Pemilihan Presiden Iran
Pilpres Iran Putaran Kedua Hadapkan Kubu Konservatif dan Reformis: Saeed Jalili VS Masoud Pezeshkian
Jumlah partisipasi publik dalam pemilu Iran telah turun sejak tiga tahun terakhir dengan partisipasi sekitar 40 persen.
Dukungan kubu konservatif
Menyusul hasil penghitungan suara itu, para mantan calon presiden dari kubu konservatif, baik yang mundur maupun kalah suara, langsung menyerukan untuk memilih Jalili. Ghalibaf, Zakani, dan Ghazizadeh meminta para pendukung mereka untuk memilih Jalili pada putaran kedua untuk memastikan kemenangan bagi front revolusi.
Ghalibaf, mantan jenderal paramiliter Garda Revolusi Iran dan kepala polisi Iran, juga melontarkan kritik tajam terhadap Pezeshkian karena bersekutu dengan Presiden Hassan Rouhani dan mantan Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif yang berhaluan moderat.
Keduanya mencapai kesepakatan nuklir Iran pada tahun 2015 dengan negara-negara Barat. Pada 2018, AS di bawah Presiden Donald Trump secara unilateral menarik diri dari perjanjian itu dan menjatuhkan sanksi ekonomi pada Iran.
”Jalannya belum berakhir, dan terlepas dari kenyataan bahwa saya menghormati Tuan Dr Pezeshkian secara pribadi, saya meminta semua kekuatan revolusioner dan pendukung saya untuk membantu menghentikan gelombang yang menyebabkan masalah ekonomi dan politik kita hari ini,” katanya.
Puncak apatisme
Angka partisipasi pemilu Iran kali ini terendah sepanjang sejarah. Jumlah pemilih yang memberi suara hanya 39,92 persen dari total 61.452.000 orang yang berhak memilih tahun ini.
Padahal, waktu pemungutan suara yang dimulai Jumat pagi telah diperpanjang tiga kali hingga batas maksimal pada Sabtu tengah malam. Waktu pemilihan ini diperpanjang dari 10 jam menjadi 16 jam.
Jumlah partisipasi publik dalam pemilu Iran telah turun sejak tiga tahun terakhir. Pemilu Iran terakhir yang digelar pada Maret 2024, yaitu pemilu legislatif, hanya menggalang partisipasi pemilih sebanyak 40,6 persen. Sementara pemilihan presiden yang dimenangi Ebrahim Raisi (alm) pada 2021 hanya diikuti 49 persen pemilih.
Selain partisipasi rendah, lebih dari 1 juta suara yang masuk ke kotak suara dibatalkan, baik tak diisi maupun dirusak. Oleh pengamat dan media Barat, hal ini dinilai sebagai tanda bahwa masyarakat yang datang merasa berkewajiban untuk memberikan suara, tetapi tidak ingin memilih salah satu kandidat.
Pengamat dan media Barat juga menilai rendahnya partisipasi publik di pemilu Iran sebagai bentuk protes dan rasa frustrasi masyarakat Iran terhadap jalannya pemerintahan teokrasi Iran di bawah Pimpinan Tertinggi Ayatollah Khamenei.
”Mari kita lihat ini sebagai protes tersendiri. Pilihan untuk menolak apa yang ditawarkan, baik kandidat maupun sistem. Hal ini memberi tahu kita banyak hal tentang opini publik, sikap apatis, dan rasa frustrasi. Ini semacam menyatukan semuanya,” kata Sanam Vakil, direktur program Timur Tengah dan Afrika Utara di pusat kajian Chatham House.
Ahli politik Iran dan mantan profesor di Universitas Teheran, Mohammed Hadi Semati, mengatakan, tantangan utama Pemerintah Iran saat ini adalah menjaga stabilitas politik dan keamanan serta memperbaiki ekonomi masyarakat. Legitimasi rezim teokrasi Iran mulai terkikis, terutama sejak unjuk rasa di seluruh negeri terkait tewasnya Mahsa Amini.
Selain gejolak politik dan sosial, Iran juga berada dalam krisis ekonomi. Pada tahun 2022, sekitar 60 persen warga Iran dilaporkan hidup pada atau di bawah garis kemiskinan. Pusat Statistik Iran mengungkapkan, inflasi negara itu berfluktuasi antara 39 dan 56 persen selama sembilan bulan pertama tahun 2023. Tingginya inflasi membuat warga semakin tertekan krisis ekonomi.
Hamid Reza Gholamzadeh, pakar kebijakan luar negeri Iran, mengaitkan rendahnya partisipasi pemilih sebagai kegagalan kubu reformis untuk menjangkau masyarakat yang sudah apatis pada pemerintahan Iran. Ia menilai Pezeshkian gagal menyadarkan kelompok masyarakat yang apatis itu untuk memberi suara.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.