NTT Terkini
Jaringan Keuskupan Agung Ende NTT Tolak Pembangunan Geothermal
Para imam telah sepakat mendukung seruan itu. Hal itu menjadi panggilan korban, dampak dari proyek tersebut.
Penulis: Irfan Hoi | Editor: Rosalina Woso

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Jaringan Keuskupan Agung Ende (KAE) menolak pembangunan geothermal di wilayah KAE.
Jaringan KAE ini berisikan para pemuka agama Katolik, akademisi hingga aktivis. Mereka menggelar diskusi terbuka, Sabtu (18/1/2025) malam.
RD Reginal Piperno, JPIC KAE dalam pemaparan awalnya mengatakan, dia dan Uskup Agung Ende Mgr Budi Kleden sempat melakukan kunjungan ke beberapa titik yang kemudian ditolak Keuskupan Agung Ende (KAE). Dalam temuan lapangan banyak dampak buruk berdasarkan amatan hingga keluhan umat setempat.
"Dampak yang kelihatan pertama bagaimana tanaman kopi Arabika, tapi sekarang sebagian besar mati. Selain kopi ada tanaman lain. Wilayah ini sangat subur," ujarnya dalam diskusi yang dipandu Pater Felix Baghi.
Baca juga: Kapolda NTT Inginkan Kolaborasi yang Harmonis Antara Polri, TNI dan Pemerintah Daerah
Dengan kondisi ini, Uskup Agung Ende kemudian menolak pembangunan geothermal di wilayah Keuskupan Agung Ende. Selama ini, KAE pasca ada pernyataan penolakan dari Uskup Budi Kleden, para imam di KAE melakukan konsolidasi dalam membangun kesepahaman.
Para imam telah sepakat mendukung seruan itu. Hal itu menjadi panggilan korban, dampak dari proyek tersebut.
"Kami sudah membangun kesepahaman bersama. Sejalan dengan bapak Uskup. Menolak pembangunan geothermal," kata dia.
Dia mengatakan, saat ini sedang dibentuk tim khusus KAE geothermal. Tim itu terdiri dari tim hukum, juru bicara hingga tim peneliti maupun tim advokasi serta mendorong publikasi lebih masif.
Hal lainnya, pihaknya akan melakukan kunjungan lanjutan ke Sokoria untuk mengecek lagi lingkungan dan warga setempat. Sebab, ada laporan yang masuk mengenai upaya pemaksaan yang dilakukan.
"Mereka secara diam-diam ke mosalaki untuk membayar ke rumah-rumah. Kami sudah mendapat banyak informasi,"kata dia.
Bahkan, di tempat itu akan dilakukan pengeboran. Beberapa warga setempat juga sempat dijemput paska untuk melakukan persetujuan hibah tanah dalam upaya pengembangan geothermal di Sokoria.
RD Perno menambahkan, penolakan semacam ini harus dilakukan. Apalagi, saat ini sedang dilakukan pada tahap awal. Meski pada tahapan pertama di titik yang sama seperti di Mataloko sudah dilakukan dan berujung gagal.
Di wilayah Sokoria, kata dia, menjadi titik incaran pertama karena belum ada penolakan yang berarti. Meskipun ada, belum terbukanya jalur untuk menyampaikan aspirasi itu.
Aktivis Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Ida Longa Kepala Desa Wogo mengatakan, dia mengikuti persis kegiatan itu sejak awal, terutama di tahap II. Tahap awal berujung gagal, dia tidak mengikuti.
"Tapi tahap II ini juga kami hanya menyaksikan saja bahwa lahan warga kami diserahkan," kata dia.
Dia mengatakan, saat survei lahan pemerintah desa tidak dimintai pendapat. Justru pengembang langsung meminta itu ke pemilik warga setempat.
Mereka melibatkan warga lokal lainnya sebagai upaya memengaruhi warga lainnya sebagai pemilik lahan. Hampir beberapa desa sekitar desa Woga kini dikuasai investor.
Meski ada ganti untung, masyarakat masih belum khawatir dengan dampak yang ada timbul. Padahal sudah ada pengalaman pahit akibat kegagalan pengeboran di tahap pertama.
Ida mengatakan, ia sampai saat ini hanya ingin agar dampak buruk dari geothermal tidak terjadi di wilayahnya. Dia khawatir warganya terkena dampak lebih parah seperti di daerah-daerah lainnya.
"Tolong supaya masyarakat saya jangan dirugikan," kata dia
Dia mengatakan, warga yang tanahnya di bayar investor akan berpihak ke pengembang, sebaliknya mereka yang tidak dibayar melakukan protes.
Masyarakat masih berkutat dengan polemik siapa yang mendapat ganti untung. Diskusi lainnya mengenai dampak lainnya justru tidak ada.
Selama 20 tahun pasca titik pertama di bor, memang ada keluhan. Masyarakat mengeluh kalau atap rumah cepat berkarat. Disamping ada persoalan lain terutama menyangkut air bersih yang kerap terkontaminasi.
Felix Baghi mengatakan ia memdapat dokumen AMDAL mengenai geothermaldi Mataloko, Kabupaten Ngada. Dokumen tebal itu dia melihat belum ada keterlibatan masyarakat secara penuh.
"Setelah saya baca kelihatan mereka ingin memenuhi syarat untuk perusahaan besar," kata dia.
Pater Felix mengatakan AMDAL itu sebagai syarat dalam panduan agar proyek itu sesuai dengan analisis dampak lingkungan. Dokumen AMDAL yang dia peroleh adalah dokumen pada tahun 2021.
Dalam dokumen AMDAL tahun 2021 juga terlihat ada pelelangan termin kedua dalam item proyek yang sama. Padahal sebelumnya belum studi lingkungan yang berjalan.
Dalam dokumen itu juga terlihat bahwa kajian publik justru hanya dihadiri tidak lebih dari 50 orang. Dokumen AMDAL juga memuat 9 poin sebagai jalur proyek itu terlaksana sesuai dengan ketentuan.
Wili Leba mendorong agar pembangunan kesadaran ke masyarakat terdampak. Wili juga berbicara mengenai langkah jaringan selanjutnya.
"Proyek ini rakus air. Air itu akan kering. Belum lagi ada dampak lainnya. Gatal-gatal dan lainnya," ujarnya.
Menurut dia, AMDAL yang dikeluarkan itu harusnya atas kesepakatan bersama masyarakat sekitar. Bahkan mesti ada jaringan khusus menerima aduan jika terdapat persoalan di lapangan.
Dia bilang, AMDAL yang ada justru sudah dirumuskan kemudian disodorkan ke masyarakat.
Pater Bastian Dosen Filsafat Politik Lingkungan IFTK Ledalero menambahkan energi geothermal memang terbilang hijau. Tapi belum dikatakan konklusif.
Kondisi yang terjadi di KAE sudah tidak bisa ditolerir sehingga perlu ditolak. Studi terhadap dampak dari pembangunan geothermal itu harus dibuat lebih rinci sebagai acuan lebih kuat.
Dia mendorong agar ada pengujian ulang AMDAL yang ada dengan kondisi lapangan sehingga menemukan dampak yang timbul dari proyek tersebut.
Suster Fina dalam sebuah analisis tulisan kecil yang dibuat. Analisis itu ketika dia kembali ke kampung halamannya di dekat Mataloko. Dia kaget melihat banyak bongkahan proyek seperti pipa yang tergeletak.
Dia bertanya ke masyarakat dampak dari proyek itu. Ada banyak masyarakat yang justru tidak merelakan lahan atau lahannya digunakan dalam proyek itu. Sebab menimbulkan dampak panjang, termasuk pencemaran sumber air.
Padahal, kawasan di sekitar kampungnya banyak persawahan. Dia juga khawatir dengan bentangan pipa yang mengitari lahan hingga perumahan warga tanpa ada persetujuan. Hal ini akan menimbulkan konflik di kemudian hari.
"Ada beberapa di Roda itu mereka resah," kata dia. (fan)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.