Demi Kemanusiaan, Presiden Prabowo Beri Amnesti ke Ribuan Napi, Begini Kata Natalius Pigai

Demi aspek kemanusiaan, Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada ribuan narapidana yang kini sedang meringkuk di balik jeruji besi, penjara

Editor: Frans Krowin
YOUTUBE/SEKRETARIAT PRESIDEN
BERI AMNESTI – Demi pertimbangan kemanusiaan, Presiden Prabowo Subianto memberikan amesti kepada 44 ribu narapidana yang saat ini berada di balik jeruji besi, penjara. 

POS-KUPANG.COM – Demi aspek kemanusiaan, Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada ribuan narapidana yang kini sedang meringkuk di balik jeruji besi, penjara. Ada pun amnesty itu diberikan kepada 44 ribu napi yang kini masih berada di balik penjara.

Pemberian amesti itu merupakan salah satu gebrakan awal Presiden Prabowo Subianto setelah mengemban tugas sebagai orang nomor satu di Indonesia menggantikan Presiden Jokowi yang telah purnah tugas sejak Oktober 2024 lalu.

Amnesti adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh kepala negara untuk memberikan pengampunan atau penghapusan hukuman kepada pelaku tindak pidana. Amnesti merupakan hak prerogatif presiden yang diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945

Dalam memberikan amnesti, presiden akan mempertimbangkan masukan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Agung. Amnesti dapat diberikan tanpa pengajuan permohonan terlebih dahulu. 

Terkait hal tersebut, Menteri HAM RI, Natalius Pigai menilai, aspek kemanusiaan merupakan alibi di balik rencana pemberian amnesti tersebut.

Mereka yang akan diberi amnesty, lanjut dia, sebelumnya ditahan terkait kasus politik, UU ITE, pengguna narkotika yang semestinya direhabilitasi, mengalami gangguan jiwa dan pengidap HIV/AIDS. 

“Terkait amnesti ini, salah satu yang menjadi pertimbangan adalah aspek kemanusiaan dan semangat rekonsiliasi. Presiden memiliki perhatian pada aspek itu, maka ini menjadi keputusan politik yang humanis berlandaskan HAM sebagaimana tertuang dalam poin satu Astacita,” kata Pigai sebagaimana dilansir Pos-Kupang.Com dari Tribunnews.com, Senin 16 Desember 2024. 

Mengenai narapidana yang terjerat UU ITE, Nataliun Pigai mengatakan, bahwa mereka melakukan penghinaan terhadap kepala negara, berkaitan erat dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Oleh sebab itu, Presiden merasa perlu memberikan pengampunan. 

Menurut Pigai, hal itu juga berlaku untuk narapidana terkait kasus Papua, narapidana yang berusia lanjut, anak-anak, gangguan jiwa, serta narapidana pengidap sakit berkepanjangan yang memerlukan perawatan khusus. 

 “Ini semua sangat berkaitan dengan sisi-sisi kemanusiaan dan rekonsiliasi. Masalah dengan UU ITE itu HAM, narapidana yang sakit berkepanjangan itu juga HAM. Artinya, Bapak Presiden memberi perhatian pada aspek-aspek HAM dalam pengambilan keputusannya,” tutur Pigai. 

Sebelumnya, Presiden Prabowo memimpin rapat terbatas bersama sejumlah menteri Kabinet Merah Putih di Istana Kepresidenan, Jumat 13 Desember 2024. 

Salah satu isu yang dibahas pada rapat tersebut adalah pemberian amnesti kepada narapidana tertentu. 

Menurut data Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, terdapat sekitar 44.000 narapidana yang memenuhi kriteria untuk diusulkan memperoleh amnesti. 

Namun, jumlah pasti masih dalam asesmen untuk selanjutnya akan dipertimbangkan oleh DPR.

Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mendesak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk tetap transparan dan akuntabel ketika memberikan pengampunan atau amnesti kepada 44.000 narapidana (napi). 

Maidina menyebut transparansi diperlukan supaya publik tetap bisa mengkritisi langkah pemberian amnesti tersebut. 

"ICJR pada dasarnya menyepakati segala langkah yang dilakukan atas dari kemanusiaan dan hak asasi manusia, apalagi yang ditujukan untuk mengakhiri kriminalisasi pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi," ujar Maidina dalam keterangannya, Minggu 15 Desember 2024. 

"Namun yang ICJR tekankan adalah bahwa proses pemberian amnesti tersebut harus dilakukan secara akuntabel dan transparan. Kami menyerukan proses ini harus dilakukan berbasis kebijakan yang bisa diakses publik untuk dinilai dan dikritisi," sambung dia. 

Maidina mengatakan, teknis pemberian amnesti harus dirumuskan dalam peraturan untuk menjamin standardisasi pelaksanaan penilaian dan pemberian amnesti, sampai dengan diusulkan ke Presiden dan dipertimbangkan oleh DPR. 

Selain itu, penilaian juga harus berbasiskan hasil pembinaan yang memperhatikan aspek psikososial dan kesehatan. 

"Kami juga mengkritisi rencana napi yang diamnesti untuk dijadikan tenaga swasembada pangan dan komponen cadangan," ucapnya. 

"ICJR menyerukan bahwa rencana tersebut rentan bersifat eksploitatif," imbuhnya. 

"Jika napi tersebut diberikan kesempatan kerja sebagai bagian dari pembinaan, maka hak atas upah pekerjaannya harus dibayarkan, bahkan bisa dilakukan saat ini tanpa perlu mendasarkan hal tersebut dengan rencana amnesti," jelas Maidina. 

Kemudian, terkait pemberian amnesti bagi napi pengguna narkotika, ICJR mengaku sudah menyuarakan hal tersebut sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Maidina menyebut ICJR tidak menyepakati bahwa menghindarkan pemenjaraan bagi pengguna narkotika sama dengan memberlakukan rehabilitasi bagi mereka. 

"Hal ini tidak tepat, karena tidak semua pengguna narkotika membutuhkan rehabilitasi. Hanya 13 persen pengguna narkotika yang mengalami penggunaan bermasalah (UNODC, 2022). Hanya 1 dari 9 pengguna narkotika mengalami permasalahan dalam penggunaannya yang membutuhkan rehabilitasi (UNODC, 2018)," kata dia. 

Untuk itu, ICJR menilai perubahan kebijakan yang harus didorong adalah revisi UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu dengan dekriminalisasi pengguna narkotika. 

Kata Maidina, pengguna narkotika dalam jumlah tertentu harus merupakan domain intervensi lembaga kesehatan, bukan aparat penegak hukum. 

Lalu, dengan adanya rencana amnesti untuk napi penghina Presiden, maka kriminalisasi penghinaan Presiden dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Baru juga harus dihapuskan. 

Sementara itu, bagi napi yang dikeluarkan karena sakit, maka pertimbangan tentang tindak pidananya harus dilakukan. 

Dia menilai amnesti tidak serta merta dapat diberlakukan bagi napi yang sakit. 

"Jika narapidana yang melakukan tindak pidana umum tertentu yang memang adalah perbuatan pidana dengan korban teridentifikasi, maka yang lebih tetap diberlakukan terhadap narapidana tersebut adalah Grasi atau pengampunan presiden, bukan penghapusan pidana lewat amnesti," imbuh Maidina. 

Sebelumnya, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengungkapkan narapidana (napi) yang dipenjara karena memakai narkoba hingga menghina kepala negara akan diusulkan untuk mendapat amnesti dari Presiden Prabowo Subianto

Supratman mengatakan, amnesti perlu dilakukan dalam rangka mengurangi overload yang terjadi di penjara. 

"Beberapa kasus yang terkait dengan kasus-kasus penghinaan terhadap, ataupun ITE yang terkait dengan kepala negara, atau itu, Presiden meminta untuk diberi amnesti," ujar Supratman di Istana, Jakarta, Jumat 13 Desember 2024. 

"Dan juga yang seharusnya mendapatkan rehabilitasi akibat penggunaan narkotika, itu juga diminta untuk diberikan amnesti," sambung dia. 

Supratman mengatakan, napi yang sudah terkena gangguan jiwa dan penyakit HIV juga akan diberikan amnesti. 

Lalu, beberapa napi yang terkait dengan Papua juga akan diberi pengampunan "Tetapi yang bukan bersenjata, juga Presiden setuju untuk memberikan amnesti," kata Supratman. 

Menurut Supratman, total napi yang diusulkan mendapat amnesti mencapai 44.000 orang. 

Meski demikian, Supratman akan memastikan jumlah pastinya. 

"Saat ini yang kita data dari Kementerian Imipas yang memungkinkan untuk diusulkan amnesti kurang lebih sekitar 44.000 sekian orang ya," imbuh dia. (*)

Ikuti Pos-Kukpang.Com di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved