Opini

Opini: Antara Cinta dan Mahar dalam Budaya

Budaya positif memberi norma dan nilai untuk menghormati orang lain, hidup sopan dan bijak, menjaga kerukunan dan lain sebagainya. 

Editor: Dion DB Putra
ILS
ILUSTRASI 

Oleh : Inosensius Enryco Mokos, M. I. Kom
Peneliti Budaya

POS-KUPAN.COM - Di media sosial beberapa hari ini, publik Indonesia dan NTT sedang dihebohkan dengan kasus bunuh diri yang dilakukan salah seorang anggota TNI di Kabupaten Rote Ndao. Kabar ini sudah menyebar di kalangan masyarakat dan menjadi buah bibir dan perbincangan.

Tentu ada hal yang harus kita sesali bahwasanya kehidupan ini penuh dengan tantangan yang datang dari berbagai sisi, kita perlu untuk terus mawas diri dan berefleksi sehingga tidak terjebak dalam pemikiran untuk melukai diri sendiri apalagi sampai berpikir untuk mengakhiri hidup.

Konstruksi pemikiran dan pembentukan karakter yang datang dari budaya tentu bisa menjadi positif sekaligus bisa menjadi negatif. 

Budaya positif memberi norma dan nilai untuk menghormati orang lain, hidup sopan dan bijak, menjaga kerukunan dan lain sebagainya. 

Di sisi lain budaya, yang menekankan ketaatan mutlak terhadap tradisi dan tidak boleh dilanggar adalah konstruksi budaya yang negatif. 

Yang dimaksud di sini adalah konstruksi budaya yaitu tradisi pemberian mahar atau belis

Hampir semua budaya di Indonesia lebih khusus di NTT memiliki tradisi pernikahan dengan pemberian mahar kepada pihak perempuan sebagai bagian dari rasa hormat dan juga tanggung jawab moral. 

Namun dalam beberapa konteks, tradisi ini justru dapat membawa tekanan sosial yang tinggi juga bisa merusak kepribadian seorang.

Cinta dan Mahar dalam Budaya

Kasus bunuh diri seorang anggota tentara di Rote yang disebabkan oleh masalah asmara mencerminkan kompleksitas hubungan antara tradisi, tekanan sosial, dan kesehatan mental. 

Dalam konteks budaya Nusa Tenggara Timur (NTT), tradisi mahar sering kali menjadi beban yang berat bagi individu, terutama bagi mereka yang berada dalam posisi rentan, seperti prajurit TNI tersebut. 

Kasus ini bukan hanya sekadar tragedi pribadi, tetapi juga mencerminkan tantangan yang lebih besar dalam masyarakat kita, di mana tradisi dan norma sosial dapat berfungsi sebagai pedang bermata dua membentuk karakter sekaligus merusak jiwa.

Di NTT, tradisi mahar merupakan bagian integral dari proses pernikahan. Mahar, yang sering kali berupa uang atau barang berharga, dianggap sebagai simbol penghormatan dan komitmen. 

Namun, dalam banyak kasus, tuntutan mahar yang tinggi dapat menjadi sumber tekanan yang luar biasa. 

Dalam kasus prajurit TNI yang bunuh diri, diduga tuntutan mahar sebesar 250 juta rupiah dari pihak perempuan menjadi beban yang tidak mampu ditanggungnya. 

Tekanan ini tidak hanya bersifat finansial, tetapi juga emosional dan psikologis, menciptakan rasa putus asa yang mendalam.

Budaya yang mengedepankan nilai-nilai tradisional sering kali mengabaikan kebutuhan individu dan kesehatan mental. 

Dalam hal ini, tradisi mahar dapat dilihat sebagai salah satu faktor yang merusak, karena ia menempatkan individu dalam posisi di mana mereka merasa terpaksa untuk memenuhi ekspektasi sosial yang tidak realistis.

Ketidakmampuan untuk memenuhi tuntutan ini dapat menyebabkan rasa malu, kegagalan, dan pada akhirnya, keputusan tragis seperti bunuh diri. 

Budaya memiliki kekuatan untuk membentuk karakter individu, tetapi ketika norma-norma budaya menjadi terlalu kaku dan tidak fleksibel, mereka dapat menciptakan lingkungan yang berbahaya. 

Dalam konteks ini, kita perlu mempertimbangkan bagaimana tradisi dapat diadaptasi untuk menciptakan ruang yang lebih humanis. 

Tradisi seharusnya tidak menjadi beban, tetapi sebaliknya, harus mendukung individu dalam perjalanan hidup mereka.

Kita perlu mengakui bahwa setiap individu memiliki nilai dan martabat yang tidak dapat diukur dengan uang atau barang. 

Ketika tradisi mahar menjadi ukuran keberhasilan atau nilai seseorang, berisiko mengabaikan aspek-aspek penting dari kemanusiaan, seperti cinta, pengertian, dan dukungan emosional. 

Oleh karena itu, penting untuk melakukan refleksi kritis terhadap tradisi yang ada dan mempertimbangkan bagaimana kita dapat mengubahnya untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan mendukung. 

Dekonstruksi Budaya yang Lebih Humanis

Jacques Derrida, seorang filsuf Prancis, mengembangkan teori dekonstruksi yang menantang struktur dan norma yang ada dalam masyarakat. 

Dalam konteks kasus bunuh diri ini, dekonstruksi dapat digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi dan merombak budaya serta pemikiran yang ada tentang tradisi mahar

Dengan mendekonstruksi makna dan nilai yang melekat pada tradisi mahar, kita dapat membuka ruang untuk pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan manusia dan mengurangi tekanan yang dirasakan oleh individu.

Dalam konteks budaya, kita sebagai masyarakat harus lebih mengedepankan sisi humanis ketimbang memaksakan budaya yang memberi tekanan sosial kepada diri kita sekaligus juga kepada orang lain. 

Kita perlu merevitalisasi budaya agar budaya menjadi dorongan konstruktif bukan destruktif.

Pertama, mengedepankan komunikasi. Budaya yang baik adalah budaya yang mengedepankan sisi humanis komunikatif.  

Berhadapan dengan keadaan dimana ada sebuah keharusan untuk menjalankan tradisi budaya, maka bisa dicari jalan tengah dengan lebih mengedepankan cinta, komitmen dalam hubungan dan rasa tanggung jawab ketimbang budaya yang digambarkan dengan uang dan harta.

Kedua, terbuka dan mengedepankan sikap menolong. Jika tekanan sosial terasa terlalu berat, mencari bantuan dari teman sejawat atau senior dapat memberikan dukungan yang diperlukan. 

Masih ada banyak orang di dunia ini yang bisa membantu kita keluar dari masalah, yang terpenting adalah sikap keterbukaan dan saling menolong.

Ketiga, humanisasi budaya yang konstruktif. Mengkaji dan menyesuaikan ekspektas budaya yang mungkin berkontribusi pada tekanan sosial yang dirasakan banyak orang. 

Mengkampanyekan budaya yang positif bukan mengekang sehingga terbangun pemikiran saling menghargai satu sama lain. Harus merubah sikap pola taat mutlak pada tradisi budaya yang destruktif. 

Kasus bunuh diri anggota tentara di Rote adalah pengingat tragis tentang dampak dari tradisi yang tidak fleksibel dan tekanan sosial yang berlebihan. 

Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi kita untuk melakukan refleksi kritis terhadap budaya kita dan mempertimbangkan bagaimana kita dapat mengubahnya untuk menciptakan masyarakat yang lebih humanis. 

Dengan menerapkan teori dekonstruksi Derrida, kita dapat merombak norma-norma yang ada dan menciptakan ruang bagi individu untuk hidup dengan martabat dan tanpa tekanan yang merusak. 

Hanya dengan cara ini kita dapat mencegah tragedi serupa di masa depan dan membangun masyarakat yang lebih sehat dan mendukung. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved