Wisata NTT

Wisata NTT - Lestarikan Hutan Adat, Warga Mano Lambaleda Selatan Manggarai Timur Bentuk Pokdarwis

Puncak proses pembentukan Pokdarwis tersebut terjadi pada Kamis (6/6/2024), dengan terpilihnya badan pengurus Pokdarwis Gendang Mano.

Editor: Agustinus Sape
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Pemandangan Kampung Mano di Kelurahan Mandosawu, Kecamatan Lamba Leda Selatan, Kabupaten Manggarai Timur. 

POS-KUPANG.COM, BORONG - Beberapa orang muda warga Kampung Mano, Kelurahan Mandosawu, Kecamatan Lambaleda Selatan, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, telah membentuk kelompok sadar wisata (Pokdarwis) untuk mengembangkan potensi wisata di kampung tersebut.

Puncak proses pembentukan Pokdarwis tersebut terjadi pada Kamis (6/6/2024), dengan terpilihnya badan pengurus kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Gendang Mano.

Denny Wa'or dalam pernyataannya usai ditetapkan sebagai ketua Pokdarwis Kampung Mano menuturkan, tantangan terbesar adalah menyamakan persepsi di kalangan warga gendang Mano terkait pariwisata berikut potensi wisata yang ada di wilayah gendang Mano.

Karena itu, dalam pekan ini pihaknya bersama pengurus yang lain akan berkoordinasi dengan tetua adat Gendang Mano guna membahas agenda kerja Pokdarwis Mano, satu tahun pertama, sebagai fondasi pergerakan pengembangan pariwisata di Mano.

“Saya akui walau badan pengurus Pokdarwis Mano baru terbentuk, kunjungan wisatawan khususnya tamu mancanegara, dalam satu tahun terakhir sudah mulai menggeliat,” jelas Denny Wa'or.

Sementara itu, Sekretaris Pokdarwis Kampung Mano Adrian Pantur mengatakan, terbentuknya badan pengurus Pokdarwis Mano menjadi pintu masuk pengembangan pariwisata dengan berbagai potensi sumber daya alam (SDA) berikut sumber daya manusia (SDM).

Menurut Adrian, potensi alam dan budaya di Mano memang bagus dan unik. Salah satunya berupa Pong Dode (hutan Kera, di tengah kampung). Ada pula Compang (Altar Persembahan) di Gendang Mano yang terbilang unik dengan bentangan panjang sekitar 80 meter lebih.

Ada juga Gua Maria tepatnya di sisi Utara Pong Dode Mano sebagai wisata rohani yang patut dikunjungi wisatawan.

Mano sudah sejak lama dikenal sebagai daerah sentra Cengkeh sedaratan Manggarai Raya bahkan Flores.

“Dari sisi SDM, warga gendang Mano terbilang siap lantaran banyak putra-putri Mano yang selama ini bekerja di dunia pariwisata seperti guide hingga pengusaha travel agent,” jelasnya.

Pantur menambahkan, dengan semua potensi yang dimiliki, Kampung Mano bisa menjadi lentera demi meningkatkan ekonomi warga setempat.

Cerita tentang Pong Dode

Cerita tentang Kampung Mano dengan Pong Dode-nya yang keramat ditulis secara mendalam oleh laman floresa.co, 9 Oktober 2023, dengan mengutip cerita seorang warga bernama Nikolaus Sleman.

Diceritakan bahwa Nikolaus Sleman, warga Kampung Mano, pernah tiba-tiba sakit tak lama sesudah menebang pohon di Pong Dode, sebuah hutan lindung seluas hampir empat hektar yang berada di tengah kampung dan ladang warga.

Ia sedang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama saat itu ketika nekat menebang lima pohon, kendati sempat dilarang warga sekitar. Gurunya memang meminta membawa batang kayu untuk membuat pagar pekarangan sekolah.

Malamnya, usai menebang pohon-pohon itu pada akhir pekan, kata Nikolaus yang kini berusia 51 tahun, ia “memimpikan roh nenek moyang datang menegur.”

Roh itu memberitahunya segera meminta maaf dan “memperingatkan konsekuensi atas tindakan saya.”

Betul saja, Senin berikutnya ia demam tinggi. Seluruh tubuhnya susah bergerak.

“Saya tidak bisa beranjak dari tempat tidur,” tutur Nikolaus kepada Floresa di rumahnya, Rabu, 4 Oktober.

Diantar sang ayah, ia lalu berobat ke seorang dukun yang menganjurkannya mengakui kekeliruan, sekaligus meminta maaf kepada arwah nenek moyang.

Sang ayah lalu membawa telur ayam kampung ke Pong Dode, membuat sebuah ritual, tanda permohonan maaf kepada roh leluhur.

Tak lama kemudian, ia sembuh.

Cerita tentang Pong Dode yang keramat seperti dituturkan Nikolaus menjadi keyakinan turun temurun warga Mano, wilayah di Kecamatan Lamba Leda Selatan, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Terjaganya hutan itu karena ada kepercayaan bahwa semua leluhur orang Mano ada di sana, kata Wilhelmus Sin Jungke, 60 tahun, seorang warga.

“Pong Dode merupakan paru-paru kehidupan orang Mano,” katanya.

Karena ada Pong Dode, kata dia, situasi di Mano relatif aman.

”Mungkin bagi generasi muda, itu hanya mitos. Tetapi, orang Mano punya keyakinan besar seperti itu,” katanya.

Penjaga dan penghuni Pong Dode, katanya, roh dan nenek moyang orang Mano.

“Bahkan di tiap pohon ada penjaga dan penghuninya,” kata Wilhelmus.

“Memang tidak bisa dilihat secara kasat mata. Kalau lewat mimpi, itu pasti ada.”

Jadi Habitat Monyet

Hutan sekitar 3,8 hektar itu berada di antara pemukiman dan ladang warga, yang tak jauh dari kaki Gunung Mandosawu.

Pong Dode berjarak kurang lebih 43 kilometer ke arah barat dari Borong, ibukota Kabupaten Manggarai Timur dan 15 kilometer ke arah timur dari Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai.

Letak Pong Dode yang menjembatani permukiman dan ladang memungkinkan monyet bertandang ke kebun-kebun warga.

“Tetapi mereka [monyet] hanya ambil makan [dari kebun warga] sesuai kebutuhan. Itupun ketika mereka lapar sekali,” kata Wilhelmus ketika ditemui Floresa pada 4 Oktober.

Kawanan monyet “tak pernah sembarangan ambil makanan warga. Kalau mereka lapar sekali, baru mereka ambil tanaman masyarakat,” katanya.

Keyakinan itu juga yang melandasi tali peranti bahwa “monyet tak boleh ditembak dan pohon tak boleh ditebang,” katanya.

Sekali dilanggar, “kita akan mendapat sakit,” katanya – seperti halnya yang dialami Nikolaus.

Ada juga keyakinan warga setempat bahwa ketika monyet di Pong Dode mengeluarkan suara yang aneh, seperti jeritan, itu berarti isyarat akan ada peristiwa penting.

“Ketika terdengar jeritan atau teriakan monyet menjelang matahari terbit, biasanya tersiar kabar kedukaan pada beberapa hari kemudian,” kata Sablon Pakar, Tua Teno (tokoh adat untuk urusan ulayat) Gendang Mano.

Pria 63 tahun ini juga meyakini di Pong Dode terdapat monyet putih misterius. Siapapun yang bertemu atau melihat si monyet putih, hidupnya akan dipenuhi dengan rezeki.

Baca juga: Wisata NTT, Keindahan Bukit Ledongara di Sumba Barat Daya yang Mempesona

Rezeki itu, katanya, beragam bentuknya, termasuk memperoleh ilmu hitam atau mbeko dalam bahasa warga setempat.

“Tidak setiap orang dapat melihat kemunculan monyet putih, hanya orang-orang tertentu,” kata Sablon.

Ia mengatakan, kisah tentang monyet putih misterius itu ia dapat dari penuturan orang-orang tua di Mano.

Selama hidupnya monyet itu tidak pernah muncul lagi, hanya orang-orang zaman dulu “yang pernah melihat monyet putih itu.”

Menjaganya dengan Aturan Adat

Upaya menjaga Pong Dode, kata Sablon, diwariskan turun temurun hingga kini, terutama oleh warga di Dusun Mano, Nancang, Wejang Raci, dan Benteng Dima.

Mereka memberlakukan denda adat bagi yang melanggar, seperti menebang pohon atau membunuh monyet.

Denda itu bervariasi, mulai dari ayam kampung – selain yang berbulu hitam – hingga seekor babi berukuran besar, yang disebut ela wase lima.

Pembayaran denda itu, yang disertai ritual, kata dia, adalah bentuk perdamaian dengan roh atau arwah nenek moyang.

Saat pembayaran denda, orang yang melakukan kesalahan mengucapkan kata-kata permohonan maaf kepada roh atau arwah nenek moyang.

Denda tersebut, kata Sablon, bukan hanya lahir dari keputusan sepihak tetua adat, tetapi warga kampung (pa’ng olo ngaung musi) agar “roh nenek moyang yang mendiami Pong Dode tidak murka.”

Pembayaran denda itu menjadi keharusan bagi warga karena meyakini akan ada konsekuensi bagi mereka yang mengabaikannya.

Misalnya pria penembak monyet yang istrinya sedang hamil, anaknya akan lahir dengan cacat tertentu, kata Wihelmus.

Ia mengatakan, denda adat itu juga menjadi cara untuk melestarikan Pong Donde, juga monyet di dalamnya.

“Kalau pohon ditebang, lantas tidak ada lagi tempat tinggal untuk monyet,” katanya.

“Itu yang kami jaga selama ini.”

Berharap Dipromosikan Sebagai Aset Pariwisata

Kini, upaya pelestarian Pong Dode masih terus dilanjutkan oleh generasi muda di Mano.

Kendati begitu, pelestarian turun-temurun itu juga tak bisa sekenanya. Misalnya soal reboisasi dan revitalisasi hutan.

Tak semua tanaman cocok tumbuh di Pong Dode.

Bibit pohon yang ditanam untuk revitalisasi hutan itu, “bukan dibawa dari luar, tetapi diambil dari kawasan Pong Dode itu sendiri,” kata Kanisius Bombor, 35 tahun, seorang pemuda Mano.

“Kami tinggal memindahkan bibit pohon tersebut ke area hutan yang masih kosong,” katanya.

Kebanyakan bibit dari luar Pong Dode, katanya, “susah hidup di sini.” Contohnya adalah bibit mahoni yang pernah ditanam warga beberapa tahun lalu, kata dia, tidak mampu bertumbuh.

Penanamannya, menurut Kanisius, selalu dilakukan setelah terlebih dahulu “meminta izin roh nenek moyang.”

Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur telah menetapkan Pong Dode sebagai ‘Cagar Budaya.”

Namun, catatan Kanisius, “sayangnya pemerintah hanya berhenti pada pemasangan papan Cagar Budaya dan pembuatan pagar keliling.”

Setelahnya, kata dia, “mereka lepas begitu saja.”

Baca juga: Wisata NTT, Kelabba Maja Keajaiban Alam Berupa Bukit Warna Warni di Sabu Raijua

Ia berharap, pemerintah memberi perhatian lebih, misalnya gencar mempromosikannya sebagai aset pariwisata sehingga bisa berdampak secara ekonomi bagi warga sekitar yang terus menjaganya.

“Ketika pemerintah sudah memasang papan Cagar Budaya, kami mau supaya ada tindak lanjut menata Pong Dode sebaik mungkin,” kata Kanisius.

Penataan itu, jelasnya, tentu akan berkontribusi juga bagi upaya pelestarian terus-menerus Pong Dode.

(kompas.com/floresa.co)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved