Opini

Natal: Pemiskinan Diri Allah yang Paling Radikal

Dalam Injil Lukas 2:1-6 tentang peristiwa kelahiran Yesus, kita akan menemukan suatu kondisi yang amat menyentuh emosi: rasa iba, juga rasa gembira.

Editor: Agustinus Sape
FOTO PRIBADI
Arnoldus Nggorong 

Oleh: Arnoldus Nggorong

POS-KUPANG.COM - Kalau menyimak deskripsi yang ditulis dalam Injil Lukas 2:1-6 tentang peristiwa kelahiran Yesus, kita akan menemukan suatu kondisi yang amat menyentuh emosi. Ada rasa iba, sedih, yang juga diikuti perasaan gembira, sukacita.

Perasaan iba dan sedih berpautan dengan proses dan tempat kelahiran Yesus yang amat jauh dari kesan layak, lebih-lebih jika dibandingkan dengan kondisi sekarang. Ketika tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, Yosep dan Maria mencari rumah penginapan untuk melahirkan, namun tidak ditemukan.

Pilihan terakhir adalah kandang hewan. Tempat bayi Yesus dibaringkan pun hanya palungan (tempat makan hewan) dengan kain lampin seadanya sebagai pembungkus tubuh mungil, lemah, tak berdaya.

Dengan lain kata, Yesus lahir di kandang hewan yang kotor, pengap, busuk, dingin lantaran pintu-pintu rumah tertutup bagi-Nya. Yesus datang sebagai seorang bayi yang tidak berdaya, yang menggantungkan seluruh nasib dan hidupnya pada seorang ibu yang bernama Maria.

Ketergantugan seorang Allah dilukiskan dengan sangat indah oleh St. Louis-Marie Grignon de Monfort sebagai berikut: “Allah yang menjelma menjadi manusia dengan mengurung diri di dalam rahim Maria yang perawan, dengan membiarkan diri dibawa oleh Maria. Maria menyusui-Nya, memberi-Nya makan, merawat-Nya dan membesarkan-Nya.”

Selanjutnya dengan bahasa yang sangat puitis Monfort menulis, “Wahai ketergantungan yang mengagumkan dan tak terpahami dari seorang Allah.” (bdk. “Bakti yang Sejati kepada Maria hal. 10-11).

Adegan kelahiran Yesus di kandang hewan Betlehem, dalam film The Christ Child: A Nativity Story.
Adegan kelahiran Yesus di kandang hewan Betlehem, dalam film The Christ Child: A Nativity Story. (YOUTUBE COMEUNTOCHRIST.ORG)

 

Yesus lahir dalam kondisi yang serba terbatas, miskin, sederhana, di sebuah tempat yang hina. Yesus lahir dalam kesepian, tidak ada sanak keluarga yang menemani, hanya Yosep dan Maria. Yesus tidak merasakan dan mengalami pelukan hangat dan senyum ramah seorang perawat. Para gembala datang kemudian setelah mendapat kabar dari malaikat. Itulah Yesus yang datang tidak dalam kemegahan, kemewahan sebagai seorang putra raja duniawi. Memang sungguh sebuah kisah yang menyedihkan.

Dikatakan menyedihkan, pertama, karena Yesus adalah Sabda Allah yang menjelma menjadi manusia. Penjelmaan itu tampak jelas dan terang benderang dalam kata-kata malaikat Gabriel, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau: sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.” (Luk. 1:35; bdk juga Mat. 1:18).

Lebih-lebih lagi kalau menyimak bahasa penulis Injil Yohanes 1:1-5 yang dengan amat jelas menyebut Yesus adalah Allah (Yoh. 1:1), Yesus adalah sumber segala ciptaan (Yoh. 1:3), Yesus adalah Hidup (Yoh. 1:4), Yesus adalah Terang (Yoh.1:4). Di sini sifat ke-Allah-an Yesus sangat ditonjolkan. Dengan demikian Yesus bukan manusia biasa, buah dari keinginan manusia (keinginan daging) malalui persetubuhan.

Deskripsi ini dengan jelas menerangkan Yesus, yang adalah Allah Putera, Pribadi Kedua Allah Tritunggal Mahakudus, yang hidup dalam kelimpahan kekayaan Surgawi dengan segala kemuliaan yang dimiliki-Nya, sudi datang dan mengalami kemiskinan, kepapaan, kerapuhan, kefanaan manusia, hidup dalam keadaan serba kekurangan.

Kedua, oleh karena Yesus adalah Allah, Dia memiliki segala-galanya (alam semesta beserta seluruh isinya), kekayaan-Nya yang berlimpah-limpah, kekuasaan-Nya yang tidak terbatas. Dengan kata lain, seluruh isi surga dan bumi adalah miliknya. Rasul Paulus melukiskan kekayaan misteri Kristus-Allah dengan bahasa yang sangat indah, “Yesus Kristus, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.” (2 Kor. 8:9).

Kalau menggunakan perspektif manusiawi, adalah sungguh tidak mungkin ‘seorang’ Allah, yang mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas, yang memiliki keagungan dan kemuliaan yang tidak dapat dibandingkan dengan keagungan dan kemuliaan mana pun di dunia ini, rela turun dari takhta-Nya di Surga, lalu datang menjumpai manusia yang hina, lemah dan mudah tergoda oleh kesenangan duniawi.

Bertolak dari penjelasan di atas, terdapat perbedaan yang absolut antara Allah dan manusia. Terdapat jurang yang teramat dalam antara Pencipta dan yang diciptakan. Gambaran tentang perbedaan antara yang kaya dan yang miskin dapat dilihat dalam kenyataan sosial.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved