Opini
Opini: Politik Hibernasi di Pilkada 2024
Komisi Pemilihan Umum menampilkan data daerah yang terlibat dalam pilkada serentak 2024 yakni sebanyak 37 Provinsi dan 508 Kabupaten/Kota.
Oleh: Jondry Siki, S.Fil
Alumnus Fakultas Filsafat Unwira Kupang, Tinggal di Palangka Raya
POS-KUPANG.COM - Hari “H” pemilihan kepala daerah (Pilkada) sudah berada di depan mata. Sejumlah calon telah menempuh beragam cara untuk mendulang suara agar bisa terpilih dalam pilkada serentak Rabu (27/11/2024).
Selama rentang waktu kampanye, para calon menyampaikan visi dan misi yang penuh kejutan dan kemanisan. Bahkan para pendukung saling menyindir dan saling menyikut di dunia maya guna membuktikan bahwa calon yang didukungnya lebih baik daripada yan lain. Metode serupa merupakan cara klasik untuk bisa meraup banyak suara.
Komisi Pemilihan Umum menampilkan data daerah yang terlibat dalam pilkada serentak 2024 yakni sebanyak 37 Provinsi dan 508 Kabupaten/Kota.
Provinsi Jogjakarta dikecualikan karena Sultan adalah kepala daerah dan kekuasaannya diperoleh tanpa pilkada.
Satu hari lagi, para calon akan menatap dan meratap nasib di tengah euforia pesta demokrasi ini. Bukan tidak mungkin ada calon yang akan mengalami gangguan mental lantaran kerugian yang dialami selama kampanye lantaran tidak terpilih.
Pilkada serentak 2024 di bawah bayang-bayangan fenomena politik primordialisme melalui promosi kesamaan agama, ras, suku dan bahasa.
Metode klasik ini dinilai lebih ampuh dari pada kekuatan partai politik karena kesamaan primordial lebih mengena dan mudah untuk menggiring pemilih untuk memilih yang memiliki kesamaan serupa.
Lebih lanjut politik primordial juga dibaluti politik uang guna memperlancar para calon dalam meraih kekuasaan dan inilah yang patut diwaspadai sebab primordialisme dan politik uang akan membawa pemimpin jatuh dalam politik hibernasi.
Mentalitas Politik Hibernasi
Pesta demokrasi yang digelar kerap menyembunyikan wajah hibernasi para elit politik. Para tim sukses berjuang dan bekerja siang malam untuk memenangkan calon yang diusung yang ternyata bermental hibernatif.
Kata Hibernasi berasal dari Bahasa Latin “Hibernatio” yang berarti tidur panjang. Hibernasi hanya terjadi pada binatang untuk mempertahankan diri dari cuaca yang ekstrem di mana mereka akan beristirahat dalam jangka waktu yang cukup lama sampai keadaan kembali normal dan membaik.
Selama masa hibernasi hewan tidak melakukan apa pun selain tidur untuk menjaga keseimbangan diri dalam mempertahankan hidupnya.
Kata hibernasi sengaja diangkat di sini untuk memberi rambu kepada para pemilih agar berhati-hati dalam memilih pemimpin bermental hibernatif.
Makna Politik Hibernasi adalah suatu keadaan di mana para pemimpin setelah memenangi pilkada secara spontan mengistirahatkan diri kepentingan umum dan saat yang tepat untuk “ganti-rugi” seperti balas budi bagi para pendukung dan mengisi kembali kantong yang sempat menipis akibat biaya yang dikeluarkan selama kampanye.
Mentalitas hibernatif rupanya satu penyakit yang menjangkit banyak pemimpin sehingga setelah terpilih lebih nyaman di kantor dan istana daripada blusukan dan turun lapangan menyapa rakyatnya.
Sejauh ini politik yang ditampilkan masih belum mendekati harapan masyarakat. Ekspektasi rakyat untuk pemimpin yang merakyat masih sebatas angan-angan.
Tanggap terhadap keluhan masyarakat datang ketika sesuatu itu sudah viral di media sosial. Rupanya pemimpin lebih reaktif terhadap masalah sosial di media daripada turun dan menyaksikan sendiri di lapangan.
Melihat fenomena ini, masyarakat lebih percaya dan melapor ke media sosial daripada kepada aparat penegak hukum. Sebab rakyat percaya bahwa hukuman media sosial jauh lebih terasa daripada sanksi sosial.
Maka setiap pemimpin mesti kreatif dalam mencari dan menemukan jalan keluar terhadap masalah yang ada di tengah masyarakat agar Bonum Commune (kesejahteraan umum) bisa terwujud di atas Bonum Familiae (kesejahteraan keluarga).
Tidak Cukup dari Debat
Komisi Pemilihan Umum mengalokasikan setidaknya tiga kali debat terbuka bagi para calon kepala daerah yang akan bertarung dalam pilkada.
Selama tiga kali debat para pendukung akan menilai visi dan misi yang dipaparkan para calon dari partai lain dan akan diperdebatkan selama waktu perdebatan.
Apakah semuanya sejalan dengan situasi daerah atau hanya sebatas retorika belaka untuk dinilai baik dalam public speaking. Acara debat calon kepala daerah tidak hanya sebatas menilai tata bahasanya tetapi melihat ketulusan hati untuk membangun daerah.
Di dalam debat ada banyak aspek yang bisa nilai dan yang menjadi poin pokok adalah rekam jejak dari figur yang menyampaikan visi dan misi itu.
Ada banyak orang bisa beretorika tetapi kurang dalam aksi dan perwujudan visi-misi.
Hal inilah yang membuat rakyat sudah merasa nyaman dengan dirinya sendiri ketika pergantian kepemimpinan, bahkan ada lontaran bahasa sindir yang sering terdengar “mau ganti pemimpin berkali-kali, kita tetap makan dan minum seperti biasa”.
Ungkapan ini sebenarnya mau menunjukan bahwa setiap pemimpin baru yang menduduki tampuk kekuasaan, tidak ada perubahan signifikan yang berarti di tengah masyarakat.
Maka momen pilkada setiap lima tahun sejatinya bukan suatu formalitas yang harus dilewati tetapi sungguh-sungguh menjadi kesempatan untuk memilih pemimpin yang berjiwa pelayan dan bermental hamba.
Bangsa ini kekurangan pemimpin-pemimpin bermental hamba dan berspirit merakyat.
Negeri ini kelebihan orang-orang bermental bos dan berjiwa majikan sehingga ketika terpilih sangat sulit untuk melayani rakyat dengan baik dan lebih parahnya lagi bagi-bagi kekuasaan kepada para tim sukses.
Hibernasi Politik Penghambat Bonum Commune
“Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar tetapi kekurangan orang jujur.” Kalimat ini mau mengungkapkan satu hal dari bangsa ini bahwa negeri ini darurat kekurangan orang jujur. Politik telah berubah wajah setelah direnggut oleh orang-orang “mata duitan”.
Senada dengan kalimat di atas, dalam konteks hibernasi politik, kalimat tersebut bisa diserupakan dan bisa disepadankan namun dengan bungkusan dan kalimat yang berbeda.
Maka kalimat yang sepadan dengan kalimat di atas adalah “Bangsa ini tidak kekurangan orang-orang potensial tetapi kekurangan orang-orang berjiwa hamba”. Provinsi dan negeri ini kelebihan orang-orang potensial tetapi kurang pengelolaan potensi itu untuk kebaikan bersama.
Hibernasi politik membawa bangsa dan negeri ini mendekati jurang kehancuran karena potensi-potensi orang-orangnya tidak dimanfaatkan untuk kebaikan bersama tetapi hanya untuk kepentingan diri sendiri.
Sehingga tidak mengherankan jika setiap pergantian rezim kepempimpinan, keluhan dan rintihan yang sama tetap terdengar karena, setelah terpilih para pemenang berhibernasi di dalam kantor, istana dan rumah dinas.
Bangsa dan provinsi ini membutuhkan pemipin yang berjiwa sosial dan merakyat agar bisa berpartisipasi dalam penderitaan yang dialami oleh rakyat.
Bonume Commune hanya bisa terwujud bila orang-orang pintar di negeri ini menjadi jujur dan orang-orang berpotensi memiliki jiwa pelayanan.
Bangsa dan nusa tercinta ini berkelimpahan orang-orang hebat namun kemudian takluk di bawah kekuasaan dan uang. Momentum pilkada ini menjadi kesempatan bagi segenap rakyat agar cerdas dalam memilih pemimpin yang mampu mengintegrasikan kepintaran, kejujuran di dalam pelayanan kepada rakyat.
Tolak Politik Uang
Sabam Sirait dalam bukunya mengatakan bahwa politik itu suci. Lantas di mana letak kesucian politik itu? Sampai hari ini kata “politik” berkonotasi negatif di mana diartikan sebagai pekerjaan tipu-menipu.
Sejatinya sejak awal politik itu baik adanya dan suci namun karena kekuasaan politik jatuh di tangan orang yang salah, wajah politik kemudian berubah makna dan kehilangan marwah kesuciannya.
Politik itu suci karena berasal dari Tuhan. Sejak awal manusia diberi tanggung jawab oleh Tuhan untuk berkuasa atas segala ciptaan dan kekuasaan itu milik Tuhan.
“Tunduklah, karena Allah, kepada semua Lembaga manusia baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi”(1Pet 2:13).
Sekiranya ayat Kitab Suci ini menjadi rujukan bahwa politik itu suci karena berasal dari Tuhan.
Politik merupakan Lembaga manusiawi untuk mengatur dan mengurus kebijakan demi kebaikan bersama dan segala yang baik berasal dari Sang Kebaikan oleh sebab itu kebaikan-kebaikan di dalam politik harus diperkenalkan agar wajah politik tidak jatuh di tangan orang-orang yang tidak bersih.
Maka, untuk melawan mentalitas politik hibernatif, setiap warga negara wajib bangkit untuk melawan politik uang karena biang kerok kerusakan demokrasi adalah cinta uang dan politik primordialisme.
Sebagai bangsa demokrasi yang besar, mari gunakan hak pilih untuk menentukan masa depan provinsi menjadi lebih baik dengan teliti dan berhati-hati dalam menjatuhkan pilihan di bilik suara pada hari pemilihan kepala daerah.
Katakan tidak pada mentalitas hibernatif calon pemimpin dan tolak politik uang sebab politik pada mulanya adalah suci. Mari utamakan Bonum Commune daripada Bonum Familiae. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.