Berita Belu

Djoese Nai Buti Luncurkan Kamus Bahasa Kemak Dirubati dan Buku Ritual Adat Pemakaman

Kamus Bahasa Kemak Dirubati yang ditulis merupakan kamus bahasa pergaulan sehari-hari bagi suku Kemak Dirubati

Penulis: Agustinus Tanggur | Editor: Edi Hayong
POS-KUPANG.COM/AGUS TANGGUR
Djoese S. Martins Nai Buti menyerahkan dua buku yakni Kamus Percakapan Sehari-hari Bahasa Kemak Dirubati dan buku Rae Supru Ritual Adat Pemakaman dan Penyerahan Arwah Bey Fransiscus Nai Buti kepada Sang Pencipta, yang diterima Elly Rambitan selaku Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Belu, Rabu 22 Mei 2024. 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Agustinus Tanggur

POS-KUPANG.COM, ATAMBUA - Salah satu tokoh muda Kabupaten Belu, Djoese S Martins Nai Buti menyerahkan dua buku penting kepada masyarakat melalui pemerintah daerah setempat.

Adapun dua buku yang diserahkan yakni Kamus Bahasa Kemak Dirubati dan buku Rae Supru Ritual Adat Pemakaman dan Penyerahan Arwah Bey Fransiscus Nai Buti kepada Sang Pencipta.

Penyerahan buku ini bertujuan untuk melestarikan bahasa dan budaya suku Kemak Dirubati yang tersebar di beberapa wilayah di Kabupaten Belu.

Dua buku yang ditulis oleh Djoese S. Martins Nai Buti putra asli Belu diserahkan kepada Elly Rambitan selaku Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Belu

Kamus Bahasa Kemak Dirubati yang ditulis merupakan kamus bahasa pergaulan sehari-hari bagi suku Kemak Dirubati. 

Dalam bukunya, Djoese S Martins Nai Buti menulis tentang pentingnya pelestarian bahasa dan budaya lokal di tengah tantangan global yang semakin maju. 

"Jika ini tidak dilestarikan, maka bahasa dan budaya kita akan punah," ujar Djoese, kepada Pos Kupang, Rabu 22 Mei 2024.

Baca juga: Wisata NTT, Pesona Air Terjun Uluk Till, Keajaban Alam yang Tersembunyi di Kabupaten Belu

Selain kamus bahasa, Djoese juga menjelaskan tentang proses pemakaman dalam suku Kemak Dirubati yang terbagi menjadi tiga kategori yakni Tana Mate, Rae Supru dan Matekio. 

"Rae Supru merupakan ritual adat yang dilakukan untuk menyerahkan arwah seseorang yang meninggal kepada Sang Pencipta, biasanya dilaksanakan pada peringatan 40 hari kematian," jelasnya. 

Djoese menekankan pentingnya menulis dan mendokumentasikan budaya dan sejarah lokal. 

"Dalam Buku Rae Supru ini, Saya mengisahkan tentang peran beliau saat terlibat dalam perang Timor Timur dan integrasi Timor Portugis ke NKRI serta semua tahapan ritual adat, mulai dari saat beliau sakit hingga ritual adat terakhir, sudah lengkap ada di sini," tambahnya.

Djoese berharap buku-buku ini dapat menjadi bagian dari muatan lokal dalam pendidikan di sekolah-sekolah, membantu anak-anak muda untuk mencintai dan melestarikan budaya mereka.

Djoese S. Martins Nai Buti juga menyampaikan bahwa dirinya merasa terpanggil untuk menulis kamus dan buku tentang ritual adat karena kecintaannya pada budaya lokal. 

"Walaupun saya tinggal jauh di Kupang, kepedulian terhadap budaya lokal harus tetap dijaga dan dikembangkan," tegasnya. 

Baca juga: Pemerintah Kabupaten Belu Siapkan 197 Vial Vaksin Anti Rabies

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved