Perang Tanding di Adonara
Kisah Pilu Usai Bentrok Gegara Batas Tanah di Adonara, Stefanus Sodi : Trauma Tetap Ada
Warga yang melihat dan merasakan langsung perang tanding antar suku di Kecamatan Adonara Barat ini masih trauma salah satunya, Stefanus Sodi
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Paul Kabelen
POS-KUPANG.COM, LARANTUKA- Peristiwa berdarah yang terjadi di Kecamatan Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur terkait batas tanah beberapa waktu lalu membawa trauma buat warga.
Warga yang melihat dan merasakan langsung perang tanding antar suku di Kecamatan Adonara Barat ini masih trauma salah satunya, Stefanus Sodi (58).
Pria lansia asal Desa Bugalima berpostur pendek melitanikan perisitiwa yang sangat mencekam yang dilihatnya secara langsung.
Ketika ditemui wartawan di teras depan Kantor Desa Bugalima, Kecamatan Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur, Provinsi NTT, Jumat, 1 November 2024 siang, Stefanus Sodi pun berkisah.
Dia terlihat tak tenang saat membawa dua kursi plastik dari dalam kantor yang dipenuhi bantuan kemanusiaan.
Bantuan itu diberikan pemerintah dan pihak ketiga untuk menolong 201 jiwa di Desa Bugalima yang kehilangan tempat tinggal usai rumahnya dibakar massa buntut konflik tapal batas tanah.
Duduk pada kursi plastik dan ditemani enam bocah usia Sekolah Dasar (SD) yang lesehan di lantai, Stefanus lalu mencurahkan apa yang ia rasakan usai konflik berdarah pada, Senin, 21 Oktober 2024 pagi itu.
Baca juga: UPDATE Perang Tanding di Adonara, Penyidik Polres Flores Timur Tetapkan 21 Tersangka
Menurut Stefanus, keadaan Desa Bugalima sudah tak senyaman dulu. Tempat anak dan cucu bermain riang kini tak lagi sama.
Nasib pilu ini bahkan sampai terbawa mimpi. Semua serba tak nyaman akibat trauma berat.
Penyerangan brutal masih membekas dalam benaknya bersama warga Bugalima. Massa dari Desa Ilepati dan beberapa warga Desa Kimakamak menyerang mereka secara tiba-tiba.
Konflik ini menuai 2 korban jiwa, 4 luka, dan 51 rumah hangus.
"Kami masih takut, trauma tetap ada. Sudah tidak nyaman, pak. Sekarang kami menetap tahan dengan keluarga. Rumah sudah tidak ada lagi," ujar pria lansia itu.
Stefanus memandu POS-KUPANG.COM ke rumahnya yang berada di Dusun II. Bangunan tembok bata merah tampak luluh lantak.
Abu dan serpihan arang kayu berserakan. Rumah berukuran sekira 6x7 meter itu sudah tak bisa dihuni karena semua konstruksinya hangus.
Baca juga: Ratusan Siswa Tidak Sekolah Akibat Perang Tanding di Adonara Flores Timur NTT
Lorong-lorong dan jalan setapak yang biasa ramai kini berubah sepi. Beberapa warga di depan rumah hanya terdiam. Nyaris tak ada percakapan yang mengundang tawa antara mereka.
Rumah-rumah yang luput dari api dijadikan tempat hunian sementara. Namun saat ditilik lebih dekat, keadaan rumah yang hangus itu tak berada dalam satu area, tetapi tersebar di Dusun III dan Dusun II.
"Paling banyak di Dusun III, itu baku dekat, di sana itu yang ada korban meninggal akibat terbakar dalam rumah," ceritanya.
Patut dicurigai bahwa para pelaku dan massa sudah merencanakan aksi anarkis jauh-jauh hari sebelumnya. Sebab, rumah-rumah yang dibakar itu sepertinya sudah ada dalam list khusus.
Selain trauma di tempat tinggal, Stefanus dan petani lainnya belum bisa beraktivitas seperti biasa. Hal inilah yang membuatnya frustrasi selama 11 hari terakhir.
Tak ada biaya baginya untuk memperbaiki apa lagi membangun rumah baru. Uang dan harta benda hangus terbakar, termasuk surat-surat penting seperti akta kelahiran, akta nikah, KTP, dan kartu keluarga.
Beban semakin berat setelah mereka belum menggarap hasil komoditi kemiri dan mete di atas lahan yang menurutnya dekat dengan lokasi konflik.
Baca juga: Amankan Perang Tanding, 25 Personel Brimob Maumere Dikirim ke Adonara Flores Timur
"Iya, dekat sekali (lokasi konflik). Kami belum lihat kebun, kerja juga takut. Soalnya sempat ada informasi bahwa akan ada kejadian lagi," ungkapnya.
Stephanus dengan korban berjumlah 50 KK baru pulang dari Desa Wureh beberapa hari yang lalu. Selama mengungsi di Wureh, para korban diperhatikan dengan baik, termasuk pemerintah dan pihak ketiga yang memberi bantuan makanan.
Stefanus berharap ada mediasi lanjutan yang lebih meyakinkan, termasuk pemasangan pilar pada lahan yang sudah disepakati sejak awal.
Data korban rumah terbakar dari Pemerintah Desa Bugalima, sebanyak 51 KK dengan total 201 jiwa.
Rinciannya anak sekolah jenjang TKK sampai SMA 56 orang, sementara 145 di antaranya adalah orang dewasa.
Konflik tapal batas tahan antara warga Desa Ilepati dan Bugalima sudah ada kesepakatan damai setelah dimediasi Pemerintah Daerah Flores Timur bersama Polres Flores Timur dan Kodim 1624 Flores Timur.
Namun peristiwa berdarah hingga kini masih membekas. Air mata para korban terus berurai saat melihat abu dan puing-puing arang.
Polres Flores Timur saat ini menetapkan 21 tersangka, termasuk Kepala Desa Ilepati dan Kimakamak.
Polisi masih memburu sejumlah pelaku lain yang membakar rumah warga itu.(*)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.