Opini
Opini: Penti Weki Peso Beo, Mengurai Makna yang Kian Terlupakan
Banyak yang keliru memahami Penti sebagai sekadar perayaan serupa tahun baru, suatu anggapan yang tidak sepenuhnya benar.
Oleh: Lexi Anggal
Pegiat Isu-isu sosial, tinggal di Boncukode, Cibal, Manggarai, Flores
POS-KUPANG.COM - Tradisi Penti atau yang dikenal dalam bahasa Manggarai sebagai Penti Weki Peso Beo merupakan salah satu ritual adat yang penuh makna.
Tradisi ini telah diwariskan dari generasi ke generasi sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur sekaligus ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas hasil panen dan keberlangsungan kehidupan masyarakat adat.
Namun, seiring berjalannya waktu, pemahaman dan pelaksanaan Penti kian disalahartikan, bahkan oleh masyarakat Manggarai sendiri.
Banyak yang keliru memahami Penti sebagai sekadar perayaan serupa tahun baru, suatu anggapan yang tidak sepenuhnya benar.
Dalam tradisi Manggarai, Penti bukan hanya peralihan waktu berdasarkan kalender 12 bulan, melainkan sebuah peristiwa sakral yang mengikat nilai spiritual, budaya, dan keberlanjutan ekologis masyarakat adat.
Penti dalam Perspektif Adat Manggarai
Dalam buku Manggarai: Budaya dan Tradisi karya Florentinus Moa (2016), dijelaskan bahwa Penti adalah ritus tahunan yang dilaksanakan sebelum musim tanam tiba, biasanya sebelum Oktober.
Pada masa itu, masyarakat Manggarai mengadakan upacara adat dengan berbagai simbol seperti pengorbanan darah ayam atau hewan lain sebagai bentuk penyucian lahan dan benih yang akan ditanam.
Langkah ini bukan sekadar serangkaian upacara, melainkan juga pesan mendalam tentang urgensi merawat harmoni dengan alam semesta.
Namun, hemat saya dalam praktiknya kini, banyak yang melaksanakan Penti tanpa memahami inti filosofisnya.
Hal ini diperparah dengan modernisasi yang menggiring Penti hanya sebagai acara formalitas budaya tanpa makna mendalam.
Seorang ahli antropologi, Gregorius Ngada, menyebutkan bahwa “Tradisi seperti Penti adalah wujud dialog antara manusia, leluhur, dan alam. Jika makna ini hilang, maka yang tersisa hanyalah ritual kosong yang kehilangan rohnya.” 20 September 2023.
Pernyataan ini hemat saya menegaskan bahwa pelaksanaan Penti yang hanya berfokus pada kemeriahan tanpa menyentuh esensi spiritualnya adalah bentuk pengabaian terhadap nilai adat yang luhur.
Makna Penti Sebagai Tahun Baru Adat
Bagi nenek moyang Manggarai, Penti memang dapat dipahami sebagai semacam tahun baru, tetapi bukan dalam pengertian kalender modern.
Penti lebih menyerupai awal siklus kehidupan baru yang ditandai dengan musim tanam.
Dalam buku Ritus dan Tradisi di Nusantara karya Maria Wattimena (2020), disebutkan bahwa “bagi masyarakat agraris seperti Manggarai, setiap musim tanam adalah awal baru yang melibatkan tidak hanya manusia tetapi juga leluhur dan alam dalam harmoni.”
Dalam konteks ini, Penti adalah momen untuk mengucap syukur atas hasil panen sebelumnya sekaligus memohon berkat untuk musim tanam yang akan datang.
Oleh karena itu, hemat saya Penti tidak boleh disamakan dengan perayaan tahun baru yang berbasis kalender masehi.
Namun, apa yang terjadi saat ini? Penti seringkali dilaksanakan asal-asalan, hanya sebagai ajang pertemuan sosial atau hiburan.
Tidak sedikit yang bahkan melakukannya di luar Waktu yang seharusnya, misalnya di bulan November atau Desember, sekadar menyesuaikan jadwal liburan.
Hal ini, menurut tokoh adat Manggarai, Bapak Mikhael Mahar adalah bentuk “pembangkangan terhadap tradisi yang menodai kesakralan Penti.”
Mengapa Penti Kian Terkikis?
Modernisasi dan globalisasi seringkali menjadi kambing hitam atas terkikisnya tradisi lokal. Namun, kenyataannya lebih kompleks.
Dalam artikel Nasionalisme dan Tradisi Lokal di Jurnal Budaya Nusantara (2022), dijelaskan bahwa penyebab utama hilangnya makna tradisi adalah kurangnya edukasi terhadap generasi muda tentang pentingnya budaya lokal.
Masyarakat adat sering kali tidak lagi memahami alasan di balik setiap ritual.
Akibatnya, mereka melaksanakan tradisi hanya karena ini sudah biasa dilakukan. Pola pikir seperti ini yang membuat esensi Penti semakin hilang.
Dalam seminar adat yang diadakan oleh Universitas Flores pada Oktober 2023, disebutkan bahwa tradisi seperti Penti harus dilihat sebagai warisan hidup yang harus terus diperbaharui dan dimaknai ulang.
Upaya Revitalisasi Makna Penti
Untuk mengembalikan makna Penti sebagai ritus sakral, hemat saya beberapa langkah perlu dilakukan.
Pertama, edukasi tentang budaya lokal harus diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan, terutama di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Generasi muda harus diajarkan bahwa tradisi seperti Penti adalah bagian dari identitas mereka yang harus dijaga.
Kedua, Peran para pemuka agama dan tetua adat dalam memberikan pemahaman kepadamasyarakat merupakan sebuah kebutuhan yang tak tergantikan.
Dalam tradisi Manggarai, Penti tidak hanya melibatkan tokoh adat tetapi juga unsur-unsur keagamaan. Hal ini menunjukkan adanya ruang dialog antara kepercayaan lokal dan agama modern.
Ketiga, dokumentasi dan publikasi tentang tradisi Penti harus ditingkatkan.
Buku-buku, artikel, dan film dokumenter dapat menjadi sarana untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang Penti, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Keempat, pemerintah daerah harus memberikan perhatian lebih pada pelestarian budaya lokal.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Manggarai 2023-2028, pelestarian budaya disebut sebagai salah satu prioritas. Namun, implementasinya masih perlu ditingkatkan.
Mengembalikan Kesakralan Penti
Menghidupkan kembali Penti sebagai ritus yang penuh makna hemat saya bukanlah tugas mudah, tetapi sangat mungkin dilakukan jika semua pihak bersinergi.
Generasi muda, masyarakat adat, pemerintah, dan lembaga pendidikan harus bergandengan tangan untuk menjaga warisan budaya ini tetap hidup.
Sebagai masyarakat Manggarai, kita harus berhenti melihat Penti sebagai sekadar tradisi usang. Sebaliknya, kita harus memaknainya sebagai identitas kolektif yang menyatukan kita dengan leluhur, alam, dan Sang Pencipta.
Dalam buku Tradisi dan Identitas karya Aloysius Gita (2021), disebutkan bahwa “tradisi adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Jika kita memutus jembatan ini, kita kehilangan identitas kita.”
Penutup
Penti Weki Peso Beo bukanlah perayaan biasa. Ia adalah warisan leluhur yang mengandung pesan mendalam tentang harmoni manusia dengan alam dan penghormatan kepada Sang Pencipta.
Dalam era modern ini, kita dihadapkan pada tantangan untuk menjaga kesakralan tradisi ini agar tidak tergerus oleh waktu dan perubahan zaman.
Sudah saatnya kita berhenti melaksanakan Penti hanya sebagai formalitas budaya. Mari kita kembalikan makna sejatinya sebagai ritus sakral yang memperkuat identitas dan harmoni masyarakat Manggarai.
Dengan demikian, Penti tidak hanya menjadi warisan masa lalu, tetapi juga sumber inspirasi untuk masa depan yang lebih baik. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.