Opini

Opini: Politik Uang Membayangi Pilkada 2024

Politik uang selalu menjadi salah satu variabel kunci memobilisasi warga dalam setiap kontestasi elektoral.

Editor: Dion DB Putra
KOMPAS.COM
Ilustrasi. Salah satu meme tolak politik uang yang disebar Bawaslu Sulsel. 

Oleh: Florianus Jefrinus Dain
Alumnus IFTK Ledalero Maumere, Flores

POS-KUPANG.COM - Politik uang selalu menjadi salah satu variabel kunci memobilisasi warga dalam setiap kontestasi elektoral.

Isu lima tahunan ini terkesan basi, namun perlu mendapat perhatian bersama dan mesti diamputasi sehingga tidak dilihat sebagai normalisasi baru oleh masyarakat.

Mengingat pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 sudah di ambang pintu, penting membangun kesadaran kolektif masyarakat pemilih agar kebal dari rayuan jual-beli suara. Ini ujian berat terhadap kualitas demokrasi kita.

Berkaca pada pemilihan umum (pemilu) 14 Februari 2024, politik uang sudah menjadi wabah, tersebar di seluruh daerah. Selain aktor politisi, warga pemilih cenderung permisif atau bahkan mendukung politik uang sebagai hal yang wajar dalam meraih kekuasaaan.

Di antara masyarakat pemilih, ada orang yang menantikan pemilu bukan sebagai momen memberi kedaulatan kekuasaan rakyat, melainkan bisa memanen uang yang banyak dari politisi yang berasal dari berbagai partai politik.

Singkatnya, warga melihat pemilu sebagai ajang ‘memeras uang’ politisi yang akan ditukar dengan suara pada hari pencoblosan di bilik suara.

Jumlahnya bervariasi, mulai dari angka Rp 100.000 hingga Rp 500.000 per suara atau wajib pilih.

Bisa dibanyangkan politisi harus mengeluarkan uang banyak agar menggaet suara dan menang dalam kontestasi politik. Ini adalah arena persekongkolan politisi dengan pemodal atau pendonor yang memiliki kepentingan politik.

Namun, masih ada politisi yang kritis dan menyesali praktik politik uang yang bergelimang di tengah masyarakat. Bagi politisi model ini, pendidikan politik menjadi indikator kunci untuk menentukan pilihan politik.

Tranfer ide, gagasan menjadi alat tukar menggaet simpati rakyat.
Sebab dalam terang logika seperti ini, kedaulatan politik ada di tangan rakyat.

Sehingga genaplah, demokrasi per definitionem sebagai pemerintahan rakyat (dari, oleh, dan untuk rakyat). Secara normatif, demokrasi itu terus dituntut untuk menyerahkan kekuasaan itu kepada demos atau rakyat.

Joseph Schumpeter (1942) mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah sistem pergantian kekuasaan secara damai dan berkala karena para peserta pemilu berkompetisi untuk merebut dukungan pemilih.

Hal itu tentu saja mustahil dilakukan ketika pertarungan dalam demokrasi elektoral, kompetisi politis ternyata digerakkan oleh politik transaksional dengan wajib pilih. Legitimasi demokrasi kian runtuh.

Fenonema di NTT

Politik uang ini yang kita temukan dalam banyak laporan jurnalistik di Nusa Tenggara Timur.

Masih segar dalam ingatan kita, jelang pemilihan umum pada 14 Februari 2024, seorang calon legislatif (Caleg) DPRD NTT dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) membagi uang kepada warga di Pelabuhan Kalabahi, Kabupaten Alor. Kemudian caleg tersebut ditetapkan sebagai tersangka.

Kasus kedua di Kampung Rura, Desa Rura, Kecamatan Reok Barat, Kabupaten Manggarai, tim sukses salah satu calon legislatif yang diduga dari partai Nasdem meminta warga kembalikan Babi dan uang sejumlah Rp 150.000 karena tidak ada suara caleg tersebut di kampung itu.

Kasus ini terungkap seusai pemilu, saat tim sukses dan wajib pilih berseteru. Hingga kini, kasus itu masih diproses oleh centra penegakan hukum terpadu Kabupaten Manggarai.

Menurut Nichter yang dikutip Burhanuddin Muhtadi dalam buku Kuasa Uang: Politik Uang Dalam Pemilu Pasca-Orde Baru (Muhtadi, 2020:10), dua kasus di atas merupakan contoh klientelisme elektoral di mana distribusi imbalan material kepada pemilih hanya dilakukan pada saat pemilu.

Artinya hubungan itu dibangun untuk kepentingan politis selama masa pemilu. Dan ini dilihat sebagai jalan terakhir untuk merebut kekuasaan.

Karena itu, hemat saya perlu ditelisik lebih jauh alasan yang mungkin, sehigga politik uang itu bertumbuh subur saat pemilu. Pertama, dalam dua kasus di atas diperlihatkan kepada publik bahwa politik uang selalu beroperasi dan menyasar masyarakat menengah ke bawah.

Ruang-ruang itu akan diisi oleh upaya menawarkan sejumlah uang sebagai alat tukar atas pilihan politik di saat masyarakat dalam keadaan mendesak merasa perlu mendapatkan uang sebagai penukar suara politiknya.

Kedua, tingkat pendidikan yang minim adalah gerbong masuknya politik uang. Dua kasus di atas adalah gambaran keterbatasan pengetahuan masyarakat kita tentang politik elektoral.

Hal yang disoroti adalah kurangnya keberpihakan partai-partai politik untuk mendorong kesadaran politis masyarakat.

Justeru partai-partai politik membiarkan organ-oragannya (baca: politisi) melakukan kecurangan di tengah kompetisi dalam partai politik untuk mendulang suara.

Ketiga, dua kasus di atas sebagai catatan tidak adanya kedekatan secara politis maupun ideologis antara warga pemilih dengan politisi.

Sulitnya membangun hubungan emosional- psikologis yang menjadikannya sebagai modal sosial. Hal ini mengkonfirmasi ideologi partai politik yang bertarung dalam kontestasi elektoral.

Akhirnya, rakyat yang diperantarai atau terumuskan di legislatif atau eksekutif, tidak memiliki kekuataan bahkan terasing dari kekuasaan politik.

Solusi

Hemat saya, untuk meminimalisasi bahaya laten, politik uang, perlu kerja keras penyelenggara pemilu, terutama membangun peradaban pendidikan politik yang memihak kepentingan publik. Selain itu, penting kehadiran partai politik membawa dampak terhadap peradaban politik di tingkat lokal.

Saya membayangkan, jelang Pilkada 2024 partai-partai politik sebagai organ yang mampu membangun konsolidasi pencerahan dengan warga pemilih untuk menolak praktik politik yang menyabotase kedaulatan rakyat.

Sehingga pendidikan itu berdampak pada terbentuknya kesadaran kolektif warga tentang kedaulatannya dalam negara demokrasi.

Tanpa adanya otonomi kedaulatan, warga hanyalah ruang kosong, tanpa suara. Yang pada gilirannya, terlempar dari kebijakan-kebijakan politik itu sendiri.

Kedua, penguatan kapasitas penyelenggara pemilu. Keteledoran atau ketidakmampuan penyelenggara dalam mengawasi proses-proses politik jelang pemilu pada 14 Februari 2024 menjadi catatan serius yang perlu diperhatikan jelang Pilkada 2024.

Kasus di Desa Rura, Kecamatan Reok Barat, Kabupaten Manggarai menjadi contoh kurang kerja pengawasan penyelenggara di tingkat paling bawah, yakni kecamatan.

Beragam pelanggaran pemilu pada waktu lalu, mesti dievaluasi, sehingga penyelenggara di tingkat kecamatan dan desa lebih proaktif dan responsif dalam mengawasi proses politik. Untuk membantu kerja penyelenggara, mendorong lembaga-lembaga pemantau pemilu yang independen mesti perlu dilakukan.

Ketiga, hal yang saya pikirkan untuk mengurangi atau mengamputasi politik uang ialah membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendanaan publik untuk biaya operasional politisi.

Hemat saya, selain mencegah keterlibatan pemodal dalam proses politik, dana publik meniscayakan keterlibatan warga untuk mendukung calon pemimpin, sehingga pemantauan proses demokratisasi berjalan lancar.

Ada kesamaan ide, gagasan, emosional ketika dana publik yang dikumpulkan secara sukarela itu untuk politisi.

Pengawasan terhadap politik menjadi semakin adil karena dana-dana itu berasal dari warga.

Hal yang paling baik, politisi yang mendapat tampuk kekuasaan, secara moral- kebijakan terarah pada pertanggungjawaban kepada kebaikan bersama. (*)

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved