Opini
Opini: Sesudah Pilkada, Dari Imajinasi Kenikmatan sampai Bayang-bayang Wacana Presiden
Setiap kontestan dengan partai pendukungnya menetapkan target jumlah pemilih, kemudian disesuaikan dengan jumlah dana yang harus dikeluarkan.
Oleh: Wilhelmus F.N. Runesi
Anggota Dusun Flobamora, Kupang - NTT
POS-KUPANG.COM - Setelah pilkada yang terselenggara pada 27 November 2024, kita melihat di media sosial, ada daerah-daerah tertentu terjadi konflik baik antara tim sukses yang tidak mengakui kemenangan calon pemenang sehingga harus ke Mahkamah Agung maupun antar pendukung setiap calon yang berakhir dengan adu fisik dan perang saudara.
Semua itu karena perbedaan politik. Tiba-tiba, beberapa hari yang lalu Presiden Prabowo mengeluarkan wacana agar pilkada ke depan tidak lagi pilih langsung oleh rakyat, tetapi dipilih oleh DPR yang menurutnya adalah wakil rakyat.
Alasan dari wacana Presiden ini adalah bahwa anggaran yang harus dikeluarkan oleh negara untuk membiayai jalannya Pilkada sangat besar. Wacana ini menimbulkan banyak tanggapan pro dan kontra.
Kita tentu melihat praktik politik yang dipertontonkan oleh penguasa selama ini, dan yang paling sangat merusak sistem demokrasi bangsa ini adalah adanya dinasti politik yang mengawali proses terpilihnya Prabowo dan Gibran sebagai
Presiden dan Wakil Presiden.
Proses demokrasi yang tidak adil dalam pemilu itu diterima mayoritas warga negara sebagai sesuatu yang baik, maka tentu saja wacana Presiden mengenai pilkada yang dipilih anggota DPR seharusnya tidak perlu dipertanyakan lagi, karena selain Jokowi yang telah membuka jalan untuk mengaktifkan kembali gaya Orde Baru melalui UU TNI/Polri untuk memegang jabatan publik.
Presiden kita yang baru juga dapat disebut sebagai produk pembinaan Orde Baru.
Oleh karena itu, narasi tentang biaya yang besar itu hanyalah narasi “di atas panggung” karena yang terjadi di belakang panggung adalah keinginan untuk mematikan kontrol publik atas kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Pertanyaannya: bagaimana wacana itu berakibat pada aspek kebebasan masyarakat? Bagaimana nasib demokrasi negara ini? Saya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini di bagian akhir.
Sebelum itu, mari kita lihat proses pilkada “menjelang” sesudah Pilkada dan Gerak-Ganda Imajinasi Kenikmatan Kemiskinan bukan lagi soal masalah alamiah masyarakat, sebab yang terjadi di Indonesia, misalnya, kemiskinan tidak diupayakan untuk diatasi melainkan hanya dipupuk semakin subur.
Dengan demikian, politisasi kemiskinan, stunting, ketimpangan berhasil merasuk ke dalam ruang privat masyarakat di mana hasrat manusia dikendalikan dengan berbagai rasionalisasi lapar dan laba sehingga imajinasi masyarakat diarahkan pada “setumpuk uang dalam jumlah yang sangat banyak di genggaman tangan”.
Identitas demokrasi kita bukan lagi suatu legitimasi yang diperoleh dari mereka yang diperintah, serta tidak lagi bertujuan demi membangun kebebasan setiap individu untuk dengan bebas menentukan pilihan.
Bila ingin bicara demokrasi, pilkada dan realisme politik dengan berdasar pada bagaimana persiapan serta proses menjelang pemilu itu dilakukan, saya melihat bahwa realisme politik kita bergerak dalam logika kekuasaan dan pasar.
Setiap kontestan dengan partai pendukungnya menetapkan target jumlah pemilih, kemudian disesuaikan dengan jumlah dana yang harus dikeluarkan.
Di sana ada oligarki dan kapitalis berperan. Dalam ungkapan Herry Priyono (2022), “para kontestan menyewa ekonom untuk menyulap mimpi kampanye agar kedengaran programatik”.
Realitas demokrasi kita semasa ini adalah realitas yang bergerak berdasarkan imajinasi kenikmatan.
Iming-iming kehormatan dan kenikmatan jabatan yang bergerak dalam naluri manusia, dibalut dengan bentuk rasionalisasi serta ungkapan-ungkapan retoris yang terdengar baik tetapi justru di sanalah bahayanya menghantui. Imajinasi kenikmatan bergerak dalam dua arah.
Para calon mengimajinasikan nikmatnya mempunyai jabatan yang besar dan dihormati, sedangkan rakyat membayangkan nikmatnya bila hidup tidak dibatasi oleh berbagai desain kelangkaan yang dibuat oleh kekuasaan.
Di situ terlihat gerak-ganda imajinasi kenikmatan. Tema-tema pembangunan, kesejahteraan, ketidakadilan, dan kemiskinan yang dikemas dalam logika lapar dan laba berhasil menarik masuk oligarki.
Dengan tema-tema itu, selama proses menuju pemilihan, kita semua adalah rakyat yang berdaulat, tetapi sesudah itu, kita semua hanyalah “kerumunan konsumen”.
Di satu pihak, “pemilu dan pilkada juga adalah musim iklan” demikian kata Herry-Priyono (2022).
Oleh karena setiap pasangan calon setiap hari kita lihat selalu tampil dengan berpakaian adat daerah yang mereka kunjungi sambil mengoceh bahwa mereka dekat dengan warga lokal.
Semua yang modern tampak tak berarti, sebab yang tampil adalah sejarah lokal yang dibalut dalam busana adat, disertai dengan kidung perjanjian yang terdengar seperti litani yang dinyanyikan.
Panggung kampanye tempat penyampaian janji politik dihiasi oleh penyanyi-penyanyi yang dibayar untuk menghipnotis kesadaran warga dengan berbagai lagu, joget ria dan sebagainya.
Wacana Pasca Pilkada
Proses pemilihan semasa ini tidak lain adalah kontestasi di mana para calon sesungguhnya pertama-tama bukan hadir dari keinginan pribadi, melainkan utusan dari pimpinan partai.
Maka setiap calon sesungguhnya bukan hadir untuk menjawab keresahan masyarakat mengenai ketidakadilan, kemiskinan dan ketimpangan yang terjadi dalam keseharian, melainkan mereka hadir demi menaikan kuota partai dalam hal elektabilitas.
Partai mana yang memiliki pemenang terbanyak sebagai kepala daerah, dan mana yang paling sedikit.
Amartya Sen seorang peraih Nobel ekonomi tahun 1998 dalam bukunya Development As Freedom menulis bahwa kebebasan itu harusnya menjadi tujuan dari pembangunan.
Dalam konteks mengenai wacana tersebut, apabila berlaku kebebasan seperti apa yang akan diperoleh warga negara?
Sedangkan pilkada dilakukan oleh DPR sendiri secara tidak langsung akan membatasi akses masyarakat untuk mengontrol setiap kebijakan pemerintahan.
Amartya Sen menyebut hal semacam itu dengan istilah “kelangkaan”. Bahwa kelangkaan itu terjadi bukan karena barang itu tidak ada.
Akan tetapi kelangkaan itu terjadi karena masyarakat tidak punya akses untuk mencapai apa yang langka itu. Selain istilah kelangkaan, Sen juga menyebut satu konsep yakni Kapabilitas.
Wacana presiden itu secara langsung membuat masyarakat kehilangan kapabilitas atau kemampuan untuk menentukan kepala daerah yang baik.
Maka bahaya dari wacana di atas adalah, kebijakan kepala daerah tidak lagi dipertanggungjawabkan kepada publik, tetapi kepada pemimpin partai.
Kontrol dan kritikan tidak akan didengar, sebab setiap kepala daerah akan mengatakan bahwa jabatan mereka bukan melalui pilihan rakyat.
Dengan demikian, meminjam ungkapan Herry Priyono (2022), “ritual demokrasi bisa saja ditaati, tetapi kapasitas negara untuk mengelola kepentingan bersama telah dilucuti hanya kepada segelintir orang”. (*)
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.