Korupsi
Giliran Menko Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra Berencana Beri Amnesti kepada Koruptor
Amnesti bagi koruptor seperti disampaikan Presiden Prabowo harus memenuhi syarat pengembalian kerugian negara yang kini tengah dibahas Menko Yusril da
POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Setelah pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang akan memaafkan koruptor jika uang hasil korupsi dikembalikan ke negara, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan proses penggodokan pemberian amnesti atau abolisi bagi koruptor yang telah dimulai sejak sebulan lalu. Rencana ini bagian dari pemberian amnesti dan abolisi bagi 44.000 narapidana. Khusus untuk koruptor, ada syarat pengembalian kerugian negara yang kini masih didiskusikan.
Yusril Ihza Mahendra menyampaikan, pernyataan Presiden Prabowo yang akan memaafkan koruptor jika mengembalikan uang yang dikorup merupakan salah satu bagian dari strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan kerugian negara.
Hal itu pun diklaimnya sejalan dengan Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) yang telah Indonesia ratifikasi dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006. ”Sebenarnya setahun sejak ratifikasi, kita berkewajiban menyesuaikan UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) kita dengan konvensi itu, tetapi kita terlambat melakukan kewajiban itu dan baru sekarang ingin melakukannya,” ujar Yusril melalui keterangan tertulis, Kamis (19/12/2024) malam.
Sesuai konvensi, ia melanjutkan, pemberantasan korupsi ditekankan pada pencegahan, pemberantasan korupsi secara efektif, dan pemulihan kerugian negara.

Presiden Prabowo menyampaikan pernyataan akan memaafkan koruptor jika uang hasil korupsi dikembalikan ke negara saat bertemu mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar di Mesir, Rabu (18/12/2024). Presiden mengemukakan, orang yang diduga korupsi, orang yang sedang dalam peroses hukum karena disangka korupsi, dan orang yang telah divonis karena terbukti korupsi dapat dimaafkan jika mereka dengan sadar mengembalikan kerugian negara akibat perbuatannya.
Menurut Yusril, pernyataan Prabowo itu menjadi gambaran dari perubahan filosofi penghukuman dalam penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan diberlakukan awal 2026. ”Penghukuman bukan lagi menekankan balas dendam dan efek jera kepada pelaku, melainkan menekankan pada keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif,” ujarnya.
Penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi juga harus membawa manfaat dan menghasilkan perbaikan ekonomi, bukan hanya menekankan pada penghukuman pelakunya.
”Kalau hanya para pelakunya dipenjarakan, tetapi aset hasil korupsi tetap mereka kuasai atau disimpan di luar negeri tanpa dikembalikan kepada negara, maka penegakan hukum seperti itu tidak banyak manfaatnya bagi pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Kalau uang hasil korupsi mereka kembalikan, pelakunya dimaafkan, uang tersebut masuk ke APBN untuk menyejahterakan rakyat,” tuturnya.
Selanjutnya, pelaku korupsi di dunia usaha, misalnya, bisa melanjutkan usahanya dengan janji tidak akan korupsi lagi. Dengan demikian, usahanya tidak tutup atau bangkrut. Tenaga kerja tidak menganggur. Negara pun tetap dapat pajak. ”Jadi penegakan hukum dalam menangani korupsi harus dikaitkan dengan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat, bukan bertujuan hanya untuk memenjarakan pelakunya,” katanya.
Ia melanjutkan, Presiden Prabowo sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara memiliki kewenangan memberikan amnesti dan abolisi kepada pelaku tindak pidana apa pun, termasuk tindak pidana korupsi. Sesuai amanat konstitusi, sebelum memberikan amnesti dan abolisi, Presiden akan meminta pertimbangan DPR. Para menteri terkait disebutnya siap memberikan penjelasan ke DPR jika nanti Presiden telah mengirim surat untuk meminta pertimbangan.
”Presiden mempunyai beberapa kewenangan terkait dengan apa yang beliau ucapkan di Mesir, terkait penanganan kasus-kasus korupsi, yaitu kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apa pun dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara,” ujar Yusril.
Sejak sebulan lalu, Kemenko Kumham Imipas pun telah mengoordinasikan rencana pemberian amnesti dan abolisi, termasuk terhadap kasus-kasus korupsi. Langkah ini merupakan bagian dari rencana pemberian amnesti kepada total 44.000 narapidana yang sebagian besar merupakan narapidana kasus narkoba. Khusus untuk narapidana kasus korupsi, ada beberapa syarat yang sedang dibahas.
”Hal-hal yang sedang dikoordinasikan itu antara lain terkait dengan perhitungan berapa besar pengembalian kerugian negara yang diduga atau telah terbukti dikorupsi, termasuk pula pengaturan teknis pelaksanaan dalam pemberian amnesti dan abolisi tersebut. Ini perlu koordinasi yang sungguh-sungguh,” kata Yusril.
Kritik dari berbagai kalangan
Meski pemerintah menilai tepat rencana pemberian amnesti atau abolisi bagi koruptor, sejumlah kalangan berpandangan sebaliknya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.