Opini

Opini: Membangun Relasi Harmonis Sekolah dan Komite

Relasi yang harmonis dapat tercipta ketika setiap pihak tidak memaksakan kehendak dan pendapatnya sebagai yang paling benar. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Adrianus Ngongo 

Oleh: Adrianus Ngongo
Guru SMK Negeri 2 Kupang, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Relasi antara sekolah (kepala sekolah dan guru) dengan komite sekolah kadang memasuki masa gelap. Beberapa berita di media menyajikan ketidakharmonisan hubungan kedua belah pihak.

Signalgonews.com menulis pertikaian antara Kepala SMA Negeri 5 Padang dengan Komite sekolah. 

Sementara di aras lokal Nusa Tenggara Timur (NTT), baru-baru ini Komite SMK Negeri 2 Kupang melaporkan Plt. Kepala SMK Negeri 2 Kupang ke Komisi V DPRD Provinsi NTT.

Kedua contoh konflik ini memantik diskusi soal model relasi ideal Komite Sekolah dan Sekolah. 

Apakah relasi keduanya merupakan kompetitor yangsaling bersaing dan menjatuhkan satu sama lain untuk menentukan siapa yang terbaik ataukah keduanya adalah mitra sejajar yang (harusnya) matang dan dewasa dalam menyikapi berbagai persoalan dan fenomena yang terjadi di sekolah?

Hemat penulis, relasi sekolah dan komite sekolah harus dilandasi oleh semangat keharmonisan untuk mendukung tumbuh kembang anak didik. 

Berbagai masalah yang dapat saja terjadi di antara keduanya tidak boleh mengganggu spirit mengutamakan kepentingan terbaik anak didik.

Komite Sekolah

Peraturan Menteri Pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah mendefinisikan komite sekolah sebagai lembaga mandiri yang beranggotakan orangtua/wali peserta didik, komunitas sekolah serta tokoh Masyarakat yang peduli Pendidikan. 

Komite sekolah adalah badan yang anggota-anggotanya berasal dari lingkungan Masyarakat dan sekolah yang memiliki kepedulian terhadap Pendidikan dan berkontribusi dalam proses Pendidikan melalui perannya sebagai badan pertimbangan, pendukung, pengontrol dan penghubung Masyarakat dan pemerintah (Syamsudin, 2018).

Dalam menjalankan fungsinya meningkatkan mutu layanan Pendidikan, komite sekolah berpegang pada asas gotong royong, demokratis, mandiri, profesional dan akuntabel. 

Sementara tugas utama komite adalah memberikan pertimbangan dan penentuan dan pelaksanaan kebijakan sekolah, menggalang dana dan sumber daya Pendidikan dari pihak ketiga, mengawasi pelayanan Pendidikan di sekolah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan serta menindaklanjuti keluhan, saran, kritik dan aspirasi peserta didik, orangtua/wali dan masyarakat umum.

Pembentukan Komite sekolah perlu memperhatikan tiga unsur utama: pertama, orangtua/wali siswa yang masih aktif pada sekolah yang bersangkutan sebanyak paling banyak 50 persen. 

Kedua, tokoh masyarakat yang memiliki pekerjaan dan perilaku hidup yang dapat menjadi panutan bagi masyarakat dan anggota/pengurus organisasi atau kelompok masyarakat peduli pendidikan paling banyak 30 persen;

Ketiga, pakar pendidikan (pensiunan tenaga pendidik dan atau orang yang memiliki pengalaman di bidang Pendidikan) juga paling banyak 30 persen. Persentase 100  disesuaikan dengan kondisi sekolah setempat.

Lima Sumber Konflik

Relasi Sekolah dan Komite Sekolah dapat saja terganggu. Zebua (2024) menyebutkan ada lima faktor pemicu konflik yang terjadi antara sekolah dan komite sekolah. Pertama, kepribadian.

Beragamnya manusia yang tergabung di sekolah dengan beragam kepribadian tentu saja dapat memicu terjadinya konflik. Reaksi dan respon tipe orang introvert tentu berbeda dengan yang ekstrovert.

Perbedaan ini dapat saja menjadi pemicu konflik antar pihak. Kedua, kebijakan. 

Kebijakan yang dilahirkan di sekolah dapat saja memicu terjadinya konflik. Kebijakan yang tidak mengakomodasi kepentingan anak didik dan seluruh komponen sekolah adalah salah satu sumber konflik yang memecah persatuan dan persaudaraan. 

Contohnya kebijakan yang menganakemaskan guru tertentu akan memicu kecemburuan dan kemarahan dari guru yang lain. 

Guru baru dengan status honorer dan mendapatkan imbalan finansial yang lebih besar dibandingkan guru senior adalah contoh praktis kebijakan yang salah arah.

Ketiga, konflik kepentingan. Sekolah-sekolah besar dengan jumlah guru/pegawai ratusan dan anak didik ribuan, rawan dengan kejadian konflik kepentingan. 

Perebutan jabatan, jam mengajar, tunjangan dan proyek di sekolah menjadi menu harian yang menciptakan situasi yang tidak kondusif.

Saat ini, eskalasi konflik yang meningkat biasanya dipicu oleh masalah kepentingan. Sebuah persoalan yang sederhana dapat menjadi sangat rawan karena diboncengi kepentingan pihak tertentu.

Keempat, komunikasi. Komunikasi adalah salah satu kunci untuk memastikan adanya pemahaman yang sama atas sebuah kebijakan atau kegiatan. 

Mandegnya komunikasi dapat berakibat pada lahirnya salah paham atas kebijakan dan kegiatan yang dilakukan. 

Pertemuan-pertemuan kecil di ruang-ruang sempit oleh segelintir orang adalah tanda ada jalur komunikasi yang tidak terakomodasi.

Isu-isu liar yang tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya yang ditiupkan ke khalayak adalah tanda lain tentang komunikasi yang bermasalah.

Kelima, perbedaan pendapat. Keberagaman jenis manusia yang ada di sekolah tentu akan melahirkan beragam pendapat. 

Keragaman pendapat sering terjadi karena perbedaan orientasi kerja, kepentingan dan kesalahpahaman. 

Jika perbedaan pendapat tidak segera diselesaikan dengan dialog dan komunikasi yang terbuka antar pihak maka konflik dapat berkelanjutan.

Kepentingan Terbaik Anak Didik

Titik temu antara sekolah dan komite sekolah adalah kepentingan terbaik anak didik. Ketika kepentingan terbaik anak didik menjadi titik kulminasi semua kebijakan dan kegiatan di sekolah maka banyak konflik akan mampu diredam. 

Setiap kali ada soal/masalah muncul maka kedua pihak mesti berpedoman pada pertanyaan reflektif, apakah yang saya katakan dan lakukansungguh merefleksikan kepentingan terbaik anak didik. 

Jika tidak mengakomodasi kepentingan anak didik maka masalah tersebut tidak layak diteruskan. Kedua pihak perlu duduk bersama untuk menemukan solusi terbaik tanpa mencari dukungan dari pihak ketiga yang dapat saja memperuncing persoalan.

Untuk itu perlu dipastikan bahwa sekolah dan komite bebas dari kepentingan lain seperti mengejar jabatan dan keuntungan. 

Kedua pihak mesti memusatkan seluruh perhatian dan energinya bagi pemenuhan kepentingan anak didik. Anak didik adalah sentral dari seluruh rangkaian kebijakan dan kegiatan yang dilaksanakan di sekolah.

Sejalan dengan itu, perlu juga diperhatikan agar kedua pihak menurunkan ego  dan kepentingan pribadi/golongan. 

Relasi yang harmonis dapat tercipta ketika setiap pihak tidak memaksakan kehendak dan pendapatnya sebagai yang paling benar. 

Masing-masing harus legowo memeriksa secara kritis pendapatnya dengan mempertimbangkan secara saksama pemenuhan kepentingan anak didik.

Menempatkan kepentingan umum terutama kepentingan anak didik di atas kepentingan pribadi dan golongan akan menjadikan sekolah sebagai taman yang indah bagi bermekarannya bunga-bunga bangsa yang menebarkan keharuman ke seluruh pelosok negeri. (*)

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved