Opini
Opini: Dunia Tulisan dalam Interpretasi Pembaca
Menulis sangat erat kaitannya dengan membaca, karena membaca memungkinkan orang bisa menulis. Menulis itu bertujuan agar tulisan itu dibaca orang lain
Oleh: Stefan Bandar
Anggota Biara Rogationis, tinggal di Manila - Filipina
POS-KUPANG.COM - Menulis merupakan salah satu aktivitas mengekalkan sesuatu pada ingatan orang lain.
Menulis bukan sekadar tindakan membubuhkan tinta pena di atas kertas melainkan sebuah kegiatan menyalurkan ide atau gagasan kepada orang lain melalui rangkaian kalimat dengan batasan tertentu.
Tulisan itu bisa berupa hal yang sudah familiar (sebagai bentuk afirmasi) atau hal-hal baru yang luput dari pengamatan banyak orang (sebagai informasi).
Menulis sangat erat kaitannya dengan membaca, karena membaca memungkinkan orang bisa menulis. Menulis itu bertujuan agar tulisan itu dibaca orang lain.
Tidak ada penulis yang menginginkan tulisannya tidak dibaca orang lain. Setiap penulis pasti berharap agar tulisannya dikonsumsi oleh orang lain sehingga informasi yang dihadirkannya dalam tulisan benar-benar tersampaikan.
Membaca merupakan sebuah aktivitas memahami isi atau pesan dari sebuah tulisan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), membaca adalah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis.
Di sini, ada dua kegiatan yang berlangsung secara bersamaan yakni melihat dan memahami apa yang ada di dalam teks.
Tampubolon mengartikan membaca sebagai proses penalaran untuk memahami ide atau pikiran yang terkandung dalam bahasa tulisan.
Hal ini berarti pembaca membutuhkan sebuah proses ‘menelanjangi’ bahasa tulisan melalui proses penalaran sehingga ide yang tersirat dalam bahasa tulisan dapat terungkap.
Sementara itu, Kolker mendefinisikan membaca sebagai sebuah proses komunikasi antara penulis dan pembaca dengan menggunakan bahasa tulisan.
Pembaca adalah orang yang menerima informasi sedangkan penulis adalah narasumber, orang yang memberikan informasi dan komunikasi dimungkinkan terjadi antara keduanya melalui proses membaca.
Untuk memahami pesan yang terkandung dalam bahasa tulisan dibutuhkan sebuah proses yang disebut interpretasi.
Interpretasi merupakan sesuatu yang lebih tinggi tingkatannya dari tindakan membaca. Semua orang, misalnya, bisa membaca tetapi tidak semua orang bisa memahami isi bacaan. Di sinilah letak pentingnya interpretasi.
Sebagai sebuah contoh: Semua orang bisa membaca Kitab Suci. Bahkan orang yang bukan Kristen pun bisa membacanya. Tetapi tidak semua orang yang membaca Kitab Suci dapat memahaminya.
Tanpa melalui proses interpretasi, orang tidak akan sampai kepada kepenuhan pemahaman akan tulisan yang ada, entah itu pesan yang tersirat ataupun latar belakang dari bacaan yang dibaca.
Maka dari itu sebuah tulisan hanya bisa dipahami dengan baik jika pembaca menginterpretasi tulisan itu dengan baik.
Hal ini penting karena hanya melalui interpretasilah sebuah tulisan bisa ‘ditelanjangi’ sehingga pembaca dapat memahami pesan atau hal-hal yang tersembunyi dari sebuah tulisan.
Interpretasi merupakan salah satu cabang disiplin ilmu yang dikenal dengan Hermeneutika. Sejarah mencatat bahwa hermeneutika digeluti oleh beberapa filsuf besar seperti Gadamer, Schleiermacher, Riceour, Diltey dan sebagainya.
Para filsuf ini setuju bahwa pembaca hanya bisa memahami dunia yang dihadirkan dalam sebuah tulisan (pesan atau makna tulisan) jika ia bisa menginterpretasinya dengan baik dan benar.
Kata hermeneutika itu berasal dari nama salah satu dewan Yunani yaitu Hermes.
Sebuah mitos Yunani menceritakan bahwa Hermes memiliki kewajiban khusus untuk menyampaikan pesan Tuhan kepada manusia. Hermes menerjemahkan pesan Tuhan ke dalam bahasa manusia sehingga manusia mampu menangkap pesan tersebut.
Aktivitas interpretasi merupakan suatu hal yang sangat diharapkan oleh penulis dan sangat dibutuhkan oleh pembaca. Mengapa? Sebab hal pertama yang dihadapi seorang penulis adalah interpretasi pembaca.
Kemungkinan terburuk dari hal ini adalah kenyataan di mana pembaca dengan serta merta menghakimi tulisan dengan ‘liar’, pembaca menginterpretasi berdasarkan posisi batinnya: apa yang dirasakan dan dipikirkan saat membacanya.
Sebenarnya hal ini menampilkan keberhasilan penulis. Seorang penulis berhasil jika tulisannya mengganggu kemapanan jalan pikiran seseorang, jika ia mampu membuat seseorang keluar dari koridor pemikiran yang biasa-biasa saja, mampu membuat tulisannya lebih hidup pada ingatan orang.
Seorang penulis berhasil jika tulisannya membuat pembaca masuk ke dalam situasi gaduh, berkelahi dengan dirinya sendiri, mengotakkan pemikirannya antara pro dan kontra, antara iya dan tidak, antara setuju dan menolak.
Di sisi lain, kenyataan ini menggambarkan kelemahan dalam diri pembaca. Saya teringat akan sebuah tulisan yang saya temukan dalam dinding facebook saya beberapa waktu lalu.
Isinya seperti ini: ‘Tidak semua yang menulis Hahahahaa berarti tertawa’. Pesannya sederhana, bahwa tidak semua penulis yang menulis cinta berarti sedang jatuh cinta, tidak semua penulis yang menulis rindu berarti sedang merindukan, tidak semua penulis yang menulis luka berarti sedang terluka.
Di dalam kenyataan, pembaca sering kali menggunakan interpretasi secara sepihak dengan tergesa-gesa. Ia mengotakkan horizon makna dari tulisan yang ada, mengotakkan pikiran atau imajinasi penulis pada batasan tertentu.
Bahkan ia juga ‘menuduh’ penulis sebagai seseorang yang sedang berada di dalam dunia tulisannya, yang sedang mengalami dunia dalam tulisan tersebut. Lebih parahnya lagi ialah interpretasi seperti ini sering kali dijadikan sebagai
kesimpulan akhir pembaca.
Kenyataan ini menegaskan bahwa menjadi penulis itu tidaklah mudah. Mengapa? Sebab ketika seorang penulis menghadirkan suatu situasi tertentu ke dalam dunia tulisannya, maka saat itu juga ia siap dihakimi dari berbagai sudut pandang.
Ia siap ditelusuri lebih dalam oleh pembaca, entah itu perihal konteks kehidupan realnya atau dunia pemikirannya yang membangun tulisan tersebut.
Berhadapan dengan kenyataan seperti ini, sekiranya pertanyaan yang sangat serius untuk dipikirkan pembaca adalah bagaimana dapat mengetahui dunia real penulis dengan dunia yang dihadirkannya dalam tulisannya.
Apakah dunia real penulis itu adalah dunia yang dihadirkannya dalam tulisan ataukah dunia yang dihadirkan penulis dalam tulisannya hanyalah sebuah hasil imajinasi semata.
Pertanyaan ini menjadi penting jika melihat kenyataan di mana kata-kata atau tulisan dapat menimbulkan situasi Chaos dalam kelompok masyarakat tertentu.
Kurangnya kemampuan menginterpretasi serta ketergesahan mengambil kesimpulan menjadikan kata-kata atau tulisan sebagai alasan sebuah tindakan kekerasan dilakukan.
Alhasil banyak permasalahan yang terus berkelanjutan di dalam kehidupan masyarakat yang mencederai peradaban bangsa menuju kedamaian.
Di dalam konteks bangsa Indonesia, pertanyaan ini menjadi sangat penting ketika melihat realitas kemajemukan yang ada. Eksistensi SARA adalah contoh nyata dimana interpretasi menjadi sangat penting untuk dimiliki setiap individu.
Dalam konteks politik, masyarakat harus memiliki semangat interpretasi agar pesta demokrasi benar-benar menjadi ajang ‘menelanjangi’ calon pemimpin negara sehingga demos itu sendiri dapat menghadirkan pemimpin ideal yang dapat menggapai cita-cita luhur bangsa.
Permenungan akan pertanyaan di atas setidaknya dapat membawa pembaca keluar dari kenyataan mengambil kesimpulan tergesa-gesa.
Pembaca dapat mengetahui dan memahami posisi penulis dan dunia tulisannya sekaligus dapat mengambil pesan yang ingin disampaikan penulis entah itu dalam sebuah buku atau tulisan yang tersebar di berbagai media sosial.
Dengan memiliki semangat interpretasi masyarakat bukan saja menjadi pembaca pasif ( sekadar membaca) tetapi menjadi pembaca aktif ( menelanjangi teks atau tulisan yang ada). (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.