Berita Sabu Raijua
Petani di Sabu Raijua NTT Sulit Pasarkan Bawang Merah
Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Sabu, Charles Meyok mengatakan, terkait pemasaran, biasanya petani mencari peluang pasar.
Penulis: Agustina Yulian Tasino Dhema | Editor: Oby Lewanmeru
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM/ASTI DHEMA
POS-KUPANG.COM, SEBA - Salah satu komoditi utama di Sabu Raijua selain rumput laut, garam, jambu mete, dan kacang tanah adalah bawang merah.
Namun mayoritas masyarakat Sabu Raijua menanam padi dan jagung. Meski demikian, masyarakat belum bisa memilih komoditi sesuai dengan kondisi alam yang ada di pulau Sabu.
Untuk wilayah Pulau Raijua yang terpisah dari Sabu besar, masyarakat setempat masih mempertahankan sorgum dan kacang hijau sebagai komoditi unggulan yang cocok di segala jenis tanah.
Kemudian rumput laut dan garam menjadi komoditi unggulan yang mulai dikembangkan belakangan ini.
Kale Jami Raga dan Lai Jami Riwu, warga Desa Raekore, Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua memanfaatkan peluang dan potensi ini untuk budidaya tanaman hortikultura.
Puluhan tahun, dua bersaudara ini menekuni profesi mereka sebagai petani bawang di kala memasuki musim kemarau seperti saat ini untuk memanfaatkan lahan pertanian mereka untuk menanam bawang merah.
Hasil produksi bawang mereka pun cukup diperhitungkan karena dengan budidaya bawang merah setahun sekali, mereka mampu membiayai kehidupan keluarga dan menyekolahkan anak-anak mereka. Menengok kondisi Pulau Sabu sekilas, sepertinya mustahil untuk menanam bawang di lahan tandus.
Justru di atas lahan seluas 1,6 hektar di desa Raekore, dua kakak beradik bersama kelompok tani Tumbuh Harapan, berhasil membuktikan hasil tetes keringat mereka bisa menjadi pundi-pundi uang jutaan Rupiah dalam sekali produksi dengan kisaran harga saat ini di Sabu Raijua Rp20 ribu per kilogram.
Menurut Kale Jami Raga, hasil budidaya bawang merah ini cukup menjanjikan namun, kata orang, usaha tak pernah mengkhianati hasil. Untuk membudidaya bawang merah, Kale Jami Raga mengeluarkan modal yang cukup untuk membiayai produksi bawang merah ini.
Dalam sehari, untuk mengairi bawang merah ini, Kale bisa menghabiskan sekitar 6 liter bensin dan satu jerigen solar untuk menyedot air dengan bantuan pompa air dari embung berjarak sekitar 200 meter dari lahan pertanian yang ditampung dalam bak kemudian menggunakan selang menyirami bawang merah ini.
Kondisi Sabu yang kering ini, memaksa mereka untuk tetap menghasilkan uang untuk menopang kehidupan keluarga mereka sehari-hari. Tahun ini belum menjual karena baru pertama kali panen bawang. Mereka hanya bisa produksi bawang sekali dalam setahun.
"Masalah kita di sini tanam terus tapi pasarannya kurang. Makanya bingung mau kirim kemana,"ungkap Kale.
Sejauh ini pemerintah telah membantu mereka dalam pengadaan mesin pompa air serta membantu mereka merekomendasikan kepada SPBU untuk mendapatkan BBM subsidi. Karena tanpa BBM, aktivitas pertanian mereka tidak akan berjalan.
Meski sudah menghasilkan bawang yang baik, namun mereka kesulitan untuk memasarkan bawang merah ini. Biasanya mereka suplai ke Kupang, Flores, dan wilayah NTT lainnya jika membutuhkan pasokan. Jika tidak, hanya dipasarkan di Pulau Sabu saja.
Baca juga: Lantik 2 Pejabat Fungsional, Bupati Nikodemus Ingatkan Pentingnya Kebersamaan Bangun Sabu Raijua
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.