15 Tahun Tragedi Montara, Nelayan Menderita dan Bukti Lemahnya Diplomasi RI terhadap Australia

Berbagai upaya telah dilakukan untuk memperjuangkan keadilan bagi para nelayan dan masyarakat pesisir di Nusa Tenggara Timur yang terkena dampak.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Greg R Daeng. 

POS-KUPANG.COM - Tanggal 21 Agustus 2024 nanti, publik Indonesia dan dunia internasional akan diingatkan dengan tragedi kelam 15 tahun lalu di perairan laut Timor, Indonesia.

Ketika itu minyak mentah hasil pengeboran oleh perusahaan Thailand yang berbasis di Australia—PTT Exploration and Production (PTTEP) mengalami kebocoran pipa sehingga mengakibatkan meledaknya kilang minyak yang berada di Blok Atlas Barat Laut Timor tersebut.

Tragedi Lingkungan dan Kemanusiaan yang terjadi pada 21 Agustus 2009 itu "membunuh" lebih dari 100.000 mata pencaharian warga Nusa Tenggara Timur, terutama para petani rumput laut dan para nelayan.

Selain itu muncul erbagai penyakit aneh yang menyerang masyarakat pesisir sampai membawa kematian, dan hancurnya puluhan ribu hektare terumbu karang di wilayah perairan Laut Timor.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk memperjuangkan keadilan bagi para nelayan dan masyarakat pesisir di Nusa Tenggara Timur ( NTT) yang terkena dampak.

Pada mulanya upaya diplomasi melalui Kementerian Luar Negeri RI untuk meminta pertanggungjawaban Australia, namun langkah ini tidak berjalan mulus.

Langkah kedua, pada tahun 2016, sekitar 16.000 petani rumput laut di Kabupaten Rote Ndao dan Kabupaten Kupang mengajukan perkara class action di Pengadilan Federal Australia di Kota Sydney.

Langkah ini berhasil, dimana pihak Perusahaan dan Pemerintah Australia diwajibkan untuk mengganti kerugian bagi para Nelayan korban yang mengajukan tuntutan.

Namun, lagi-lagi proses ganti rugi pun tidak semulus yang dibayangkan. Banyak korban yang sampai dengan hari ini masih belum menerima ganti kerugian tersebut.

Pada tahun 2018, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan membentuk Satuan Tugas Montara.

Salah satu peran dari Satgas ini yakni melakukan upaya litigasi Internasional untuk menuntut pertanggungjawaban Pemerintah Australia dan PTT Exploration and Production (PTTEP).

Salah satu yang terekam publik, yakni pada tahun 2019, Satgas ini menggunakan jasa seorang pengacara dari Inggris yaitu Monica Feria-Tinta untuk membawa Petaka Tumpahan Minyak Montara ini ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Meski membuahkan hasil, melalui terkabul gugatan pada tahun 2021, namun oleh perusahaan pencemar Laut Timor PTTEP yang berkantor di Perth-Australia Barat itu menyatakan banding atas putusan Pengadilan Federal Australia ini. Hasilnya seperti apa hingga hari ini belum diketahui secara pasti.

Menanggapai fakta miris ini, Ahli hukum Internasional asal Indonesia yang juga anggota dari Koalisi Nasional melawan kejahatan terorganisir (KOALISI), Nukila Evanty menyayangkan sikap tidak patuh hukum yang dipertontonkan secara mata telanjang oleh PTTEP.

“Jelas ini merupakan satu bentuk pembangkangan terhadap hukum. Semestinya si perusahaan itu, harus tunduk dan patuh terhadap putusan pengadilan dan mengakui kesalahannya. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Preseden buruk dalam dunia hukum Internasional, karena marawah hukum sebagai jembatan untuk mendapatkan keadilan bagi para nelayan korban, justru dianggap remeh oleh korporasi minyak itu”, tegas Nukila.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved