Wisata NTT
Wisata NTT - Lestarikan Hutan Adat, Warga Mano Lambaleda Selatan Manggarai Timur Bentuk Pokdarwis
Puncak proses pembentukan Pokdarwis tersebut terjadi pada Kamis (6/6/2024), dengan terpilihnya badan pengurus Pokdarwis Gendang Mano.
Menjaganya dengan Aturan Adat
Upaya menjaga Pong Dode, kata Sablon, diwariskan turun temurun hingga kini, terutama oleh warga di Dusun Mano, Nancang, Wejang Raci, dan Benteng Dima.
Mereka memberlakukan denda adat bagi yang melanggar, seperti menebang pohon atau membunuh monyet.
Denda itu bervariasi, mulai dari ayam kampung – selain yang berbulu hitam – hingga seekor babi berukuran besar, yang disebut ela wase lima.
Pembayaran denda itu, yang disertai ritual, kata dia, adalah bentuk perdamaian dengan roh atau arwah nenek moyang.
Saat pembayaran denda, orang yang melakukan kesalahan mengucapkan kata-kata permohonan maaf kepada roh atau arwah nenek moyang.
Denda tersebut, kata Sablon, bukan hanya lahir dari keputusan sepihak tetua adat, tetapi warga kampung (pa’ng olo ngaung musi) agar “roh nenek moyang yang mendiami Pong Dode tidak murka.”
Pembayaran denda itu menjadi keharusan bagi warga karena meyakini akan ada konsekuensi bagi mereka yang mengabaikannya.
Misalnya pria penembak monyet yang istrinya sedang hamil, anaknya akan lahir dengan cacat tertentu, kata Wihelmus.
Ia mengatakan, denda adat itu juga menjadi cara untuk melestarikan Pong Donde, juga monyet di dalamnya.
“Kalau pohon ditebang, lantas tidak ada lagi tempat tinggal untuk monyet,” katanya.
“Itu yang kami jaga selama ini.”
Berharap Dipromosikan Sebagai Aset Pariwisata
Kini, upaya pelestarian Pong Dode masih terus dilanjutkan oleh generasi muda di Mano.
Kendati begitu, pelestarian turun-temurun itu juga tak bisa sekenanya. Misalnya soal reboisasi dan revitalisasi hutan.
Tak semua tanaman cocok tumbuh di Pong Dode.
Bibit pohon yang ditanam untuk revitalisasi hutan itu, “bukan dibawa dari luar, tetapi diambil dari kawasan Pong Dode itu sendiri,” kata Kanisius Bombor, 35 tahun, seorang pemuda Mano.
“Kami tinggal memindahkan bibit pohon tersebut ke area hutan yang masih kosong,” katanya.
Kebanyakan bibit dari luar Pong Dode, katanya, “susah hidup di sini.” Contohnya adalah bibit mahoni yang pernah ditanam warga beberapa tahun lalu, kata dia, tidak mampu bertumbuh.
Penanamannya, menurut Kanisius, selalu dilakukan setelah terlebih dahulu “meminta izin roh nenek moyang.”
Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur telah menetapkan Pong Dode sebagai ‘Cagar Budaya.”
Namun, catatan Kanisius, “sayangnya pemerintah hanya berhenti pada pemasangan papan Cagar Budaya dan pembuatan pagar keliling.”
Setelahnya, kata dia, “mereka lepas begitu saja.”
Baca juga: Wisata NTT, Kelabba Maja Keajaiban Alam Berupa Bukit Warna Warni di Sabu Raijua
Ia berharap, pemerintah memberi perhatian lebih, misalnya gencar mempromosikannya sebagai aset pariwisata sehingga bisa berdampak secara ekonomi bagi warga sekitar yang terus menjaganya.
“Ketika pemerintah sudah memasang papan Cagar Budaya, kami mau supaya ada tindak lanjut menata Pong Dode sebaik mungkin,” kata Kanisius.
Penataan itu, jelasnya, tentu akan berkontribusi juga bagi upaya pelestarian terus-menerus Pong Dode.
(kompas.com/floresa.co)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.