Opini
Opini: Kontraksi Fiskal dan Dilema Prabowocare
Pada titik ini, hubungan erat antara penerimaan negara dan kondisi makroekonomi ini juga tercermin dalam belanja negara.
Oleh: Habde Adrianus Dami
Pengamat Kebijakan Publik dan Keuangan Daerah
POS-KUPANG.COM - Perkembangan terakhir yang cukup mencenangkan Indonesia, dalam skala dan intensitas tertentu sedang mengalami tekanan fiskal.
Penyebabnya, penerimaan meleset jauh daripada target pendapatan dan sejumlah asumsi makro, sehingga memicu risiko keuangan dan risiko operasional APBN.
Salah satu upaya untuk menggapai stabilitas fiskal perlu ditopang APBN yang sehat, kuat dan kredibel.
APBN merupakan instrumen pemerintah yang sangat urgen sebagai motor penggerak pembangunan untuk mengakselerasi pelayanan publik dan sektor-sektor ekonomi.
Pada titik ini, hubungan erat antara penerimaan negara dan kondisi makroekonomi ini juga tercermin dalam belanja negara.
Ketika penerimaan melonjak, pemerintah memiliki ruang fiskal lebih luas untuk meningkatkan pengeluaran, guna memompa kinerja operasional program pemerintah.
Namun, dalam situasi penerimaan yang rendah, pemerintah harus melakukan penyesuaian belanja untuk menjaga keseimbangan fiskal.
Agenda pokoknya, bagaimana kebijakan fiskal yang ekspansif dapat mendorong program pembangunan bisa terwujudnya seutuhnya.
Syaratnya, apabila belanja pembangunan tetap meningkat, belanja rutin dan operasional harus lebih efisien dan lebih tajam prioritasnya termasuk belanja wajib (mandatory budgeting).
Identifikasi dan rasionalisasi
Sejarah selalu berulang, begitupun soal transisi pemerintahan, selalu ada transmisi persoalan struktural yang berdampak.
Tegasnya, Presiden Prabowo mendapat warisan masalah struktural yang pelik sehingga transformasi menjadi salah satu kunci pemerintahan Presiden Prabowo.
Dalam perspektif Prabowocare merupakan proyeksi kebijakan Presiden Prabowo tidak hanya menyasar satu sektor saja tapi mencoba menjangkau banyak sektor seperti pendidikan, kesehatan, kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, sistem fiskal juga tak berfungsi sebagai alat pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan masyarakat, ataupun alat stabilisasi ekonomi, bahkan diperparah oleh utang yang membumbung tinggi. Ini menimbulkan dilema Prabowocare.
Diperlukan langkah konkret rasionalisasi belanja APBN, termasuk identifikasi sejumlah sumber pendapatan potensial yang masih tersembunyi pada beberapa pihak.
Mengingat postur APBN 2025 dirancang memiliki belanja Rp 3.621 triliun dan pendapatan Rp 3.005 triliun. Defisit anggaran pada 2025 dirancang sebesar 2,53 persen dari PDB atau Rp 616 triliun.
Namun, menurut Hashim S Djojohadikusumo, utusan khusus Presiden untuk bidang iklim dan energi, ada sejumlah program konyol dan tidak bermanfaat dalam APBN 2025.
Bahkan, Presiden Prabowo juga ikut memeriksa APBN 2025, secara seksama sampai 9 tingkat (CNBC, Indonesia, 3/2/2025).
Terkait fakta ini, momentum yang paling mutakhir adalah dalam UU APBN 2025 memberikan mandat kepada Presiden Prabowo mengubah APBN tanpa persetujuan DPR menyangkut beberapa kondisi berikut.
Pertama, pergeseran anggaran antarprogram dalam rangka penyelesaian restrukturisasi K/L untuk merespons perubahan kementerian.
Kedua, pergeseran anggaran antarprogram dalam unit eselon I yang sama, merespons penambahan program yang ada. Ketiga, pergeseran dari APBN bagian anggaran non-K/L ke bagian anggaran kementerian untuk penyediaan DIPA bagi dua kementerian baru.
Respons Presiden Prabowo, merupakan bentuk tanggungjawab dalam menghadapi persoalan kontraksi fiskal, dengan menata ulang desain APBN melalui Inpres nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja dalam Anggaran Pendapatan Belanja dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada 2025.
Portofolio ini beri target pengurangan total anggaran pemerintah sebesar Rp 306,69 triliun terdiri dari kementerian/ lembaga sebesar Rp 256,1 triliun dan dana transfer ke daerah senilai Rp 50,59 triliun. Suatu nilai fenomenal dan mengejutkan banyak pihak.
Tentu kita menyadari bukan langkah mudah bagi Presiden Prabowo untuk mengambil keputusan tersebut ditengah kondisi fiskal yang sulit diprediksi.
Meskipun begitu, skema pemangkasan belanja memang harus optimistis, tetapi jangan tinggalkan kata realistis agar pemerintah tidak melakukan guncangan-guncangan kebijakan yang bisa jadi kontraproduktif, karena dampak kanibalisme ekonomi akibat pergeseran anggaran sektoral, sekalipun untuk (re)alokasi belanja konsumtif lainnya seperti prioritasisasi makan bergizi.
Pengurangan anggaran
Menurut Modjo (2016), langkah pemotongan belanja negara bukanlah sesuatu yang baru bahkan pernah merasakan getirnya penyesuaian fiskal untuk mengurangi tekanan defisit anggaran tahun 1980-an.
Selanjutnya dikatakan penyebab dilakukannya penyesuaian fiskal selalu berupa kombinasi dari beberapa faktor utama, seperti kebijakan pembangunan yang berdasarkan utang atau tekanan di sektor keuangan.
Dalam konteks kekinian, penyebab dari penyesuaian fiskal yang dilakukan pemerintah kali ini pun serupa dengan berbagai alasan diatas serta memiliki dimensi dan implikasi politik ekonomi baik langsung maupun tidak langsung, sebagai berikut:
Pertama, penyesuaian fiskal yang dilakukan merupakan koreksi dan pemberian arah baru bagi politik anggaran negara yang selama dua tahun terakhir ini berfokus pada pembangunan infrastruktur berbasis utang sehingga mengganggu kesehatan APBN.
Meskipun demikian, tak dapat ditampik ada multiplier effect pembangunan infrastruktur. Berdasarkan laporan Bank Indonesia tahun 2024, infrastruktur berkontribusi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 1,5 persen per tahun.
Selain itu, proyek-proyek strategis tersebut juga menciptakan lebih dari 1,2 juta lapangan kerja di berbagai sektor.
Disamping itu, peningkatan infrastruktur telah memberikan dampak positif pada biaya logistik nasional.
Mengacu laporan Bank Dunia 2023, biaya logistik di Indonesia berhasil turun dari 25 persen PDB pada 2014 menjadi sekitar 14,29 persen pada 2023.
Hal ini memungkinkan distribusi barang dan jasa lebih efisien dan mendorong pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah.
Kedua, terkait dengan alasan pertama, dengan koreksi terhadap politik anggaran ini, pemerintah juga memberikan sinyal penegakan disiplin fiskal dengan lebih berhati-hati dalam mengendalikan laju pertumbuhan utang pemerintah sampai akhir 2024 yang cukup mengkhawatirkan, dengan perkiraan mencapai Rp 8.801,09 triliun.
Angka ini merupakan rekor tertinggi jumlah utang yang pernah dilakukan pemerintah di era reformasi.
Ketiga, pengurangan anggaran akan berdampak pada postur APBN dalam dua atau tiga tahun mendatang.
Hal ini mengingat penyesuaian fiskal bukanlah sebuah kebijakan yang bersifat one-off, melainkan akan memiliki dampak ekonomi jangka panjang atau setidak-tidaknya pada tahun anggaran berikutnya.
Menurut Candratrilaksita (2025), saat belanja barang dan belanja modal dipotong, maka penyedia barang/jasa bagi pemerintah yang akan terdampak.
Belanja pemerintah pusat, menurut data, menyumbang 14,9 persen dari PDB. Jika 1,29 persen dari PDB adalah belanja pegawai, maka belanja selain pegawai sebesar 13,61 persen.
Jika dihemat 50 persen, maka berpotensi membuat penurunan usaha penyedia barang/jasa pemerintah sebesar 50 persen dan secara keseluruhan ekonomi (pelaku ekonomi) sebesar 6,8 persen (50 persen dari 13,61 persen).
Keempat, dampak dari penyesuaian belanja tersebut juga dirasakan di tingkat daerah. Pemerintah daerah yang sangat bergantung pada transfer dana dari pusat sering kali menghadapi kendala dalam melanjutkan program-program pembangunan ketika penerimaan negara menurun.
Poin-poin argumen ini penting karena pengelolaan fiskal yang efektif di semua tingkat pemerintahan guna memastikan pembangunan tetap berjalan meski dalam kondisi fiskal yang ketat.
Singkatnya, pengurangan anggaran kementerian/lembaga dan pemerintah daerah adalah sebuah kontraksi fiskal yang akan menekan laju pertumbuhan ekonomi pada tahun anggaran berjalan.
Paradigma antara
Di tengah aneka fakta dan keterbatasan yang ada, kinerja fiskal dan Prabowocare lebih banyak ditentukan oleh kemampuan membangun persepsi di tengah-tengah publik.
Resonansi persepsi yang baik, sangat ditentukan oleh kemampuan para teknokrat dalam meracik kebijakan dan strategi yang efektif dan paling mungkin di implementasikan.
Lugasnya, pemerintah perlu konsisten menjalankan (re)formulasi kerangka kebijakan fiskal yang berfokus pada keseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan negara.
Sehingga, pemangkasan anggaran dapat dijadikan paradigma antara (meso-paradigm) yang menjembatani transisi menuju sistem fiskal baru yang lebih tepat sasaran dan visioner.
Dalam jangka panjang memberikan sentimen positif terhadap kredibilitas fiskal dan perekonomian domestik.
Akhirnya, rakyat pun menaruh harapan besar kepada Presiden Prabowo untuk mengatasi problem fiskal ini.
Menyetir Greg Philip, sejatinya kekuatan yang anda miliki di dalam diri anda lebih besar dibandingkan dengan hambatan yang anda hadapi. Dengan kata lain, hanya pemimpin kuat yang mampu menggunakan kekuatan kepemimpinan. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.