Konflik Timur Tengah

Analisis Litbang Kompas: Konflik Timur Tengah Kian Memanas, Waspadai Ancaman Resesi Ekonomi Dunia

Analisis ini merekomendasikan pentingnya mewaspadai ancaman resesi ekonomi dunia sebagai dampak dari konflik tersebut.

Editor: Agustinus Sape
BH
Seorang petugas pemadam kebakaran memeriksa mobil yang rusak di dekat gedung yang terkena serangan udara Israel di Beirut, Lebanon, Senin pagi, 30 September 2024. 

POS-KUPANG.COM - Litbang Kompas merilis analisis mengenai dampak kian memanasnya konflik di Timur Tengah pasca tewasnya Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah dalam serangan Israel, Jumat (27/9/2024). Analisis ini merekomendasikan pentingnya mewaspadai ancaman resesi ekonomi dunia sebagai dampak dari konflik tersebut.

Konflik bersenjata kawasan Timur Tengah yang melibatkan Israel dengan sejumlah negara sekitarnya berpotensi besar akan menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian dunia. Bila konflik terus meluas dan menimbulkan kerusakan pada aset-aset vital di bidang energi, ancaman resesi akan sulit terhindarkan.

Posisi Timur Tengah yang berperan sentral sebagai suplai energi minyak bumi dan gas (migas) dunia membuat konflik yang terjadi saat ini menjadi sangat mengkhawatirkan bagi makroekonomi global. Apalagi, setidaknya ada dua negara produsen migas dunia, yakni Iran dan Irak, yang terseret dalam konflik melawan pasukan Israel tersebut.

Dengan situasi geopolitik saat ini, eskalasi serangan militer antarpihak yang berseteru dapat meningkat setiap saat. Dengan gugurnya Hassan Nasrallah yang berperan sebagai Sekretaris Jenderal Hizbullah dalam serangan militer Israel pada Sabtu (28/9/2024) di wilayah selatan Beirut, Lebanon, membuat konflik kian memanas di Timur Tengah.

Tewasnya petinggi gerakan anti-Israel dan kekuatan Barat itu membuat perlawanan terhadap Israel akan kian sengit. Apalagi, Hizbullah sekarang telah menjadi partai politik Muslim Syiah dan kelompok militan yang disegani di Lebanon. Dengan tewasnya petinggi Hizbullah, akan memicu gelora peperangan yang semakin besar bagi sebagian warga Lebanon yang negaranya berbatasan langsung dengan Israel. Pun demikian dengan para militan Hizbullah yang berada di negara tetangganya, Suriah.

Serangan yang menargetkan para petinggi organisasi anti-Israel itu memang sudah menjadi tekad Israel untuk meredam perlawanan terhadap kebijakan negaranya terkait Palestina. Gugurnya Kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniyeh pada 31 Juli 2024 lalu saat kunjungannya ke Iran juga merupakan taktik Israel untuk membungkam pergerakan yang menghalangi kebijakan negaranya.

Dengan langkah militer yang represif itu, membuat Israel harus bersiap menghadapi kemungkinan perlawanan yang kian kuat dari sejumlah negara kawasan Timur Tengah. Gugurnya para petinggi gerakan sayap kanan tersebut, maka ada kemungkinan skala konflik akan meluas. Pasalnya, Hizbullah dan Hamas memiliki basis pendukung yang menyebar di berbagai negara.

Hizbullah dan Hamas
Berdasarkan crf.org, Hizbullah merupakan organisasi partai politik Muslim Syiah dan kelompok militan yang memegang kekuasaan signifikan di Lebanon. Hizbullah secara keras menentang Israel dan kekuatan Barat yang beroperasi di Timur Tengah dan memosisikan organisasinya sebagai perwakilan Iran yang menjadi penyokong dana terbesarnya.

Hamas sendiri hampir mirip serupa dengan Hizbullah dalam segi perlawanan anti-Israel. Hanya saja, organisasi Hamas berhaluan Islam Sunni dan merupakan gerakan nasionalisme Palestina yang menentang pendudukan Zionis Israel di wilayahnya.

Dengan beragam mazhab organisasi tersebut, kemungkinan simpati terhadap perlawanan untuk menghadapi Israel itu akan bertambah. Setidaknya sudah ada tindakan lanjutan atas serangan Israel yang menyasar pada petinggi Hamas dan juga Hizbullah itu.

Pertama, serangan kelompok militan Irak yang menyasar Pelabuhan Laut Merah Israel di Eilat pada Rabu (25/9/2024). Meskipun serangan pesawat nirawak itu dapat dicegat Israel, tetap hal ini menunjukkan bahwa pendukung gerakan melawan Israel kian meluas. Tak hanya dari Palestina, Lebanon, Suriah, dan Iran, tetapi juga ada gerakan militan dari negara Irak.

Bahkan, bisa jadi memicu perlawanan kelompok sayap kanan Houthi yang menjadi pendukung minoritas Muslim Syiah di Yaman. Proksi pendukung kekuatan Hizbullah ini menimbulkan gangguan pada pelayaran di Laut Merah. Kelompok ini beberapa kali melancarkan serangan pada kapal-kapal komersial dan perdagangan yang diduga berkaitan dengan Israel, Amerika Serikat, dan Inggris.

Kedua, menyikapi kemungkinan eskalasi yang kian luas, Arab Saudi dan sejumlah negara-negara Eropa meminta agar segera dilakukan genjatan senjata. Pasalnya, saat ini militer Israel sedang berupaya melakukan serangan darat ke Lebanon. Apabila hal ini terjadi, kemungkinan peperangan akan kian sengit.

Baca juga: PM Netanyahu Menyebut Israel Telah Selesaikan Masalah dengan Kematian Hassan Nasrallah

Lebanon sebagai proksi kekuatan Iran pasti akan menarik Iran terlibat dalam konflik persenjataan. Pada Rabu (25/9/2024), Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi mengatakan bahwa Timur Tengah tengah menghadapi bencana skala penuh. Iran juga menegaskan bahwa Teheran akan mendukung Lebanon dengan segala cara jika Israel meningkatkan serangannya terhadap Hizbullah.

Ultimatum Iran itu tentu saja harus menjadi perhatian serius karena bila serangan Israel jadi dilakukan, akan berpotensi menimbulkan peperangan dan juga konflik geopolitik yang semakin luas di wilayah Timur Tengah. Akan semakin mudah negara-negara di kawasan itu terpicu untuk segera terlibat di dalam konflik lebih besar. Apalagi, Israel tidak menurunkan eskalasi serangannya di sejumlah negara. Israel terlaporkan secara rutin menyerang 6 dari 13 tetangganya di Timur Tengah. Palestina dan Lebanon diserang setiap hari. Irak, Suriah, dan Yaman setiap beberapa hari. Sementara itu, Iran sesekali diserang (Kompas.id, 30/9/2024)

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved