Berita Kota Kupang
Uskup Agung Kupang Mgr. Hironimus Pakaenoni Sebut Para Katekis sebagai Misionaris Lokal
Uskup Agung Kupang Mgr. Hironimus Pakaenoni memberikan rekoleksi Adven kepada para katekis di Gereja Paroki Santo Yoseph Penfui Kupang, Jumat (13/12)
Penulis: Agustinus Sape | Editor: Agustinus Sape
Selanjutnya, Mgr. Hironimus menguraikan pertobatan yang diwartakan Yohanes Pembaptis (Luk. 3:7). Menurutnya, kata pertobatan ini bisa terasa tidak nyaman, karena seperti halnya padang gurun bukanlah tempat pertama yang kita pertimbangkan untuk pergi dan tinggal di sana, demikian pula panggilan untuk bertobat pasti bukanlah kata pertama yang ingin kita dengar.
Pembicaraan tentang pertobatan bisa membuat kita tertekan; bisa terasa sulit untuk dipadukan dengan Injil sukacita. Namun, hal itu hanya akan terasa demikian jika kita memandang pertobatan semata-mata sebagai upaya kita sendiri untuk mencapai kesempurnaan moral, seolah-olah itu adalah sesuatu yang bisa kita capai melalui daya dan usaha kita sendiri.
"Di situlah letak masalahnya. Kita berpikir bahwa semuanya tergantung pada diri kita. Hal ini justru berbahaya, karena dapat mengarah pada kesedihan rohani dan frustrasi. Alasannya, karena kerinduan kita untuk bertobat berubah dan menjadi lebih baik, seringkali gagal, meskipun kita telah berjuang semaksimal mungkin, dengan mengerahkan segenap daya dan kekuatan kita. Yang terjadi justru kita sering tersandung dan jatuh lagi dalam kebiasaan yang salah."
Mgr. Hironimus juga menguraikan kata metanoin yang bermakna pertobatan. Kata metanoin terdiri dari preposisi meta, yang berarti melewati, melampaui, dan kata kerja noein, yang berarti berpikir. Kata ini memberi tahu kita bahwa bertobat adalah berpikir melewati atau pergi melampaui cara berpikir kita, melampaui kebiasaan pandangan dunia kita.
Bertobat menurut Mgr. Hironimus menyangkut semua cara berpikir yang mengurangi segala sesuatu pada diri kita sendiri, pada keyakinan kita akan kecukupan diri kita. Atau cara berpikir yang berpusat pada diri sendiri yang ditandai oleh kekakuan dan ketakutan yang melumpuhkan, baik oleh godaan untuk berkata, "kami selalu melakukannya seperti ini, mengapa harus berubah?" maupun oleh ide bahwa padang gurun kehidupan adalah tempat kematian, bukan tempat kehadiran Tuhan.
Mgr. Hironimus mengatakan, dengan memanggil kita untuk bertobat, Yohanes Pembaptis mengajak kita untuk melangkah melebihi/melewati/melampaui tempat kita berada saat ini, melampaui apa yang disampaikan oleh insting kita dan apa yang tercatat dalam pikiran kita, karena kenyatannya jauh lebih besar dari itu. Kenyatannya ialah bahwa Tuhan jauh lebih besar (dari apa adanya kita, apa seharusnya kita dan apa yang kita pikirkan).
Karena itu, bagi Mgr. Hironimus, bertobat berarti tidak mendengarkan hal-hal yang memadamkan (mereka yang terus mengatakan bahwa tidak ada yang berubah dalam hidup ini, para pesimis sepanjang masa); menolak untuk percaya bahwa kita ditakdirkan untuk tenggelam dalam lembah kehampaan; tidak menyerah pada ketakutan dalam diri kita, yang muncul terutama pada saat ujian dan yang membuat kita merasa tidak akan berhasil, bahwa segala sesuatu telah salah, dan menjadi orang kudus bukanlah untuk kita.
"Semuanya itu tidak benar karena Tuhan selalu hadir," tandasnya.
Dia menegaskan, kita percaya kepada Tuhan karena dia yang melampaui diri kita adalah kekuatan kita. Segalanya berubah ketika kita memberikan tempat pertama kepada Tuhan. Itulah yang dimaksud dengan pertobatan!
"Sejauh Kristus prihatin dengan diri kita, kita hanya perlu membuka pintu dan membiarkan Dia masuk serta melakukan kebaikannya. Sama seperti padang gurun dan pewartaan Yohanes, itulah yang dibutuhkan agar Kristus datang ke dunia. Tuhan tidak meminta lebih dari itu," tandas Mgr. Hironimus.
Perjumpaan antara sejarah dunia dan sejarah keselamatan
Mgr. Hironimus mengutip Paus Paulus VI yang pernah menulis, “Sejarah keselamatan sedang diwujudkan di tengah-tengah sejarah dunia.”
"Inilah yang kita lihat dalam bacaan Injil Lukas (3:1-6): pertemuan antara sejarah manusia dan sejarah keselamatan; antara manusia sebagai subjek waktu dan Tuhan yang adalah Penguasa waktu."
Menurut Mgr. Hironimus, penginjil Lukas memberikan kita daftar tokoh-tokoh sejarah dan politik besar pada masa itu tentu untuk menggoda para pembaca dan pendengar untuk berpikir bahwa ia akan memberikan sebuah kisah tentang sejarah dunia. Tetapi kemudian sang Penginjil dengan cepat mengalihkan perhatian kita pada seseorang yang tampaknya tidak penting, “Yohanes anak Zacharia”, yang pelayanan dan ajarannya di padang gurun, kini menjadi dasar bagi puncak sejarah keselamatan, yakni kedatangan Mesias.
Baca juga: Uskup Agung Kupang Mgr. Hironimus Pakaenoni Tahbis 28 Diakon
Alasan mengapa St. Lukas menggabungkan kedua cerita ini dalam narasinya, menurut Mgr. Hironimus, untuk menunjukkan kepada kita bahwa kisah sejarah keselamatan memang tidak terjadi dalam kekosongan, sebagai sesuatu yang sepenuhnya terpisah dari sejarah manusia. Sebaliknya, ia terjadi dalam ruang dan waktu, dalam Sejarah Dunia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.