Opini
Natal: Pemiskinan Diri Allah yang Paling Radikal
Dalam Injil Lukas 2:1-6 tentang peristiwa kelahiran Yesus, kita akan menemukan suatu kondisi yang amat menyentuh emosi: rasa iba, juga rasa gembira.
Ada orang yang sangat kaya, hidup dalam kelimpahan, memamerkan mobil mewah, tas mewah, dan segala kemewahan lainnya. Di samping itu ada pula orang yang begitu miskin, hidup serba kekurangan, hidup dari belas kasihan sesamanya, itupun jika ada yang peduli. Bahkan tidur pun di emperan toko dengan pakaian yang sama dikenakannya tiap hari.
Dengan pemiskinan diri-Nya yang begitu radikal dalam peristiwa natal, kalau menggunakan bahasa sederhana, kira-kira Yesus-Allah mengatakan begini, “Aku mau ada bersama kamu, Aku ingin tinggal di antara kamu, Aku mau mengalami nasib seperti yang kamu rasakan.”
Dengan pelukisan yang demikian, kita merasakan tidak adanya jarak antara Allah dan manusia. Allah hidup di tengah-tengah kita. Kita juga dapat menyapa Allah dengan menggunakan kata ganti: Engkau, Dia, yang menunjukkan keakraban, keintiman, kemesraan.
Dengan kata lain, Allah, yang dalam Perjanjian Lama digambarkan sebagai Allah yang tak kelihatan, tak terjangkau, yang jauh, yang hanya dapat diketahui dalam tanda-tanda alam berupa nyala api di semak duri (Kel. 3:2), dan guruh, kilat dan awan, bunyi sangkakala (Kel. 19:16-17), angin sepoi-sepoi basah (1 Raj. 19:12), kini, seturut kitab Perjanjian Baru, menjadi Allah yang kelihatan, yang benar-benar hadir dan tampak sebagai manusia yang dapat diindrai, dilihat oleh mata, diraba dan dielus dengan tangan, dipeluk dan dirangkul. Allah sungguh tidak asing lagi bagi manusia. Allah benar-benar nyata mengalami hidup kita sebagai manusia.
Hubungan yang begitu dekat antara Allah dan Manusia dibahasakan penulis injil Yohanes sebagai berikut: “Firman telah menjadi manusia dan diam di antara kita.” (Yoh. 1:1) Kata-kata ini kemudian disisipkan dalam doa Malaikat Tuhan yang didoakan setiap pukul 06.00, 12.00, dan 18.00, disertai bunyi lonceng Gereja sebagai penanda, yang menjadi tradisi iman yang terus diwariskan dalam Gereja Katolik hingga saat ini. Di dalam doa Malaikat Tuhan itu tertulis, “Sabda telah menjadi daging dan tinggal di antara kita.”
Inilah kabar sukacita bagi manusia. Inilah kabar yang membawa kegembiraan bagi kita. Warta gembira itu pula yang disampaikan malaikat kepada para gembala. Bila diperhatikan dengan cermat, hal yang paling interesan adalah warta sukacita ini paling pertama dikabarkan kepada orang kecil dan sederhana yaitu para gembala. Dengan ini deskripsi hubungan manusia dengan Allah mendapatkan makna yang semakin dalam.
Dalam dan melalui peristiwa Natal, Allah memiskinkan diri-Nya supaya dapat berjumpa dengan manusia. Proses pemiskinan diri Allah ke tingkat yang paling rendah memungkin-Nya dapat ditemui oleh manusia dari segala lapisan, suku, ras, kelompok.
Pemiskinan diri Allah yang paling radikal dibahasakan Rasul Paulus sebagai berikut: “Yesus Kristus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” (Flp. 2:6-7)
Allah yang dahulu begitu jauh kini dekat dengan manusia, hidup sebagai seorang manusia, yang merasakan lapar, haus, susah, senang, namun tidak berbuat dosa (bdk. 1 Ptr. 2:22). Itulah Allah yang peduli, peka terhadap nasib manusia, yang dalam bahasa teologis-biblis disebut Allah yang transenden sekaligus imanen.
Selamat merayakan Natal dalam semangat kesederhanaan…
Penulis adalah alumnus STFK Ledalero, tinggal di Labuan Bajo.
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.