Opini

Apa Kabar Gedung NTT Fair, Monumen Pancasila dan GOR Mini Oepoi di Kota Kupang?

Jika ingin melihat contoh nyata tentang kondisi total lost yang sebenarnya dalam jasa konstuksi, ketiga bangunan ini adalah contoh nyata.

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/RYAN NONG
Monumen Pancasila di Jalan Lingkar Luar Kota Kupang saat diabadikan pada Rabu (22/1/2020). 

Oleh : Andre Koreh 
Dekan FT UCB Kupang, Ketua Pusat Studi Jasa Konstruksi (PSJK-UCB) Kupang, dan Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) wilayah NTT.

POS-KUPANG.COM - Ada tiga bangunan milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Timur ( NTT) di Kota Kupang yang tidak rampung dibangun alias mangkrak. 

Publik hanya bisa pasrah tanpa tahu mengapa bangunan ini dibiarkan mangkrak padahal ada uang negara yang dikeluarkan dengan jumlah yang sangat besar namun menghasilkan bangunan “setengah jadi”.

Bangunan ini terkesan dibiarkan begitu saja bertahun-tahun, seolah hal yang biasa saja dan tidak ada yang merasa canggung dan risih saat melihat keberadaan bangunan tersebut.

Pemerintah pun seakan tidak “berniat" menuntaskannya, padahal pemerintahlah yang menggagas bangunan ini. Penegak hukum pun seperti tidak melihat ini sebagai sesuatu yang perlu diselidiki lebih jauh. Entah mengapa mereka enggan melakukan penyelidikan.

Sejatinya apapun aktivitas hidup ini, kalau dicari kekurangannya pasti akan ditemukan. Sebaliknya kesalahan sebesar dan seberat apapun, walau nampak nyata dan jelas di depan mata, jika tidak dicari dan diabaikan maka tidak akan ditemukan kekurangan apalagi kesalahannya.

Begitulah kondisi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebagai mantan birokrat yang pernah menangani pembangunan infrastruktur di NTT, penulis mengingatkan kembali  biaya pembangunan Gedung NTT Fair di Bimoku Kupang kurang lebih Rp 29 miliar. 

Monumen Pancasila di Jalur Lingkar Luar Kota Kupang, menelan biaya kurang lebih Rp 28 miliar. Keduanya dibiayai melalui APBD Murni NTT TA 2017.

Sementara GOR mini Oepoi menelan biaya kurang lebih Rp 12 miliar melalui kombinasi biaya APBN dan APBD NTT sejak tahun 2012. Jika ditotal, uang negara yang dialokasikan untuk ketiga bangunan ini lebih kurang Rp 70 miliar.

Secara singkat ketiga gedung pemerintah tersebut menyimpan ceritanya masing-masing sebagai berikut.

Gedung NTT Fair

Pekerjaan gedung NTT Fair terhenti karena para pihak yang paling bertanggung jawab dikenakan sanksi pidana, baik Penyedia jasa, Pengguna Jasa maupun Pengawas, semuanya dikenakan sanksi pidana kurungan badan.

Kasus yang didakwakan kepada mereka adalah “mark up progres” fisik atau menaikkan persentasi realisasi fisik proyek dari yang sebenarnya. 

Bangunan NTT Fair di Lasiana Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang yang akan dijadikan pusat Biosecurity Provinsi NTT. Foto diambil usai pembersihan oleh ASN Pemprov NTT, Selasa 11 Mei 2021.
Bangunan NTT Fair di Lasiana Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang. Foto diambil usai pembersihan oleh ASN Pemprov NTT, Selasa 11 Mei 2021. (POS KUPANG.COM/RYAN NONG)

Progres Fisik baru mencapai 40-50 persen versi penyidik, versi PPK 80 persen, namun yang dibayarkan oleh PPK sebesar 100 persen.

Karena waktu kontrak sudah berakhir, namun kepada penyedia diberi perpanjangan waktu 90 hari kalender dan penyedia memberikan uang jaminan perpanjangan waktu dalam bentuk Bank Garansi senilai sisa pekerjaan yang belum selesai (kurang lebih 50-60 persen).

Karena menurut PMK No. 163/PMK.OS/2013 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENERIMAAN DAN PENGELUARAN NEGARA PADA AKHIR TAHUN ANGGARAN, Pasal 7 membolehkan PPK mencairkan keuangan 100 persen walau realisasi pekerjaan belum mencapai 100 persen; tapi penyedia wajib menyerahkan bank garansi senilai pekerjaan sisa.

Kondisi ini oleh penyidik dijadikan dalil dakwaan kepada para pihak karena ada progres fisik yang difiktifkan kurang lebih 20-30 persen. Kira-kira seperti itulah garis besar pelanggarannya.

Pasca keputusan pengadilan, bangunan Gedung NTT Fair menjadi tidak jelas mau diapakan kelanjutannya. Seolah jika sudah ada tindakan hukum dan para pihak yang bertanggung jawab dikenakan sanksi, masalah dianggap selesai.

Padahal tujuan semula proyek ini adalah terbangunnya sebuah tempat permanen untuk pameran pembangunan yang layak, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya besar tiap kali event pameran pembangunan tahunan pada momen peringatan HUT Kemerdekaan RI.

Gedung ini pula diharapkan akan menjadi lokasi tetap bagi pelaku usaha UMKM agar bisa memasarkan produknya dari seluruh wilayah NTT.

Jika DKI punya Jakarta Fair, NTT punya NTT Fair. Kira-kira begitulah filosofi awal saat bangunan ini digagas.

Sayang tujuan dan manfaat proyek yang pembiayaannya didukung oleh DPRD NTT waktu itu, tidak tercapai karena para pihak terlanjur dikenakan sanksi pidana, dan seolah semua berakhir dengan jatuhnya sanksi.

Seolah jika terbukti bersalah, pasti dihukum, dan jika sudah dihukum maka selesai masalahnya. 

Begitu sederhananya kita melihat penggunaan anggaran negara tanpa mau melihat aspek lainnya yang lebih besar yakni kepentingan masyarakat. 

Memang penegakan hukum juga untuk kepentingan masyarakat, namun mari kita lihat detailnya.

Jika dihitung rincian kerugian negara di proyek ini kira-kira begini: nilai kontrak kurang lebih Rp 31 miliar, sudah dibayar ke penyedia sekitar Rp 25 miliar. 

Pengembalian kerugian negara sebagai hasil Putusan Majelis Hakim senilai kurang lebih Rp 11 miliar, dan sisanya adalah nilai bangunan yang tidak selesai senilai kurang lebih Rp 14 miliar.

Dan bangunan yang tidak dilanjutkan ini, material sisanya banyak yang hilang dicuri orang, rusak. Dengan kata lain semua bangunan hilang tanpa manfaat.

Dalam kasus ini sepintas APH telah menyelamatkan uang negara sebesar Rp 11 miliar sebagaimana putusan Pengadilan. Ini pun jika penyedia menggantinya karena jika sudah ditahan bagaimana pula mau mengganti kerugian negara sebesar itu? 

Atau jika ada hukuman subsider, penyedia lebih memilih menerima hukuman tambahan sebaga subsider agar tidak mengganti kerugian negara.

Dalam kasus ini penulis ingin melihat dari sisi lain, di antaranya adalah sebagai bangunan gedung milik negara, apa yang menimpa Gedung NTT Fair ini, jelas tidak sesuai dengan amanat UU No. 2 /2017 Tentang Jasa Konstruksi Pasal 2, huruf b yang berbunyi: “Penyelenggaraan Jasa Konstruksi berlandaskan pada asas:

a. kejujuran dan keadilan;
b. manfaat;
c. kesetaraan …. dst” .

Dalam penjelasan UU ini, yang dimaksud dengan asas manfaat adalah: “segala kegiatan jasa konstruksi harus dilaksanakan berlandaskan pada prinsip profesionalitas dalam kemampuan dan tanggung jawab, efisiensi dan efektif, yang dapat menjamin terwujudnya nilai tambah yang optimal bagi para Pihak dalam penyelenggaraan jasa konstruksi dan bagi kepentingan nasional.”

Apa yang terjadi pada bangunan NTT Fair ini jelas tidak memberikan kemanfaatan apapun bagi para Pihak. Tidak ada nilai tambah bagi para pihak apalagi bagi kepentingan nasional.

Kecuali bagi Aparat Penegak Hukum yang berhasil meyakinkan majelis hakim sehingga para pihak dikenakan sanksi pidana kurungan badan dan pengembalian keuangan negara kurang lebih Rp 11 miliar.

Monumen Pancasila

Proyek dengan nilai kontrak kurang lebih Rp 28 miliar. Proyek ini telah selesai dibangun dengan realisasi fisik mencapai 100 persen. Bahkan sudah diserah terimakan (PHO dan FHO). 

Namun menurut informasi, masih ada dana milik Penyedia Jasa yang belum dibayar dan masih diblokir Pemerintah Daerah senilai kurang lebih Rp 6 miliar.

Entah halangan atau syarat apa yang harus diselesaikan penyedia jasa sehingga dana proyek ini masih diblokir, atau Pemda NTT yang tidak/belum punya dana untuk membayar hak penyedia.

Setelah proyek selesai, terjadi bencana Seroja. Gedung ini mengalami kerusakan kurang lebih 10 persen atau senilai kurang lebih Rp 3 miliar.

Pemda NTT tidak mengalokasikan anggaran untuk perbaikan walau pinjaman daerah untuk infrstruktur mencapai triliunan rupiah. 

Pemda NTT tidak mengalokasikan anggaran untuk memperbaiki gedung ini, sehingga bangunan ini mubazir, tidak terawat, tidak pula dimanfaatkan.

Mestinya untuk menghindari kerugian negara, bisa dilakukan pemeriksaan lebih detail untuk mencari tahu pihak mana yang paling bertanggung jawab atas kondisi ini sebagaimana proyek NTT Fair

Apalagi negara sudah mengeluarkan biaya setidaknya sekitar Rp 28 miliar. Mengapa didiamkan dan tidak dimanfaatkan sesuai rencana peruntukannya?

Padahal tujuan semula proyek ini dibangun adalah terbangunnya sebuah monumen yang bisa dijadikan tempat berbagai kegiatan ekonomi. Termasuk pameran kesenian, bisnis dan lainnya yang pada gilirannya diharapkan menjadi sumber penerimaan daerah.

Sama dengan NTT Fair, bangunan Monumen Pancasila tidak ada nilai tambah bagi para pihak apalagi untuk kepentingan nasional.

Sayangnya tidak ada upaya menekan kerugian negara, atau setidaknya upaya mengurangi potensi kerugian negara. Begitu juga tidak ada upaya penegakan hukum agar menjadi jelas permasalahannya.

GOR Mini Oepoi

Bangunan ini bermula dari adanya dana hibah Kemenpora RI dengan nomenklatur tujuannya adalah untuk peningkatan prestasi olah raga di NTT sebesar Rp 10 miliar. 

Oleh Pemda NTT dana ini diperuntukan membangun stadion mini dengan menambah anggaran sekitar Rp 2,5 miliar melalui APBD tahun 2012, walaupun kebutuhan dana untuk menuntaskan bangunan ini pada waktu itu sekitar Rp 26 miliar.

Diharapkan dengan terbangunnya stadion mini ini , prestasi olah raga di NTT akan meningkat, walau hubungan sebab akibatnya bisa diperdebatkan.

Intinya ada anggaran negara yang dikeluarkan untuk membangun fasilitas olah raga Ini.

Namun  manajeman proyek  yang dikelola oleh sebuah Komite Penerima Manfaat, yang dibentuk untuk menerima hibah Kemenpora kurang cermat mengatur admintrasi pembangunannya.

Mestinya jika akan menggunakan tambahan dana dari APBD, maka anggaran proyek dilakukan dengan pola multi years proyek ( MYP/ Tahun Jamak ), karena kebutuhan dana lebih besar dari dana yang tersedia pada tahun itu sehingga perlu dianggarkan lagi dana tambahan pada tahun anggaran berikutnya. Artinya proyek ini bersifat multi year project .

Menurut regulasi, penetapan suatu proyek menjadi multy year projek mesti mendapat persetujuan DPRD terlebih dahulu karena akan menggunakan dana APBD. Mekanisme ini yang tidak ditempuh kala itu. Padahal fisik proyek baru mencapai kurang lebih 20 persen.

Ketika diajukan ke DPRD NTT untuk mendapat persetujuan menjadi proyek tahun jamak, saat proyek sedang berjalan, DPRD NTT kala itu keberatan karena mereka belum membahas proyek ini pada tahun anggaran sebelumnya saat pembangunan GOR ini baru dimulai. 

Apalagi waktu itu ada penyelidikan oleh Kejati NTT karena proyek ini pada tahun 2018, sudah mangkrak 6 tahun lebih, sehingga DPRD NTT tidak mau ikut bertanggung jawab untuk hal yang mereka tidak tahu asal muasalnya.

Namun Pihak Kejati NTT kala itu memberi rekomendasi dan menyarankan Pemda NTT wajib menuntaskan bangunan ini pada TA 2019 dengan mengalokasikan sejumlah anggaran agar tidak terjadi kerugian negara yang lebih besar.

Akhirnya terjadilah kompromi antara Pemda NTT dengan DPRD NTT kala itu demi menyelamatkan dana APBN dan demi manfaat bangunan sehingga pada TA 2019 teralokasi dana Rp 26 miliar untuk melanjutkan pembangunan GOR mini Oepoi.

Namun kepala daerah berganti, berganti pula kebijakannya. Dan melalui mekanisme Perubahan Anggaran TA 2019 dana kurang lebih Rp 26 miliar yang sudah teralokasi dalam APBD Murni TA 2019, dialihkan untuk membangun trotoar dalam Kota Kupang.

Entah apa urgensi  membangun trotoar di Kota Kupang, padahal fungsi trotoar adalah bangunan pelengkap jalan. 

Trotoar yang dibangun pun  justru di jalur jalan nasional ( Jl. WJ Lalamentik dan sekitarnya) yang kelengkapan jalannya menjadi kewenangan Balai Pengembangan Jalan Nasional (BPJN Wil NTT) sebagai perangkat Pusat di daerah, sehingga pembiayaan trotoar jika dibutuhkan di jalan nasional mestinya gunakan dana APBN bukan APBD.

Mestinya kalau ada urgensi ingin membangun trotoar di jalan-jalan kota Kupang, terutama di jalur jalan nasional, cukup menyurati dan berkoordinasi dengan BPJN NTT, maka trotoar di jalur jalan dalam kota Kupang, bisa dibangun menggunakan APBN. 

Sehingga tidak harus memindahkan dana APBD yang sudah teralokasi di APBD Murni 2019 yang sudah di peruntukan untuk stadion mini Oepoi.

Itulah sekilas cerita tentang ketiga bangunan “setengah jadi” di depan mata kita saat ini.

Pertanyaannya, mau diapakan onggokan bangunan yang sudah menghabiskan anggaran miliaran rupiah? 

Mendiamkannya saja, jelas  tidak bijak karena bangunan mangkrak ini akan jadi monumen kepedihan bagi rakyat yang melihatnya karena bagaimanapun uang rakyat telah dipakai untuk hal yang tidak jelas dan tidak tuntas.

Mau dikerjakan kembali, nilai bangunan sudah merosot ke titik nadir. Bahkan tanpa nilai ekonomis apalagi nilai struktural.

Dan, yang lebih penting, belum jelas siapa yang paling bertanggung jawab atas gagalnya bangunan-bangunan ini sehingga layak dikatagorikan menjadi total lost. 

Seperti diketahui istilah total lost sering dipakai Penuntut Umum untuk mendakwa pelaku Tipikor di jasa konstruksi.

Jika ingin melihat contoh nyata tentang kondisi total lost yang sebenarnya dalam jasa konstuksi, ketiga bangunan ini adalah contoh nyata.

Satu lagi bukti akibat UU No. 2/2017 Tentang Jasa Konstruksi tidak dipakai sebagai pedoman dalam pengendalian dan pengelolaan bangunan konstruksi. 

Bahkan aparat penegak hukum cenderung mengenyampingkan keberadaan UU ini sebagai lex specialis karena lebih mengutamakan penggunaan UU Tipikor untuk menjerat para pelaku jasa konstruksi.

Bahkan mungkin Penyidik masih menggunakan UU Jasa Konstruksi yang lama yakni UU No.18/1999 Tentang Jasa Konstruksi yang ada sanksi pidana bagi pelanggar UU Jakon. Di sinilah titik persoalannya.

Apalagi terlanjut ada framing bahwa dalam pekerjaan konstruksi pasti ada tindak pidana korupsi di dalamnya.

Menurut penulis, jika demikian kondisinya, negara bukannya menjadi untung, tapi justru negara rugi besar.

Kasus gedung NTT Fair memberi pelajaran berharga bagi kita. Dalam kasus ini sebenarnya ada kewenangan dan kekuasaan, ada dana pinjaman yang bisa dipakai untuk mencegah atau setidaknya mengurangi kerugian negara yang lebih besar.

Mengapa tidak dilakukan? Bukankah itu bisa dikategorikan tindakan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara yang sudah dikeluarkan?

Menurut penulis, menaikkan progres untuk mendapatkan pembayaran lebih dalam masa kontrak bisa menjadi strategi percepatan untuk membantu cash flow penyedia. 

Apalagi ada material on site (MOS) walau tidak dihitung sebagai progres tapi sudah menguras dana penyedia. 

“Toh" pada akhirnya progres 100 persen akan dicapai pada masa kontraktual, bahkan jika masa kontrak berakhir pun jika belum mencapai 100 persen  sepanjang yang bersangkutan masih mau dan mampu menyelesaikan pekerjaannya, tentu dengan sejumlah persyaratan termasuk denda sebagai kompensasinya.

Apalagi ada payung hukumnya yakni UU No. 2/2017 Tentang Jasa Konstruksi Pasal  65 ayat 2 berbunyi "Dalam hal rencana umur konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih dari 10 (sepuluh) tahun, Penyedia Jasa wajib bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penyerahan akhir layanan Jasa Konstruksi.”

Bangunan gedung NTT Fair, jelas umur rencananya lebih dari 10 tahun. Oleh karena itu penyedia jasa wajib bertanggung jawab sampai 10 tahun keandalan bangunannya setelah selesai diserahterimakan untuk kedua kali (FHO).

Sayangnya bangunan ini tidak sampai di PHO apalagi FHO karena realisasi fisik baru kurang lebih 70- 80 persen, pekerjaan dihentikan Penyidik  dan para Pihak dikenakan sanksi pidana karena “melebihkan perhitungan" progres pekerjaan atau mark up progres.

Mestinya bangunan itu bisa dituntaskan hingga memberi manfaat maksimal pada masyarakat.

Kepada Penyedia Jasa yang wanprestasi bisa dikenakan sanksi perdata sebagaimana UU No. 2/2017 bisa dengan ganti rugi atau ganti bangunan yang rusak atau mengalami kegagalan bangunan, dan atau Penyedia Jasa yang tidak profesional bisa di-PHK dan diganti dengan penyedia jasa baru untuk menyelesaikan proyek ini.

Sebenarnya ada banyak variabel solusi yang menguntungkan negara dan banyak cara mengelola bangunan konstruksi untuk menuju pada kondisi proyek tepat sasaran, tepat mutu dan tepat waktu.

Kerena itu jauh lebih baik dari pada sekadar memenjarakan para pihak tapi bangunan tidak memberi manfaat bagi publik? Justru negara malah mengalami kerugian yang lebih besar.

Penulis membayangkan, jika tidak buru buru dihentikan oleh APH waktu itu, bisa jadi bangunan ini sudah jadi, tujuan utama bangunan tercapai dan rakyat bisa menggunakannya. 

Atau jika sudah selesai pertanggungjawaban hukum oleh para pihak. Mestinya ada langkah penyelesaian oleh Pemda NTT untuk membuat bangunan ini tuntas sesuai peruntukannya. Bukan membiarkannya begitu saja.

Jika kita jujur melihat fakta saat ini, dampak yang diberikan akibat tindakan hukum ini, bukannya efek jera dan penyelamatan uang negara semata yang ingin dicapai tapi justru negara mengalami kerugian yang lebih besar.

Tidak bermaksud mengatakan pelaku jasa konstruksi itu bersih seakan “malaikat” tapi penulis yakin mereka juga bukan “setan“  untuk merugikan keuangan negara.

Karena niat mereka membuka badan usaha jasa konstruksi, tentunya berorientasi profit dan negara membolehkan Penyedia mendapat keuntungan 10 persen dari nilai kontrak, bukan berniat merugikan keuangan negara yang berakhir dengan risiko hukum.

Niat mendapat profit itulah yang perlu dijaga semua pihak agar hasil kerja berada pada jalur profesionalitas dan bertanggung jawab terhadap berbagai syarat keteknikan yang ditetapkan.

Tidak juga bermaksud membela kemudian membiarkan pelaku pelanggar hukum bebas tanpa sanksi hukum. Tapi sebaiknya berikan mereka sanksi hukum perdata. Selain ada dasar hukumnya, manfaat yang didapat jauh lebih menguntungkan semua pihak.

Oleh karena itu, ke depan perlakuan kebijakan pembangunan infrastruktur seperti ini harus diperbaiki dengan melihat permasalahan secara komprehensif.

Mengutamakan asas keadilan dan kejujuran, bermanfaat demi menghasilkan jasa konstruksi yang handal, serta effektif dan efisien dalam pengelolaan anggaran negara.

Dalam kasus Gedung NTT Fair, pihak yang dinyatakan bersalah secara sah dan meyakinkan oleh Majelis Hakim, telah membayar “keteledoran” yang tidak mereka niatkan sejak awal mulai pekerjaan. 

Mereka “membayar lunas” dan menjalani sanksi pidana kurungan badan termasuk “social cost" untuk waktu tertentu.

Pertanyaannya, bagaimana dengan bangunannya? Benarkah semua kerugian negara disebabkan oleh para pihak yang sudah dihukum semata? 

Ataukah ada pihak lain di luar sana yang tidak tersentuh hukum sebagai penyebab kerugian negara yang sebenarnya?

Dengan ini penulis menyapa, apa kabar wakil rakyat NTT yang baru saja dilantik. Apa kabar aparat penegak hukum di NTT? Apa kabar calon pemimpin NTT 5 tahun lagi?

Keberadaan tiga bangunan pemerintah yang mangkrak ini jika dibiarkan akan menjadi Monumen Kepedihan bagi Rakyat NTT tapi juga banyak hikmah yang bisa kita petik dari peristiwa ini. 

Semoga tidak ada lagi bangunan mangkrak akibat kita lebih suka menghukum seseorang daripada kita membangun untuk manfaat banyak orang. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved