Pilgub NTT
Survei Versi Indikator - TBRC Rilis Elektoral Pilgub NTT Berbeda, Pengamat: Pemilih Harus Kritis
Dalam survei yang dilakukan oleh TBRC, sampel yang diambil sebanyak 1.400 orang dengan menggunakan metode multistage
Penulis: Irfan Hoi | Editor: Edi Hayong
Dia menyebut, masing-masing calon wakil gubernur juga ikut mendongkrak suara bagi calon gubernur. Namun, terdapat pemilih yang belum menentukan pilihan. Sehingga konstelasi akan terus terjadi.
"Selisih antara peringkat kedua, ketiga tidak terlalu jauh, sementara 39 persen warga NTT belum menyebut secara spontan artinya pertarungan masih ketat sampai ujung," kata dia.
Pemilih Harus Kritis
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Dr Ujang Komarudin berharap masyarakat terutama warga Provinsi NTT untuk bersikap kritis dalam membaca hasil survei terkait Pilgub NTT 2024.
Sering kali hasil survei sengaja dibuat bias untuk menjadi alat kampanye politik dengan cara menggunakan surveyor yang tidak netral atau mensurvei responden yang sudah dikondisikan.
Baca juga: Gerindra Respons Klaim Dukungan Prabowo Subianto ke Paslon Lain di Pilgub NTT
"Pemilih harus kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh hasil survei. Meskipun survei adalah alat penting untuk mengukur dukungan publik, tetapi harus dilakukan dengan metode yang transparan dan bisa dipertanggungjawabkan," katanya.
Menurut Ujang Komarudin, hasil survei kadang dianggap menjadi bagian dari framing atau marketing politik dalam rangka meningkatkan elektabilitas calon-calon di pilkada.
"Masyarakat NTT diharapkan fokus pada rekam jejak, integritas, dan visi misi kandidat, dari pada bergantung pada angka-angka survei yang bisa saja dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu," ujarnya.
Seperti diketahui, lembaga survei Indikator Politik Indonesia baru-baru ini merilis hasil survei terkait elektabilitas pasangan cagub dan cawagub NTT yang berlaga di Pilkada 2024.
"Bagaimanapun hasil survei merupakan acuan untuk kerja elektoral, bukan penentu kemenangan. Masyarakat NTT tentunya harus kritis membaca dan pahami hasil survei yang mungkin bias jadi alat kampanye politik," tegas Ujang Komarudin.
Di samping itu, masyarakat, kata Ujang Komarudin, juga wajib tahu bahwa data yang muncul dari hasil survei merupakan data lapangan murni.
Lalu, surveyor itu juga harus bekerja secara netral independen, tidak boleh ada titipan, dan yang terpenting adalah respondennya itu harus riil bukan yang sudah dikondisikan.
"Misalkan saja, dengan data dan responden yang sama, tiba-tiba ada satu lembaga survei merilis calon A yang unggul sementara banyak lembaga-lembaga survei lain merilis calon B yang menang. Tentunya ini kan jadi pertanyaan juga?," ujarnya. (fan)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.