Opini
Opini: Kecerdasan Sosial Maksimal, Maksimus
Pertanyaan yang mungkin sedikit menggoda, mengapa Uskup Maksimus Regus yang terpilih dan bukan yang lain?
Narasi Uskup Labuan Bajo Mgr Maksimus Regus
Oleh Robert Bala
Penulis buku MENGIRINGI KEMATIAN, 73 Renungan untuk Ibadat Kematian (Penerbit Ledalero, Oktober 2024).
POS-KUPANG.COM - 1 November, pesta Orang Kudus, Labuan Bajo secara resmi menjadi sebuah keuskupan baru.
Dengan jumlah umat sekitar 220 ribu orang, Keuskupan Labuan Bajo dapat memberi warna khusus di wilayah yang sekarang sudah mendunia.
Pertanyaan yang mungkin sedikit menggoda, mengapa Uskup Maksimus Regus yang terpilih dan bukan yang lain?
Pertanyaan ini meski sedikit nakal tetapi bila direfleksikan secara mendalam dapat menguak hal yang jauh lebih kaya dan menarik.
Pada satu pihak, mempertanyakan keterpilihan seorang uskup di sebuah keuskupan dengan imam-imamnya yang sangat cerdas merupakan hal yang wajar.
Seminari San Pio telah menjadi simbol kompetisi intelektualitas para calon imam.
Kadang kompetisi itu menjadi tidak sehat karena seakan hanya mengagungkan satu kercedasan saja (matematis-logis). Kecerdasan manjemuk ala Gardner seakan dipinggirkan. Tetapi ‘San Pio’ telah menjadi rahim darinya telah terlahir orang-orang hebat.
Yang menarik, di antara alternatif pilihan yang begitu banyak itu akhirnya jatuh di tangan imam projo Keuskupan Ruteng kelahiran Todo, 23 September 1973 (dan bukan yang lain).
Kuncinya hanya satu yang bisa dibedah dalam dua hal yang saling mengandaikan.
Pertama, kunci utama adalah aspek kepriadian dan kesetiaan merawat hidup rohani.
Hal seperti ini mestinya tidak perlu menjadi pembeda karena semua imam diandaikan memiliki kehidupan rohani yang baik. Tetapi dalam kenyataan, perawatan itu tidak mudah.
Seseorang yang dalam beberapa tahun terakhir hidup cukup dekat dengan Romo Max mengungkapkan kata kunci itu. Rawatan kehidupan rohani tidak sekadar dipertontonkan tetapi mewujud dalam kesaksian hidup memukau.
Hal ini ditekankan karena Gereja Keuskupan Ruteng dalam beberapa tahun tidak bisa disebut ‘baik-baik saja’.
Tidak sedikit umat yang mengungkapkan kegalauannya memperhatikan aneka peristiwa yang berseliweran di media sosial dengan intensitas masalah yang bukan kaleng-kaleng.
Atas dasar itu, mencari seorang uskup yang secara konsisten merawat kehidupan rohani menjadi kunci.
Bila hal itu akhirnya ditemukan dalam diri Uskup Regus, maka ia diharapkan menjadi contoh sekaligus inspirasi yang perlahan bisa meluas dan memengaruhi seluruh keuskupan.
Lalu dari mana sumber kesalehan diri yang kemudian begitu dirawat? Seorang imam SVD yang pernah menjadi pastor paroki Redong, tempat orang tua uskup Regus menjadi warga paroki memberi kesaksian.
Kuncinya adalah keluarga yang menjadi rahim darinya terlahir pribadi seperti uskup Regus. Viktor Regus sebagai kepala keluarga telah menanamkan nilai yang dirawat dan dibesarkan dan kini terhadirkan melalui uskup Regus.
Kecerdasan Sosial
Keunggulan dalam intelektualitas, seperti ditonjolkan di sini tentu bisa diperbincangkan. Banyak yang juga memiliki kualitas diri seperti itu.
Bisa juga dengan sedikit kesombongan (dan keangkuhan diri), ada yang mengatakan, justru jagoan mereka barangkali lebih baik. Hal ini pun wajar dan bisa dipahami.
Tetapi ketika hal ini diangkat dan dipetakan dalam konteks Labuan Bajo yang sejak 2019 telah ditetapkan sebagai Destinasi Wisata Super Premium yang menjadikannya kota yang dalam waktu singkat, maka dibutuhkan figur dengan kecerdasan sosial memukau.
Dengan kecerdasan demikian maksimal, ia diharapkan dapat menemukan keunggulan dari berbagai sektor yang kemudian diharmonisasikan dalam kolaborasi yang kuat.
Jelasnya, dibutuhkan cukup dengan tingkat kecerdasan sosial yang ‘super’, sesuper destinasi wisata.
Hal dibahasakan secara tepat oleh Soejanto, Laily Tiarani; Soekarman, F. I, dalam Jurnal Konseling Indonesia 2015 lima aspek dalam kecerdasan sosial yakni: kesadaran situasional, kemampuan membawa diri, keaslian diri (autencity).
Selain itu perlu didukung oleh aspek kejelasan (clarity), dan terakhir adalah empati.
Kelima aspek ini menjadi modal darinya seseorang diharapkan dapat menavigasi dan bernegosiasi dalam interaksi dan lingkungan sosial.
Di sinilah jelas terdapat gabungan dari kesaran diri dan kesadaran sosial, evolusi keyakinan sosial dan sikap serta kapasitas kemampuan mengelola perubahan sosial yang kompleks hal mana diungkapkan oleh Ganaie, M.Y , dalam Journal of American Science, 2015.
Pemahaman tentang kecerdasan sosial ini menemukan contoh perwujudannya dalam diri Uskup yang menamatkan S2 sosiologi di UI (2009), yang kemudian mengambil Postgraduate dari Universitas Rotterdam Erasmus, Belanda 2017, dan S3 di Universitas Katolik, Tilburg, Belanda.
Pertama, secara pribadi, uskup Regus telah membawa dalam dirinya dan ditampilkan secara otentik tanpa memolesnya.
Inilah modal diri yang amat kuat. Keaslian diri inilah yang menjadi awal darinya diharapkan meluas.
Dalam bahasa Yehesekiel 36:25, uskup berusaha menjadi ‘air bersih’ untuk dapat membersihkan ‘piring dan gelas’ yang kotor. Di sini yang barangkali menjadi kendala yang selama ini terasa.
Banyak kekotoran yang ingin dibersihkan tetapi sayangnya yang digunakan adalah air yang kotor.
Kedua, keunggulan diri Uskup Regus sudah dipraktikkan dalam lingkup terbatas dalam relasi sosial yang saling membesarkan.
Banyak yang bersaksi, uskup Regus sebagai pribadi dan teman telah menghadirkan hubungan sosial yang membesarkan.
Kadang ia begitu ceplas-ceplos memberikan komentar singkat tentang keakraban yang telah dipraktikkan selama masa belajar. Tetapi ungkapan itu jauh dari sarkasme linguistik yang merendahkan apalagi menertawakan orang lain.
Uskup Regus kalau pun menghadirkan lucuan, ia lebih memilih menjadikan dirinya sebagai objek tertawaan ketimbang mengalihkan kepada teman lainnya.
Dua hal ini diharapkan menadi modal besar dalam merancang sebuah hubungan sosial yang lebih kaya dan memiliki dampak yang lebih luas.
Dalam bahasa Genale, diharapkan dapat menjadi kemampuan mengelola perubahan sosial yang kompleks.
Itulah yang diharpkan bahwa berada di sebuah Destinasi Wisata Super Premium seperti Labuan Bajo, Uskup Regus dapat merancang secara ke dalam tim pastoral yang hebat terdiri dari imam-imam yang ‘sefrekuensi’ dalam kesalehan dan kesahajaan diri. Ini akan menjadi kekuatan diri.
Dengan tim kerja yang kuat diharapkan akan menjadi model untuk merancang sebuah relasi multikultural yang jauh lebih luas.
Hal itu sudah menjadi konsideran Uskup Regus untuk menempatkan dialog antaragama terutama dengan kaum muslim yang hampir 20 persen di Manggarai Barat.
Kebersamaan itu diharapkan dapat menjadi kekuatan baru yang diharapkan bisa memberi warna dan secara khusus dapat memberikan andil terhadap transformasi terhadap Labuan Bajo pada khususnya dan Manggarai Barat pada umumnya.
Transformasi sosial speerti ini dalam kacamata religius disebut sebagai keselamatan.
Artinya kehadiran Uskup Regus diharapkan menjadi inspirator agar semakin perlahan terwujud sebuah keselamatan dunia yang mencakup semua.
Karenanya motto Ut mundus salvetur per ipsum - Supaya Dunia Siselamatkan oleh-Nya - mengandung arti bahwa usaha kecil dari kecerdasan sosial dirinya hanyalah sumbangan kecil karena hanya Dia yang dapat menyelamatkan dan bukan menghakimi dunia.
Dalam perspektif ini maka terpilih dan ditahbiskannya Uskup Regus mendapatkan pendasaran yang sangat jelas dan jauh dari keraguan.
Tetapi untuk membuktikan kecerdasan maksimal sebagai hal yang bakal dibawa, tentu butuh waktu untuk membuktikannya.
Namun yang pasti, kecedasan itu sudah memiliki contoh dalam diri ‘Maksimus’ yang menjadikan dirinya contoh awal dan diharap dapat menyebar dan meluas. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.