Opini
Opini: Aku dan Santarang
Dalam tulisan itu digambarkan tentang awal pembentukan dan kegiatan apresiasi-kritik yang telah dilakukan komunitas.
Alasan ia memilih puisi-puisi Mario sebagai subyek penelitian bukunya adalah karena Mario adalah sosok penting bagaimana ia dapat mengakses bacaan-bacaan, khususnya bacaan sastra.
Tugas yang tak kalah penting bagi sebuah jurnal untuk tetap eksis adalah pemasaran. Setelah terbit, Mario mengantarkan Santarang kepada para pembeli. Sementara itu saya ditugaskan menjadi ‘agen’ di seminari tinggi.
Setiap bulan saya menjual 10 eksemplar di antara frater-frater seharga Rp10.000.
Sebelum sempat bersyukur karena kerja kreatif satu bulan baru terlepas dari pundak, tanpa terasa bulan baru telah tiba.
Penerbitan Santarang per bulan ini bertahan selama 5 tahun. Upaya untuk mengumpulkan, menyeleksi, menerbitkan dan mendistribusi naskah kami jalani dengan semangat yang militan sampai di usia yang ke-12 tahun ini.
Proses kreatif saya dalam membaca dan menulis bertumbuh bersama Santarang. Kini, Santarang tak lagi cetak bulanan seperti di awal penerbitannya.
Format penerbitan Santarang sempat berganti-ganti. Semesteran, dwibulan, hingga mengambil format triwulan seperti terbitan tiga tahun terakhir ini.
Meski berubah-ubah, kita tentu tahu bahwa karya sastra tak dibatasi dimensi ruang dan waktu.
Beberapa waktu lalu sebelum ulang tahun Dusun Flobamora ke-14, saat Felix K. Nesi memesan semua edisi jurnal sastra Santarang lewat grup WhatsApp Dusun Flobamora, saya menjadi semakin yakin bahwa memang demikianlah hakikatnya sebuah karya sastra. Ia melampaui zaman.
Segala upaya yang dilakukan Dusun Flobamora melalui jurnal sastra Santarang tentu bukan dalam posisi Mardinah, anak pensiunan juru tulis dalam novel “Gadis Pantai” (1987) karya Pramoedya Ananta Toer, yang pandai membaca aksara tapi tak berpihak kepada yang lain.
Ini hanyalah langkah kecil yang terus dipelihara dan dijaga dengan ketulusan sekaligus upaya memelihara rasa ingin tahu, tepat seperti yang dilakukan Gadis Pantai saat membersihkan bufet segitiga di rumah Bendoro dan melihat sebuah buku tebal yang berdiri, yang sekalipun buta aksara tapi masih punya keyakinan, “Barangkali saja anakku nanti bisa membacanya.” (*)
Saddam HP
Santarang
jurnal sastra Santarang
Opini Pos Kupang
Felix K Nesi
sastrawan Mario F. Lawi
Cyprian Bitin Berek
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.