Opini
Opini: Pangan Lokal dalam Pariwisata
Pangan lokal sebagai unsur budaya masyarakat desa patut mendapat tempatnya dalam pengembangan pariwisata NTT.
Oleh: Albert Novena, SVD
Tinggal di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, Maumere, Flores - Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Kuliner lokal atau makanan tradisional pada masyarakat NTT merupakan bagian dari budaya lokal.
Masyarakat tradisional NTT kaya dengan berbagai ragam olahan makanan tradisional yang bahan bakunya diambil dari hasil alam sekitarnya baik dari hasil pertanian, atau hutan maupun dari peternakan dan kelautan.
Olahan makanan tradisional itu dikonsumsi baik untuk kebutuhan sehari hari maupun untuk kebutuhan dalam berbagai pesta adat dan ritualnya,dan juga untuk kebutuhan ekonomi pedesaan.
Olahan kuliner lokal ini kini tampaknya semakin tergeser oleh pengembangan pariwisata di Indonesia yang cenderung memberi kesempatan lebih besar kepada para pengusaha membangun berbagai usaha kepariwisataan seperti perhotelan, restoran, pusat perbelanjaan dan lain-lain dimana disediakan berbagai bahan kuliner impor dan instan dan kurang memberi peluang kepada masyarakat desa untuk mengembangkan olahan kuliner lokalnya sebagai daya tarik wisata.
Local Response
Pangan lokal menjadi isu penting dalam pengembangan wisata kuliner karena hal ini bersangkutan dengan usaha pengembangan pariwisata budaya pedesaan agar masyarakat desa terlibat dalam dunia pariwisata.
Ini merupakan local response masyarakat pedesaan dalam pembangunan pariwisata Indonesia.
Pemerintah, pengusaha dan para pemangku kepentingan pariwisata mestinya membuka ruang bagi masyarakat desa untuk berusaha membangun pariwisata pedesaan bagi kesejahteraan masyarakat desa.
Pangan lokal sebagai unsur budaya masyarakat desa patut mendapat tempatnya dalam pengembangan pariwisata NTT.
Tantangan Kontemporer
Dewasa ini, usaha mempertahankan pelestarian tradisi pengolahan pangan lokal tidaklah mudah karena berhadapan dengan kebudayaan kontemporer modern bercirikan kemajuan teknologi,yang menyediakan segala sesuatu serba instan dan cepat saji dalam industri pariwisata.
Lahan tanah masyarakat desa tempat pengelolaan pangan lokal tergerus oleh industri pariwisata. Industri pariwisata modern umumnya membutuhkan lahan tanah luas khususnya di wilayah pedesaan.
Banyak investor baik WNI maupun WNA berebutan membeli tanah penduduk lokal guna membangun berbagai usaha kepariwisataan seperti perhotelan, restoran, tempat hiburan dan rekreasi, mall dan plaza bisnis dan lain-lain.
Penduduk lokal mudah saja menjual tanahnya demi meraup uang sekejap tanpa memikirkan manfaat tanah bagi generasinya ke depan. Ada juga situasi dimana mereka diintimidasi untuk melepaskan tanahnya bagi investor.
Lahan tanah masyarakat lokal untuk pertanian, perkebunan atau peternakan mudah beralih fungsi untuk kepentingan pembangunan sentra industri pariwisata.
Sebenarnya masyarakat lokal tidak perlu menjual tanahnya karena lahan tanah pertanian atau peternakannya itu bisa digarap sendiri dengan hasilnya untuk mengsuplai kebutuhan konsumsi pangan dalam industri pariwisata.
Contoh fenomena alih fungsi tanah pertanian masyarakat lokal menjadi garapan industri pariwisata seperti terlukis di atas sering terjadi di Bali dan Lombok.
Tanah persawahan padi di Bali semakin berkurang karena digarap menjadi lahan indutri pariwisata. (Jiwa Atmaja, Dampak Pariwisata Terhadap Kebudayaan Bali dalam Anom I Putu cs.2010, Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisis Global, Denpasar, Udayana Universty Press, p. 210).
Demikian juga tanah pertanian di Lombok semakin menciut karena dialihfungsikan menjadi lahan pembangunan industri pariwisata (Karim A, 2008, Kapitalisasi Pariwisata,dan Marginalisasi Masyarakat Lokal di Lombok, Yogyakarta, Genta Press, p.99-102).
Fenomena sama itu sudah terjadi juga di Manggarai Barat, Labuhan Bajo dan sekitarnya (Jebadu, A. 2021, Dalam Moncong Neoliberalisme, Maumere, Ledalero, p.256-268).
Ke depannya bila kebijakan pembangunan pariwisata oleh pemerintah kurang berpihak kepada kepentingan masyarakat desa maka tidaklah mustahil masyarakat akan kehilangan tanahnya untuk pertanian pangan lokal dan usaha tradisional lainnya.
Narasi Lokal
Masyarakat desa umumnya masih mengaitkan pemanfaatan tanah untuk pangan lokal dengan berbagai narasi ritual adat, mitos dan legenda.
Misalnya ritus adat lokapo’o di desa Wolowiro, Kecamatan Paga Kabupaten Sikka, ditujukan kepada leluhur untuk memohon kesuburan tanah pada awal musim tanam, khususnya tanaman padi.
Padi disapa dengan nama Ine Pare (Ibu Padi) yang melambangkan seorang perempuan Lio bernama Ine Mbu yang rela dibunuh oleh saudara laki-lakinya bernama Ndale di tempat bernama Keli Ndota.
Dari darah Ine Mbu yang berjatuhan muncullah tanaman padi yang memberi kehidupan bagi manusia (Pesona Sikka I,2006, Dinas Pariwisata Kabupaten Sikka, p.103-106).
Ini mitos kuliner lokal bermakna spiritualitas bumi (earth based spirituality) yang dihayati masyarakat dan bisa menarik wisatawan bila dipentaskan dalam festival seni adat kuliner.
Dengan kata lain, pangan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi dengan beragam resep tradisional pengolahannya tentu bukanlah hanya sekadar makanan untuk dikonsumsi tetapi juga menjadi media dalam menjalin hubungan dengan Sang Pencipta dan leluhur, sesama dan alam, serta mengandung nilai-nilai sosial-budaya, sejarah etnis, pesona alam, kearifan lokal dan keuntungan ekonomi.
Semuanya ini merupakan daya tarik khusus wisata kuliner yang menampilkan keaslian dan keunikan lokalnya (Nurdiyansyah, 2014, Peluang dan Tantangan Pariwisata Indonesia, Bandung, Alfabeta,p.138-143).
Dewasa ini masyarakat lebih banyak mengonsumsi beras impor dan bahan pangan impor lainnya yang tentu saja tidak memiliki narasi mitos dan legenda dari budaya lokalnya. Hal ini bisa mengurangi daya kreatif dan inovatif budaya masyarakat desa.
Manfaat bagi Masyarakat
Mengembangkan wisata kuliner lokal mengandung beberapa manfaat bagi masyarakat lokal yakni pertama bahan bakunya mudah diperoleh dari hasil pertanian di desa sehingga dapat memberi keuntungan ekonomi bagi para petani, nelayan dan peternak di desa.
Kedua, wisata kuliner lokal dapat membuka lapangan kerja bagi para ibu dan perempuan di desa sehingga mereka tidak tersingkir dari pengembangan pariwisata.
Ketiga, pelestarian lingkungan alam dapat dirawat oleh warga desa sendiri. Keempat, usaha pengembangan wisata kuliner di pedesaan khususnya oleh perempuan, dapat meminimalisasi migrasi perempuan ke luar daerah dalam bentuk TKW atau juga perdagangan orang.
Kelima, olahan kuliner lokal kiranya dapat menjadi pula menu makanan dalam pariwisata internasional.
Hari Pangan Sedunia
Setiap tahun pada 16 Oktober ada peringatan Hari Pangan Sedunia oleh FAO (PBB).
Tahun 2024 ini hari pangan sedunia diperingati dengan tema Right to foods for a better life and a better future, atau hak atas makanan demi kehidupan dan masa depan lebih baik, agar kelaparan dan malnutrisi antarmanusia di dunia dapat diatasi.
Apa maknanya bagi masyarakat pedesaan? Hak itu melekat juga pada masyarakat pedesaan yang menghasilkan pangan lokal untuk tetap eksis dalam masyarakat kontemporer.
Hari Pangan Sedunia mengandung pesan bahwa berbagai ragam kuliner lokal pada masyarakat NTT perlu digalakkan dalam pengembangan wisata kuliner.
Tercatat 60 persen wisatawan ke Indonesia tertarik aneka ragam budaya Indonesia dan 35 persen tertarik keindahan alamnya dan selebihnya tertarik wisata minat khusus seperti sport, pendidikan dan kesehatan.
Dari 60 persen wisatawan budaya itu, 45 persennya tertarik pada wisata kuliner (Kompas,14 Maret, 2017,p.1).Kuliner lokal NTT patut menjadi daya tarik food tourism NTT. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.