Renungan Harian Kristen
Renungan Harian Kristen: Desentralisasi, Korupsi, dan Panggilan Moralitas dalam Lukas 3:13-14
Para elite politik lokal memiliki kekuasaan yang digunakan sebagai modal, baik dalam pemerintahan maupun keuangan.
Oleh: Pdt. Nope Hosiana Daik, M, Th
Pendahuluan
Setiap hari saya menerima kiriman beberapa koran nasional seperti Kompas, Tempo, Media Indonesia, Republika, Rakyat Merdeka, dan beberapa lainnya dari seorang kerabat yang tinggal di Bogor.
Koran-koran ini selalu menjadi bacaan harian saya, selain bacaan lainnya.
Salah satu tulisan yang menginspirasi saya dalam menulis renungan ini adalah artikel karya Todung Mulya Lubis, seorang pengajar di FISIP UGM dan Fakultas Hukum IU, dengan judul "Prabowo Subianto dan Pemberantasan Korupsi."
Tulisan tersebut saya refleksikan, dipadukan dengan beberapa jurnal yang membahas dinamika politik lokal dan bias-biasnya pada masa reformasi, yang pernah menjadi bahan ajar dalam mata kuliah teologi politik dengan perspektif Lukas 3:13-14.
Bias-bias Desentralisasi: Laporan Transparency International (2023) terkait Indeks Persepsi Korupsi (IPK) menempatkan beberapa negara di dunia dalam dua kategori, yakni: IPK yang baik untuk kategori bersih korupsi dan IPK yang buruk untuk kategori praktek korupsi yang berbahaya.
Negara-negara dengan IPK yang baik, di antaranya Denmark (90), Finlandia (87), Selandia Baru (85), Norwegia (84), dan Singapura (83). Sedangkan Indonesia memiliki angka IPK 34, sama seperti Filipina, kemudian Laos (28), Kamboja (22), dan Myanmar (20).
Berdasarkan angka ini, Transparency International menyebut Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi yang membahayakan, karena bersifat sistemik, endemik, dan meluas. Lubis berpendapat bahwa salah satu penyebab maraknya korupsi di Indonesia adalah sistem desentralisasi yang diterapkan pada era reformasi.
Dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, peluang bagi “kebangkitan elite politik lokal” terbuka, yang memunculkan anomali-anomali yang mengganggu tatanan good governance.
Para elite politik lokal memiliki kekuasaan yang digunakan sebagai modal, baik dalam pemerintahan maupun keuangan.
Peluang penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) semakin terbuka, diperparah dengan fenomena korupsi terorganisir dalam pemerintahan (state capture corruption) yang terus berkembang menjadi korupsi yang dipersenjatai (weaponized corruption), disertai keraguan dalam pemberantasan korupsi dan sistem tebang pilih dalam penanganan kasusnya.
Era reformasi telah membuka “peternakan korupsi.” Pada masa Orde Baru, korupsi lebih terkonsentrasi di Jakarta. Namun, di era desentralisasi, korupsi meluas dengan cakupan lebih luas hingga ke daerah-daerah.
Jumlah uang yang dikorupsi pun meningkat drastis, dari jutaan, miliaran, hingga triliunan rupiah, dan melibatkan elite politik lokal serta pejabat publik yang memiliki kekuasaan.
Korupsi dalam Era Reformasi sebagai Kejahatan Luar Biasa
Korupsi melibatkan pejabat publik yang telah mendapatkan gaji atau kompensasi sah sesuai jabatannya. Pejabat publik seharusnya merasa cukup dengan kompensasi yang telah ditetapkan.
Renungan Harian Kristen Senin 22 September 2025, Judi: Mengumpulkan Angin |
![]() |
---|
Renungan Harian Kristen Minggu 21 September 2025, Mawas Diri dari Perjudian |
![]() |
---|
Renungan Harian Kristen Sabtu 20 September 2025, Yang Buta Melihat |
![]() |
---|
Renungan Harian Kristen Jumat 19 September 2025, “Aku Percaya, Tuhan!” |
![]() |
---|
Renungan Harian Kristen Kamis 18 September 2025, Mengapa Yesus Menggunakan Ludah dan Lumpur? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.