal ini. Tujuannya supaya di beritakan," ujarnya.
Ia pun mengklasifikasikan penyebab TPPO san TPKS saat ini ada tiga yaitu normalisasi eksploitasi, lemahnya penanganan hukum dan lemahnya kesadaran masyarakat.
Ia berpendapat bahwa dilapisan masyarakat, yang paling berbahaya dalam peradapan, terjadi ketika kejahatan dianggap hal biasa.
Normalisasi eksploitasi, menurutnya ketika seorang perempuan berangkat ke malaysia dan mendapat kekerasan, pihak keluarga menanggapinya sebagai suatu kondisi yang biasa.
Setelah hal ini terjadi, penegakan hukum yang lemah, ternyata negara juga menganggap hal ini biasa, sehingga pihak hukum tidak serius mengatasi masalah ini, lanjutnya.
Ia mengatakan sensibilitas kegentingan masalah ini sangat kurang, artinya lemahnya kesadaran masyarakat.
"Ada mentalitas hamba dalam masyarakat, secara khusus pada sebagian perempuan Sumba Barat Daya," terangnya.
Ia menggambarkan kondisi perempuan SBD yang memang tidak menganggap situasi mereka sebagai hamba, hal ini sebagai dampak dari mentalitas hamba dan normalisasi ekploitasi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.