Berita NTT
Pengamat Mikhael Feka, Pembatalan Hasil Catar Akpol Bisa Terjadi Jika Ada Bukti Kolusi dan Nepotisme
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan integritas dan keadilan dalam proses seleksi Catar Akpol dapat terjaga, serta kepercayaan masyarakat
Penulis: Elisabeth Eklesia Mei | Editor: Rosalina Woso
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Eklesia Mei
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Menanggapi polemik terkait dengan hasil Catar Akpol, pembatalan dapat dilakukan jika ditemukan bukti kolusi, nepotisme, atau pemalsuan dokumen melalui proses hukum yang transparan dan akuntabel. Harapannya kepada Kapolri adalah memastikan integritas proses seleksi dengan tindakan tegas terhadap pelanggaran yang terjadi dan memastikan transparansi serta akuntabilitas dalam seluruh tahapan.
Mabes Polri perlu turun tangan dengan melakukan pengawasan, evaluasi, dan pembentukan tim investigasi untuk menyelidiki dugaan kecurangan serta menjaga integritas seleksi.
DPRD NTT harus memainkan peran pengawasan dengan melaporkan indikasi kecurangan, memberikan advokasi kepada masyarakat yang dirugikan, dan berkoordinasi dengan penegak hukum untuk menangani pelanggaran hukum secara serius. Mengenai tanggung jawab Dukcapil, mereka harus memastikan verifikasi dan validasi data secara akurat dalam pengeluaran KTP.
Jika terbukti mengeluarkan KTP palsu, Dukcapil harus bertanggung jawab secara hukum, dengan petugas yang melanggar dikenakan sanksi administratif hingga pidana. Catar yang terlibat dalam kolusi atau menggunakan KTP palsu juga harus dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Baca juga: Jadwal Kapal Pelni KM Awu di Ende-Kupang-NTT, Jadwal Kapal Awu Besok-9 Agustus, Kumai-Benoa 3Kali
Langkah-langkah selanjutnya mencakup audit forensik terhadap semua dokumen dan proses seleksi, memastikan transparansi dalam seluruh tahapan seleksi dan investigasi, serta reformasi sistem seleksi untuk mencegah kecurangan di masa depan. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan integritas dan keadilan dalam proses seleksi Catar Akpol dapat terjaga, serta kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian dapat ditingkatkan.
Terkait dengan polemik penerimaan calon taruna Akademi Kepolisian (Catar Akpol), penerapan Pasal 5 Ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR) dan tindak pidana pemalsuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat dipertimbangkan sebagai langkah hukum yang tegas.
Pasal 5 Ayat (2) UU TIPIKOR menyatakan: "Setiap orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 dan paling banyak Rp250.000.000,00."
Dalam konteks penerimaan Catar Akpol, jika terdapat bukti bahwa calon taruna atau pihak terkait memberikan suap kepada panitia seleksi atau pejabat yang berwenang untuk meloloskan mereka, maka mereka dapat dikenakan Pasal 5 Ayat (2) UU TIPIKOR. Ini menegaskan bahwa tindakan memberi suap untuk mempengaruhi hasil seleksi adalah tindak pidana yang serius dan harus ditindak sesuai hukum.
Selain itu, dapat dikenakan sanksi hukum pidana umum karena adanya tindak pidana pemalsuan dalam KUHP sebagaimana diatur dalam Pasal 263 dan Pasal 266: Pasal 263 KUHP: "Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian surat yang dipalsu itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
"Pasal 266 KUHP: "Barang siapa menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta tersebut seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam jika pemakaian akta tersebut dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun."
Jika terdapat bukti bahwa calon taruna menggunakan KTP palsu atau dokumen lainnya yang dipalsukan untuk memenuhi persyaratan seleksi, maka tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan sesuai dengan Pasal 263 atau Pasal 266 KUHP. Baik calon taruna yang menggunakan dokumen palsu maupun oknum Dukcapil yang terlibat dalam pembuatan dokumen palsu tersebut harus bertanggung jawab secara hukum.
Menurut Pasal 2 Perkapolri 10/2016, prinsip penerimaan calon anggota polisi mencakup empat aspek utama yang harus dipegang teguh selama proses seleksi.
Pertama, prinsip Bersih yang berarti penerimaan calon anggota polisi harus dilakukan secara objektif, jujur, adil, dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini menegaskan bahwa proses seleksi harus menghindari segala bentuk kecurangan dan penyelewengan.
Kedua, prinsip Transparan yang menuntut agar proses penerimaan calon anggota polisi dilaksanakan secara terbuka. Ini melibatkan pengawasan oleh pihak internal dan eksternal serta membuka akses kepada publik untuk memastikan bahwa seluruh proses dapat dilihat dan dipantau oleh masyarakat luas.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.