Korupsi

Giliran Menko Hukum dan HAM  Yusril Ihza Mahendra Berencana Beri Amnesti kepada Koruptor

Amnesti bagi koruptor seperti disampaikan Presiden Prabowo harus memenuhi syarat pengembalian kerugian negara yang kini tengah dibahas Menko Yusril da

Editor: Agustinus Sape
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Indonesia Yusril Ihza Mahendra 

Peneliti di Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai, rencana itu berbahaya dan bertentangan dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tipikor.

Dalam Pasal 4 UU No 31/1999 juncto UU No 20/2021 tentang Tipikor disebutkan, pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapus pidana. Dengan demikian, penuntutan terhadap koruptor tidak dihapus meski pelaku telah mengembalikan hasil korupsi.

”Secara hukum, saat ini tidak boleh ada pelaku tindak pidana korupsi yang tidak diproses hanya karena mengembalikan kerugian keuangan negara,” ujar Zaenur.

Sementara secara praktik, tidak mungkin pelaku korupsi mau mengembalikan uang yang dikorupsi hanya karena kata-kata, sekalipun keluar dari Presiden. Koruptor hanya akan gentar dengan penindakan. Sebab, selama ini mereka menganggap sudah lolos dari jeratan aparat penegak hukum.

Baca juga: Presiden Prabowo Beri Kesempatan Koruptor Tobat Asal Kembalikan Hasil Korupsi

Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, bahkan menilai wacana yang diungkapkan Prabowo sangat berbahaya karena melemahkan supremasi hukum. Amnesti kepada koruptor membuktikan negara lebih berpihak pada kepentingan koruptor. Pernyataan Prabowo pun dianggap serampangan karena sistem hukum Indonesia tidak mengenal amnesti bagi koruptor.

Apalagi, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia cenderung rendah yang membuktikan masih banyaknya perilaku koruptif para pejabatnya. Negara dengan IPK tinggi justru memaksimalkan hukuman pidana badan dan mendukungnya lewat perampasan aset yang diatur secara ketat. Apabila hal itu tak dilakukan, kepercayaan publik dan investor akan tergerus karena tidak adanya kepastian hukum.

Alih-alih berwacana memaafkan koruptor, menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto, lebih baik Presiden Prabowo fokus pada RUU Perampasan Aset sesuai agenda prioritas kerja pemerintahan Prabowo-Gibran. ”Langkah konkret yang bisa dilakukan Prabowo adalah segera mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR untuk memasukkan kembali RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas 2025,” ujarnya.

Apabila RUU Perampasan Aset disahkan, nanti negara bisa mendapatkan manfaat besar dari pengembalian kerugian negara. Sumbernya bukan hanya dari kerugian akibat korupsi, melainkan juga tindak pidana ekonomi lainnya.

Resistensi terhadap wacana Prabowo dan rencana pemerintah pun muncul di DPR. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Nasyirul Falah Amru, mengingatkan, koruptor tetaplah koruptor. Koruptor harus dihukum sesuai dengan aturan hukum Indonesia. Persoalan koruptor tersebut sudah mengembalikan uang hasil curiannya, itu memang sudah kewajibannya.

”Ya, pastinya harus diberikan efek jera. Karena itu, harus dihukum yang setimpal,” kata Falah tegas. (kompas.id)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved