Opini

Opini: Sebuah Refleksi Tentang Hari Orang Sakit

Sakit dan ketidakmampuan manusia yang terbatas ketidakmampuan (powerlessness) manusia terdiri dari berbagai macam bentuk. 

Editor: Dion DB Putra
wikimediacommons
ILUSTRASI 

Oleh: Beni Wego
Anggota NACC, tinggal di Amerika Serikat

POS-KUPANG.COM - Gereja memperingati hari orang sakit sedunia tanggal 11 Pebruari. Mengapa judul tulisan ini tentang sebuah refleksi. 

Pertama, pengalaman sakit adalah pengalaman (reflektif) setiap insan manusia. Tidak ada orang yang tidak pernah (merasa) sakit atau mengalami sakit. 

Realitas itu melahirkan banyak pertanyaan. Yang terpenting dari pertanyaan itu adalah bagaimana manusia dapat mengerti dan menerima kenyataan itu. 

Kedua adalah jalan keluar yang diambil manusia berhubungan dengan aspek pertama tadi.

Kedua hal di atas saling mengandaikan. Tidak ada pengalaman sakit tanpa usaha untuk mengatasinya dan sebaliknya jalan keluar hanya terjadi jika persoalan diketahui dengan jelas.

Uniknya manusia menerima dan mengatasi pengalaman sakit dengan cara yang berbeda-beda. 

Konsekuensi yang langsung mengikutinya adalah manusia harus cerdas, kreatif dan rajin mencari jalan yang relevan dan tepat untuk mengatasi suatu penyakit dan akibatnya.

Kata refleksi dengan begitu dapat dimasukan dalam konteks di atas. Dengan kata lain, manusia bukan hanya berdiam diri, pasif dan bermenung. 

Ia merefleksikan diri. Mengapa jalan reflektif dibutuhkan dan penting dalam realitas manusia yang satu ini, kiranya, berikut beberapa alasan.

Sakit dan ketidakmampuan manusia yang terbatas ketidakmampuan (powerlessness) manusia terdiri dari berbagai macam bentuk. 

Salah satunya adalah ketika manusia menghadapi penyakit. Ketika manusia mengalami sakit, ia sebetulnya kehilangan kekuatan yang dibutuhkan untuk menjalankan kehidupan secara penuh dan memadai.

Dengan itu ketidakmampuan manusia adalah bagian integral dari manusia. Manusia tidak sehat setiap saat apalagi sempurna. 

Sakit dan rasa sakit menunjukkan bahwa manusia tidak bisa dipisahkan atau memisahkan diri dari sesama.

Manusia berpotensi mengalami penurunan kapasitas entah fisik, psikis, sosial, dan spiritual. Ada kemungkinan ia tidak mendapatkan power (kekuatan yang tetap dan konstan untuk menjalankan setiap dimensi kehidupan).

Ia tidak selamanya hidup dalam suatu keadaan yang stabil atau tanpa kekurangan apapun termasuk berkurangnya kemampuan yang ditimbulkan oleh penyakit.

Di sisi lain, sakit dan rasa sakit bisa berasal dari luar. Dan karena itu manusia tidak bisa antisipasi atau tidak tahu dan membutuhkan bantuan dari 
orang yang memiliki kemampuan yang memadai dan membantu. 

Manusia bersifat terbatas dalam dirinya. Maka, ia juga bergantung kepada orang lain dan banyak sumber yang dipercaya meskipun sebab dari suatu penderitaan itu berasal dari dalam dirinya.

Dalam konteks ini A Catholic Christian Meta-Model of the Person for Mental Health Practice (2020) yang diracik dan diterbitkan oleh Universitas Katolik, Divine Mercy University di Virginia dapat menjadi bahan belajar yang berguna.

Pendekatan yang diterapkan dalam proses penyembuhan (healing dan recovery) dilakukan secara dan bersifat komperensif dan holistik. 

Misalnya masalah atau keluhan dari klien atau pasien dapat didekati dari sudut pandang dan perspektif yang berbeda psikologi, filsafat dan teologi. 

Tujuannya adalah untuk melihat persoalan healing dan recovery dari perspektif yang tepat dan berkualitas.

Manusia yang multidimensional

Pendekatan itu hendak mengedepankan bahwa manusia, sekalipun ia tampak begitu jelas, terang benderang di hadapan manusia lain, ia tetap memiliki dimensi-dimensi lain yang kompleks, tak kelihatan dan masih terselubung.

Pendekatan yang dilakukan oleh Paul C Vitz, William J. Nordling and Craig Steven Titus (2020) menunjukkan kepada kita betapa manusia adalah makhluk yang multi dimensi dan kompleks.

Oleh karena itu cara penanganan atas masalah yang dihadapi mesti dilakukan dari banyak perspektif yang berbeda secara benar. Singkatnya pendekatan metamodel adalah konsekuensi dari manusia yang multi dimensional.

Gagal memahami manusia atau salah mendiagnosa persoalannya, ia dengan mudah jatuh dalam pengertian dan pemahaman tentang manusia secara dangkal dan reduksi yang berbahaya.

Sebaliknya pemahaman dan pengertain yang teliti, detail, holistik dan konferensif tentang manusia, akan membantu manusia memahami dirinya dengan objektif tanpa fabrikasi apalagi hanya untuk mencari tahu.

Sampai di sini soalnya bukan apakah setiap masalah menyangkut healing dan recovery dapat diselesaikan secepatnya melainkan seberapa objektif pengertian dan pemahaman atas manusia dan persoalan yang ujung-ujungnya adalah kesembuhan dan kebahagiaan manusia atas diri dan kapasitasnya.

Manusia sebagai Persona

Meta-model membaca dan mengerti manusia sebagai Person. Berasal dari bahasa Latin kata persona berarti mask (Indonesia: topeng). Persona berarti aktor atau pelakon di pentas.

Seorang pelakon memainkan karakter tertentu dalam drama misalnya. Yang ditunjukkan oleh seorang pelakon/aktor hanya sebagian bukan seluruh karakter yang direpresentasi. 

Jadi manusia sebagai persona adalah keseluruhan. Sebagian besar dari keseluruhannya tidak kelihatan atau nampak.

Itu berarti ketika manusia merasa sakit atau mengalami keadaan sakit, sebagian dari diri perlu mendapat perhatian dari keseluruhan yang tidak tampak. Dengan kata lain, rasa sakit merefleksikan manusia sebagai keseluruhan.

Proses pendekatan dengan fokus pada manusia sebagai persona akan menghasilkan outcome yang menampakan lebih luas dan mendalam dimensi- dimensi terdalam dari manusia yang tidak atau belum tertemukan sebelumnya. 

Kesempatan penyembuhan bisa menjadi proses (re)discovery (penemuan) yang dapat melahirkan dimensi dan kemungkinan arah baru. Dalam spiritualitas disebut transformasi.

Surat dari Paus Fransiskus berkenaan dengan hari orang sakit sedunia 2025 mencatat dengan intens dan tajam. Sri Paus berpendapat bahwa Allah tetap setia pada saat manusia menderita sakit dan lemah. Jika kita terima keyakinan itu maka waktu sakit adalah waktu suci dan kudus.

Ia adalah momen di mana orang sakit dapat merasakan kedekatan Allah secara intens dalam ketidakberdayaan. Dari sana pengharapan lahir secara misterius.

Penutup

Pertanyaan selanjutnya adalah sejauhmana tempat orang sakit dalam masyarakat? 

Jika hubungan manusia semakin dekat, terikat dan bermakna ketika sakit, usaha mendekatkan diri dengan mereka, mencari jalan penyembuhan adalah cara lain untuk menguatkan suatu komunitas.

Sebaliknya suatu komunitas masyarakat akan semakin lemah dan terpuruk ketika orang sakit tidak diperhatikan apalagi tidak mendapat perhatian yang dibutuhkannya.

Artinya, jika orang sakit diperhatikan, kualitas pertumbuhan suatu masyarakat dan bangsa akan bertambah sehat. Itu tidak berarti rumah sakit dan instituasi semacamnya tidak dibutuhkan lagi.

Justru ketika orang sakit mendapat tempat yang layak, dihormati dan diperhatikan secara bertanggungjawab, mutu dari institusi rumah sakit dan serupa itu akan semakin bertambah dan tidak diragukan.  (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved