Cerpen

Cerpen: Untukmu yang Telah Pergi

Aku tidak yakin bahwa engkau sedang tidak baik-baik saja setelah semua luka, duka dan traumamu menjadi sembuh. 

Editor: Dion DB Putra
iStock
Ilustrasi. 

Oleh: Stefan Bandar

POS-KUPANG.COM -  Hai.. Bagaimana kabarmu saat ini? Aku tidak yakin bahwa engkau sedang tidak baik-baik saja setelah kau temukan tujuan dari seluruh perjuanganmu. 

Aku tidak yakin bahwa engkau sedang tidak baik-baik saja setelah kau tinggalkan tempat persinggahanmu ini. 

Aku tidak yakin bahwa engkau sedang tidak baik-baik saja setelah semua luka, duka dan traumamu menjadi sembuh. 

Aku di sini tidak perlu kau khawatirkan. Aku selalu baik-baik saja. 

Selalu tersenyum menyambut mentari pagi, lalu mengikhlaskannya pergi bersama senja kepada pangkuan malam. 

Selalu bahagia ketika gerimis turun perlahan lalu berubah menjadi hujan yang menyiram bunga mawar yang kau tanam dulu. 

Setelah terakhir kali kita bertemu, ada sekian rindu yang hinggap pada langit malamku. 

Aku selalu meminta Tuhan agar kita kembali bertemu walaupun sedetik saja. 

Aku selalu berdoa agar setidaknya aku bisa memelukmu sekali lagi meski hanya untuk sebentar saja. Tapi nyatanya... akh, sudahlah! 

Bagaimana dengan langit dan bumimu di sana? Sejauh apa engkau berjalan saat itu hingga engkau tiba di sana? 

Katakan, setidaknya aku dapat tahu sejauh apa perjalananmu hingga engkau terlalu lelah untuk sekadar datang mengunjungiku. 

Atau, sekeras apa harus aku teriak memanggil namamu agar engkau dapat mendengar suaraku? 

Sejujurnya aku sungguh penasaran dengan bumi tempatmu kini berpijak dan langit tempatmu kini berteduh. 

Aku penasaran bagaimana embun-embun berlarian meninggalkan dedaunan saat mentari muncul, bagaimana senja menguning di langit barat yang berpamitan kepada malam yang segera tiba, bagaimana bintang bertebaran pada langit malam lalu mencoba menulis beberapa kata yang tidak pernah kita paham. 

Katakan, berapa kilometer jarak antara kita? Sejauh itukah jarak antara kita hingga engkau tidak dapat mendengar teriakku? 

Sekejam itukah duniamu hingga bayangmu pun tidak diizinkan untuk sekedar hadir dalam setiap mimpi malamku? 

Atau sungguh sebahagia itukah engkau di dana hingga engkau lupa untuk mengunjungiku? 

Aku ingat, ada begitu banyak kata yang sempat kau ucapkan kepadaku. Ada begitu banyak kenangan yang kau ciptakan di setiap hari-hari kebersamaan kita yang menghadirkan canda, tawa, hingga membuat bumi kita sedikit berisik. 

Ketahuilah bahwa saat menemukanmu, saat itu pula aku memahami arti hidupku! 

Satu hal yang paling aku ingat tentang kata yang pernah kau ucapkan. 

Engkau mengatakan ini, “Mawar yang kita tanam haruslah kita siram agar dapat bertumbuh, meski nanti bukan kita yang memetiknya”. 

Berkali-kali kau mengucapkannya, namun engkau lupa menjelaskannya meski hanya untuk sekali saja. Bahkan saat engkau pergi pun engkau tidak menjelaskannya. 

Tapi sudalah, mungkin aku dapat memahaminya besok atau suatu hari nanti di masa depan. 

Atau mungkin engkau akan kembali lagi untuk menjelaskannya, pada kehidupan berikutnya. 

Sekali lagi, aku sangat penasaran dengan bumi dan langitmu di sana. 

Mungkin bukan hanya aku, tetapi banyak orang di luar sana juga penasaran perihal bumi dan langitmu. 

Berapa banyak orang yang mengunjungimu atau orang yang kau kunjung setiap hari? Masihkah kau ramah menyambut tamu-tamu baru yang datang mengunjungimu? 

Oh, iya. Bagaimana dengan rumah yang kau tinggal sekarang? Pasti megah dan mewah! Bagaimana dengan tamannya, sudahkah kau tanam mawar yang baru di sana? 

Ataukah kau tanam beberapa pohon kopi di dalamnya agar engkau dapat menyeduh minuman kesukaanmu itu? Hahahaaa... dasar kau, pecandu kopi! 

Oh, iya. Tahukah engkau bahwa sikapmu yang paling aku benci ialah diammu saat engkau pergi, kakumu saat aku panggil, dan heningmu saat aku menangis. 

Tahukah kau, bahwa air mataku habis untuk menangisimu, mengharapmu berkali-kali untuk kembali. Suaraku pun kini parau hanya karena memanggilmu, mencoba menahan kepergianmu. 

Tapi, sudalah! Pilihanmu adalah pergi dan aku tahu bahwa sekali engkau memilih engkau tidak akan pernah mengubahnya. 

Engkau yang berasal dari keabadian dan kini kembali menuju keabadian. Siapakah aku untuk menahan kepergianmu?  

Kau tahu, setelah kepergianmu, ada begitu banyak hal yang berubah. Aku tak tahu pasti apakah dunia ini yang telah berubah karena kehilanganmu ataukah aku yang telah berubah karena terlalu merindukanmu? 

Tapi yang pastinya bahwa hari-hariku kini menjadi sepi tanpa canda darimu. 

Setelah engkau pergi aku menyadari dan memahami arti cinta. Kepergianmu mengajarku bahwa cinta yang sesungguhnya adalah kerelaan untuk melepaskan. 

Kepergianmu menyadarkanku bahwa tidak semua hal yang kita butuhkan harus kita miliki. 

Aku tidak mengerti arti di balik semuanya ini. Tapi aku percaya bahwa ada hal-hal baik yang akan menghampiri kita setelah kisah ini. 

Aku yakin bahwa semuanya ini adalah sebuah arahan untuk kau dan aku sampai pada takdir kita yang sesungguhnya. 

Aku hanya ingin mengatakan bahwa kita sudah berjuang bersama-sama. Aku berjuang dengan caraku, engkau berjuang dengan caramu. 

Aku memimpikan masa depanku, engkau mengaminnya dalam setiap doa-doa malammu. 

Tapi sayang, alam menghadirkan skenario lain untuk perjalanan hidup kita. 

Mungkin kelak aku akan menggapai masa depanku dan engkau memetik mawar yang kau tanam, tetapi bukan pada langit dan bumi yang sama. 

Akhirnya aku hanya ingin mengatakan bahwa kusisipkan selembar kertas berisi doa pada saku bajumu saat engkau pergi. Ya, aku tahu bahwa kakumu membuat engkau tidak merasakan semuanya. 

Aku hanya berharap bahwa pada bumimu yang baru kini, engkau dapat membacanya dengan suara lantang. Agar aku yang masih di sini bisa mendengarnya meskipun itu adalah bagian akhir dari perjumpaan dan persahabatan kita. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved