Wisata NTT

Wisata NTT - Jangan Lewatkan Pesona Tradisi Budaya Kampung Adat Praimadita Sumba Timur

Desa Praimadita tidak hanya punya potensi wisata alam, tetapi juga menyuguhkan pesona tradisi budaya yang sayang untuk Anda lewatkan.

Editor: Agustinus Sape
BEVERLY RAMBU/VN
Tradisi panen padi di Praimadita, Kecamatan Karera, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. 

POS-KUPANG.COM - Desa Praimadita di Kecamatan Karera, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, sudah terkenal dengan potensi wisata alam, baik wisata daratan maupun wisata pantai. Sebut beberapa, misalnya, Bukit Tana Rara, Pantai Tarimbang, Pantai Walakiri, Air Terjun Tanggedu, Bukit Wairinding, Bukit Tanau, dan Kampung Adat Prailiu.

Namun, Desa Praimadita tidak hanya punya potensi wisata alam, tetapi juga menyuguhkan pesona tradisi budaya
yang sayang untuk Anda lewatkan.

Berikut ini disebutkan beberapa acara adat yang sering dilakukan secara reguler setiap tahun.

1. Menjala Ikan/Panen Ikan (La Luana)

Sekali dalam setahun, masyarakat Desa Praimadita menggelar tradisi panen ikan bersama. Seluruh masyarakat Desa Praimadita termasuk kampung-kampung lain di sekitarnya ikut memanen ikan di Muara Lalona. Panen hanya dilakukan pada saat yang sudah ditentukan oleh tua adat (Rato).

Masyarakat dilarang menjala ikan di lokasi tersebut di luar jadwal yang telah ditentukan. Bahkan pohon bakau atau pohon serta tumbuhan yang ada di sekitar danau pun tidak boleh dipotong, dilukai, atau dirusak. Masyarakat percaya, bila ada yang melanggar maka akan menderita sakit bahkan meninggal dunia.

Bagi masyarakat atau wisatawan yang sedang datang bulan (menstruasi) dan sedang hamil dilarang masuk ke dalam danau saat panen ikan berlangsung. Pamali menurut keyakinan mereka.  Bila melanggar wanita tersebut bisa saja hilang di danau.

Sebelum panen ikan dimulai, masyarakat akan menggelar ritual adat yang dipimpin oleh seorang Rato. Meski agama mulai berkembang dan dianut oleh sebagian besar masyarakat di Desa Praimadita, masyarakat masih taat menjalankan tradisi budaya Marapu (kepercayaan asli di Sumba), termasuk saat menjali ritual di danau sebelum panen ikan.

Rato akan melakukan hamayang (sembahyang) lalu memotong ayam dan babi. Setelah ritual berlangsung, Rato akan menebarkan jala Marapu terlebih dahulu. Jala Marapu merupakan jala pertama yang akan memanen ikan.

Setelah itu, barulah masyarakat lain bisa memanen ikan yang ada di danau. Semua boleh memanen namun waktunya dibatasi. Jika sang Rato mengatakan waktu telah selesai, maka semua masyarakat harus keluar dari danau dan menghentikan segala aktivitas.

Waktu panen hanya dilakukan satu hari. Biasanya panen dilakukan pada bulan Juli atau Agustus mulai pukul 11.00-15.00 WITA.

2. Tradisi panen padi (April-Juli)

Sebagian besar masyarakat di Desa Praimadita beprofesi sebagai petani. Biasanya sebelum panen padi, keluarga yang mempunyai sawah akan memberi informasi kepada keluarga, sanak saudara (peika analalu) bahwa mereka akan melakukan panen.

Keluarga dan tetangga yang sudah mendapatkan infomrasi biasanya akan membawa beras, gula, ayam, dan bahan makanan lain bagi keluarga yang akan panen.

Lalu, akan ada sembahyang (hamayang) dengan memotong ayam jantan. Tua adat akan melihat alur hati dan usus untuk mengetahui apakah panen akan berhasil atau adakah hambatan saat panen.

Biasanya setelah selesai tanam padi, masyarakat akan melakukan acara adat meminta para leluhur dan Sang Khalik menjaga agar padi terlindung dari segala gangguan dan bisa menghasilkan padi yang baik.

Begitupun setelah panen, dilakukan ritual di rumah adat sebagai bentuk terima kasih.

Saat memotong padi di sawah, para ibu akan saling bernyanyi dan berbalas pantun (panggayang). Dua bakul padi pertama yang dipotong akan disimpan untuk bibit dan sembayang sesuai tradisi Marapu.

Mereka yakin dengan melakukan hal tersebut, mereka bisa melakukan panen berulang-ulang dan hasil yang diperoleh juga tidak akan ada habisnya.

Masyarakat petani di Desa Praimadita masih melakukan aktivitas manual mulai dari panen hingga membersihkan padi.

Setelah panen selesai, mereka akan saling bahu-membahu menginjak padi (parina). Saat injak, beberapa orang akan berdiri pada satu jalur, lalu memegang seutas tali sebagai penopang saat injak padi.

Salah satu dari anggota kelompok akan bernyanyi dengan bahasa daerah setempat untuk saling memberi semangat bagi teman-teman petani lain yang ikut membantu menginjak padi.

Nyanyian saat menginjak padi dikenal dengan istilah ludu parinna.

Setelah padi diinjak dan terpisah dari batangnya, para ibu akan diundang oleh keluarga untuk membantu mereka membersihkan padi (paimbung/patimbung).

Pembersihan padi dilakukan dengan cara manual memanfaatkan angin untuk memisahkan padi yang berisi dan tidak berisi. Sebagai bentuk terima kasih, para ibu yang membantu akan mendapatkan padi dari tuan rumah. Jumlahnya tergantung hasil yang diperoleh. Biasanya setiap ibu akan diberikan satu bakul padi.

Bakul terbuat dari bahan daun gewang yang dianyam. Selanjutnya padi yang sudah bersih akan disimpan di lumbung padi. Biasanya setiap rumah memiliki tempat penyimpanan padi. Padi yang lain akan digiling dengan mesin sesuai kebutuhan atau bisa ditumbuk dengan cara tradisional untuk menghasilkan beras yang akan dimasak menjadi nasi.

Bagi wisatawan yang ingin tahu tradisi dan pembuatan beras sejak awal bisa ikut merasakan pengalaman ini, terutama saat panen atau menumbuk padi.

3. Ritual memberi makan orang mati (2 Maret)

Masyarakat Desa Praimadita yakin bahwa merawat hubungan yang baik di dunia tidaklah cukup, hubungan yang baik antara kita yang masih hidup di dunia dengan mereka yang telah hidup di alama baka juga perlu dipelihara.

Ritual memberi makan orang mati (wuangu uhu ma meti) dilakukan satu tahun sekali baik untuk keluarga yang baru meninggal atau para leluhur yang mungkin tidak dikenal atau diketahui sebelumnya.

Dalam ritual ini keluarga akan menyiapkan ayam jantan/betina atau babi untuk dipotong dan melakukan sembahyang (hamayang), mendoakan para leluhur atau mereka yang telah meninggal dunia.

4. Tradisi memberi nama anak yang baru lahir

Masyarakat Desa Praimadita akan memberi nama anaknya dengan nama orangtua maupun leluhur (Tunya Tamu). Biasanya nama anak bisa sama dengan nama leluhur atau menggunakan nama nenek dan kakek.

Mereka percaya bila nama leluhur telah ditentukan untuk memberi nama pada anaknya maka mereka harus melakukan ritual potong tali pusar. Bila saat ritual, tali pusar yang dipotong tidak berdarah maka nama sang bayi harus diubah karena para leluhur tidak setuju nama itu digunakan. Bila berdarah, maka masyarakat Desa Praimadita yakin bahwa para leluhur setuju dengan nama yang diberikan kepada sang bayi.

5. Ritual Mendirikan Rumah Adat

Meskipun perkembangan bentuk rumah sudah lebih modern, namun di Kabupaten Sumba Timur, pembangunan rumah adat dengan atap yang menjulang tinggi ke atas masih tetap dilakukan termasuk di Praimadita.

Memang tidak semua keluarga di Desa Praimadita dan sekitarnya bisa mendirikan rumah adat yang cukup besar bahkan sebagian rumah warga sudah merupakan rumah modern.

Beberapa keluarga keturunan raja Karera atau bangsawan biasanya tetap membangun rumah adat meski sudah memiliki rumah modern.

Saat mendirikan rumah adat, keluarga harus menyiapkan babi, ayam, dan sirih pinang untuk melakukan ritual adat. Ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan.

Sebelum peletakan batu pertama, ada empat tiang kayu utama untuk rumah yang harus diberi ‘makan’ atau alas berupa empat mamuli (simbol rahim wanita), untuk mengangungkan wanita sebagai sumber segala kehidupan. Ini merupakan tiang pokok utama dan merupakan penyangga utama sehingga alas untuk pondasi ini haruslah diberi emas terbaik, baik dalam bentuk mamuli maupun lulu amah (emas).

Tiang pertama (Kambaniru uratu) merupakan simbol Sang Khalik dikenal sebagai sosok ‘ma mbakul womata ma mbalar kahilu’ atau Yang Maha Melihat, Yang Maha Mendengar.

Tiang kedua (Kambaniru ba’nda) simbol untuk kekayaan dan hewan (yang biasanya dipelihara oleh pemilik rumah).

Tiang ketiga (Kambaniru li lalei-manguama) simbol untuk kehidupan pernikahan/kawin-mawin sang pemilik rumah.

Tiang keempat (Kambaniru ngadu mataku) simbol akan pangan (makanan), agar urusan makan dan minum selalu diberkati.

Rumah adat Sumba biasanya menggunakan alang-alang atau wittu dalam bahasa adat setempat. Proses menaikkan alang-alang menjadi atap disebut pawitung.

Saat ini alang-alang mulai sulit dicari, kalaupun ada harganya tidak terlalu berbeda jauh dengan harga seng bahkan di beberapa tempat cenderung lebih mahal dari seng sehingga masyarakat sudah mulai menggunakan seng.

Selain lebih mudah diperoleh, harga terjangkau, seng juga dinilai lebih aman bila terjadi kebakaran.

Sementara dinding dan lantai rumah biasanya terbuat dari bambu atau papan. Pemilik rumah harus menyiapkan
sejumlah ekor hewan misalnya ayam dan babi untuk ritual. Rumah adat biasa disebut uma dalam bahasa setempat.

Saat rumah telah selesai dibangun, pemilik rumah akan menyiapkan hewan untuk dipotong dan dinikmati bersama sebagai tanda syukur.

Keluarga juga akan mengundang suku lain dalam tahapan ini untuk makan bersama.

Di titik paling atas rumah adat yang biasa disebut loteng (hindi) diletakkan barang berharga berupa emas baik mamuli, kanatar, kris atau koin perak.

Benda itu akan diletakkan dalam anyaman daun gewang (Ana Mbeaka). Penempatan benda berharga ini seringkali tergantung kabisu (klan). Ada yang mengharuskan diletakkan mamuli emas atau bentuk lain yang sudah disebutkan.

Yang pasti benda yang diletakkan teersebut baik berupa emas dan perak merupakan barang terbaik atau pilihan karena menjadi simbol Marapu sehingga sering disebut Tanggu Marapu la Hindi (bagian leluhur yang tersimpan di atas loteng. Emas atau perak Tanggu Marapu tidak boleh dipegang oleh sembarang orang. Hanya tetua adat atau orang yang ditahbiskan secara adat saja yang bisa memegangnya. Begitu pula ada istilah Tanggu Marapu la Kaheli (bagian leluhur yang tersimpan di balai-balai) biasanya berupa benda-benda pusaka mili keluarga/klan/kabisu. Biasanya benda-benda ini hanya akan dikelurkan saat ritual adat tertentu saja.

Berdasarkan informasi, tidak semua rumah adat memiliki Tanggu Marapu. Hanya turunan bangsawan saja yang bisa memilikinya.

Tidak seperti rumah adat lainnya, padi hasil panen tidak diletakkan di rumah adat. Lumbung atau tempat padi dibuat khusus dan tidak berada di dalam rumah adat.

6. Ritual Sembahyang untuk Hewan

Memohon penhamunan desa, nyepi dan tahun baru Sumba. Ritual dilakukan di titik sembahyang (katuada). Simbolnya berupa batu dan kayu.

Saat titik sembahyang ditentukan maka perlu disiapkan emas (amahu rara), baik mamuli atau sejenis perhiasan lain sebagai dasar yang diletakkan di bawah batu atau kayu. Di katuada inilah, empunya hewan melakukan sembayang (hamayang).

Katuada bisa untuk satu orang atau beberapa orang sekaligus yang memiliki lokasi/wilayah penggembalaan hewan yang sama.

Beberapa pemiliki yang menggunakan padang gembala yang sama bisa melakukan ritual bersama di titik yang ditentukan. Sesama pemilik hewan bisa saling mendukung dengan membawa babi atau ayam untuk kebutuhan ritual.

Ritual ini biasanya dilakukan pada bulan Juli. Alasannya, bulan Juli diyakini sebagai saat ternak berkelahi dan kawin (patua’a mbada/wula patua). Sehingga usai ritual diharapkan hewan akan berkembang biak dengan baik dan bertambah banyak.

Masyarakat Desa Praimadita biasanya melakukan ritual ini untuk di padang penggembalaan sapi, kuda atau kerbau.

Ada beberapa jenis katuada atau titik sembahyang tergantung peruntukannya. Katuada kawin’du (titik sembayang dekat rumah), katuada pa’da (untuk hewan), dan katuada wua ka (titik sembayang di sawah).

7. Tradisi saat Kematian

Selain tradisi bagi orang yang masih hidup, ada pula tradisi adat yang dijalankan saat salah satu anggota keluarga di Desa Praimadita meninggal dunia.

Keluarga yang meninggal dunia akan disemayamkan di rumah duka. Keluarga dan handai taulan akan datang melayat membawa hewan atau sarung tergantung hubungan orang yang melayat dengan orang yang meninggal dunia.

Jenazah akan disemayamkan 3-7 hari lamanya bagi masyarakat yang sudah menganut agama Kristen, sementara bagi mereka yang masih menganut kepercayaan Marapu, jenazah akan disemayamkan setengah bulan hingga satu tahun lamanya sebelum dikuburkan.

Salah satu contoh Umbu Yadar (Alm). Putra Raja Karera ke-3 Raja Umbu Hunga Meha (Alm) yang baru meninggal pada 8 Juli 2019 lalu.

Almarhumah meninggal di Surabaya. Jenazahnya dibawa pulang ke Sumba Timurdan sempat disemayamkan di rumahnya di Kota Waingapu, ibu kota Sumba Timur dan disemayamkan pula di rumahnya di Desa Nggongi (desa tetangga Desa Praimadita-masih satu sumber nenek moyang) selama 20 hari.

Selama waktu tersebut, kerabata, saudara dan kenalan bisa melayat, namun setelah itu, jenazah
dimasukkan ke dalam kamar pribadi (ruangan khusus) selama satu tahun dan baru akan dikubur pada tahun 2020 .

Setelah jenazah dimasukkan maka hanya keluarga inti saja yang boleh masuk dan melihat kondisi jenazah hingga nanti akan dikubur secara adat. Hewan akan dikorbankan saat penguburan berlangsung pada 2020 nanti.

Biasanya saat jenazah mulai disemayamkan, keluarga yang berduka akan melakukan diskusi (Paha ma) untuk menentukan keluarga mana saja yang akan diundang secara adat untuk menghadiri peristiwa duka misalnya anak perempuan yang telah menikah dan tinggal bersama suami, ipar, besan dan keluarga besar lainnya.

Setelah itu keluarga akan mengutus wunang atau salah satu atau beberapa orang keluarga untuk memberitahukan keluarga yang telah ditentukan. Meski keluarga yang dituju sudah mengetahui perihal kematian tersebut, namun secara adat keluarga berduka akan berkunjung dan memberikan informasi langsung kepada keluarga yang dituju.

Keluarga yang diundang biasanya akan membawa kain baik sarung maupun selimut dari tenunan khas Sumba atau hewan baik babi, kerbau, kuda atau sapi serta membawa kebutuhan untuk makan dan minum seperti gula,
kop , beras, dan lain-lain untuk mendukung seluruh rangkaian acara.

Berbeda dengan budaya di tempat lainnya, tamu atau keluarga yang datang melayat wajib diberi makan dan minum oleh keluarga yang berduka. Hal ini tidak terlepas dari tradisi yang berlangsung sejak dahulu kala dimana jarak antara satu kampung dengan kampung yang lain cukup jauh. Orang harus berjalan kaki atau menggunakan kuda untuk bisa datang melayat bahkan harus menginap sehingga memberi makan kepada para tamu yang datang sebagai bentuk penghargaan karena tamu sudah datang dari jauh dan menyumbang untuk keluarga yang berduka.

Meski transportasi sudah lancar dan lama perjalanan lebih cepat namun tradisi ini tetap dipertahankan hingga saat ini.

Saat penguburan, maka anak kawini (keluarga yang mengambil anak perempuan dari keluarga tersebut) akan membawa kerbau atau kuda, sementara yiara (pihak om atau paman) akan membawa kain atau sarung terbaik, dan pihak kuta angu lulu (saudara) akan membawa sarung (lawu) atau kain (hinggi) babi, beras, kopi, dan gula.

Ritual tersebut ada yang dilangsungkan di tempat yang sama dan secara reguler setiap tahun pada tanggal atau bulan, namun ada juga yang dilakukan di saat tertentu.

Bila saat akan berwisata ke wilayah ini dan ritual tersebut terjadi, maka Anda bisa saja ikut dengan terlebih dahulu berkomunikasi dengan tour guide serta tetap mengikuti aturan adat yang berlaku di wilayah tersebut.

8. Tradisi meminang perempuan dan menikah secara adat Sumba

Tradisi meminang di Sumba dilakukan dalam beberapa tahapan. Setiap tahapan, laki- laki Sumba wajib membawa sejumlah hewan berupa kuda, kerbau dan sapi serta mamuli emas untuk pihak keluarga perempuan dan akan dibalas dengan kain terbaik dan babi untuk diserahkan kepada keluarga laki-laki.

Setiap tahapan akan diarahkan oleh wunang (juru bicara) dari masing-masing pihak keluarga. Di tahap akhir biasanya sang perempuan bisa diboyong ke rumah laki-laki karena telah sah menjadi suami istri secara adat.

Namun, bagi para pemeluk agama Kristen, meski sudah sampai tahapan ini, mereka tetap tidak bisa tidur bersama sebagai suami istri sebelum akhirnya diberkati secara sah di gereja atau dinikahkan dengan agama lainnya.

Meski masyarakat di sana tampak hidup bebas dan damai namun mereka harus memegang teguh aturan adat termasuk kepercayaan untuk tidak mendatangi tempat-tempat tertentu yang dilarang (pamali). Jika tidak, maka bencana atau sakit bahkan hingga kematian bisa saja terjadi.

Beberapa tempat yang terlarang/pamali diantaranya Pahomba. Masyarakat Desa Praimadita percaya bahwa salah satu suku yang ada yakni suku Kalawua tidak bisa naik di tempat tersebut.

Suku lain selain suku Kaluwa bisa pergi ke tempat tersebut termasuk wisatawan yang berkunjung ke wilayah tersebut. Bila warga Suku Kaluwa melanggar maka mereka bisa saja sakit atau meninggal dunia.

Tempat lain yang tidak bisa dimasuki sembarangan orang adalah Pangguru Tanuama, tempat tinggal awal masyarakat Desa Praimadita yang berada di salah satu bukit tepat di ujung Desa Praimadira. Itulah tempat dimana masih ada kubur para leluhur dan tempat sembayang.

Dari cerita tokoh adat setempat, masyarakat Desa Praimadita baru pindah ke lokasi desa saat ini
pada tahun 1.

Ada pula kisah batu penji (tiang batu) berbentuk bulan sabit di Pulau Salura. Pulau Salura dulu merupakan bagian dari Desa Praimadita sebelum akhirnya mekar menjadi Desa Praisalura.

Dari kesaksian salah satu penduduk Desa Praimadita, batu itu pernah hendak dicuri karena bisa dijual dengan harga yang cukup mahal. Tergiur akan keuntungan yang bisa diperoleh, warga ini ingin mencuri batu tersebut. Ia lalu pergi dengan beberapa orang pemuda dewasa yang berbadan kekar untuk membantunya mengangkat batu penji. Ia merasa masih punya hak karena leluhurnya juga pernah memiliki batu tersebut.

Di malam hari, ia dan rombongan berangkat dari Pantai Katundu menuju Pulau Salura.

Tiba di pekuburan tua tempat batu itu diletakkan, ia dan beberapa pemuda berupaya untuk mengambil dan mencabut batu yang terancap di tanah. Sayang usaha itu sia-sia. Meski mencoba beberapa kali, namun usaha itu gagal. Bahkan batu itu sempat retak hampir patah namun mereka tidak bisa mengangkatnya.

Malah dari dalam batu keluar cahaya yang menyilaukan. Melihat itu, ia dan beberapa pemuda pun ketakutan dan takut bila terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

Mereka pun memutuskan untuk kembali ke Katundu dan tidak jadi mengambil batu itu hingga sekarang.

Meski agak miring dari posisi semula namun batu itu masih ada hingga saat ini di Pulau Salura.

Kesenian

Kesenian di Desa Praimadita diwariskan secara turun-temurun. Beberapa lagu sering dinyanyikan sesuai dengan situasi misalnya you yela khusus kematian orang besar atau turunan raja. Ada pula lagu yang dinyanyikan saat musim panen (lu’du paggayang), dinyanyikan bersahut-sahutan serta lagu saat menginjak padi (lu’du parina uhu).

Alat musik yang sering digunakan untuk tarian dan lagu yakni gong dan tambur. Namun, cara menabuh tambur dan memukul gong berbeda dalam misalnya cara menabuh gong saat situasi nikah (adat) dan bahagia berbeda dengan saat kematian atau suasana duka.

Ada pula beberapa tarian yakni tarian harama, kabokang (tarian penyambutan). Keduanya bisa ditarikan baik oleh laki-laki maupun perempuan.

Selain untuk menyambut tamu, tarian kabokang bisa ditarikan setelah acara penguburan. Sementara untuk perempuan ada tarian khusus yakni kadingang, reanja guku, dan nimbu harama.

Permainan

Permainan gasing antar kampung (pajulu maka) biasanya dilakukan saat panen atau saat membangun rumah adat untuk mengisi waktu senggang. Selain permainan gasing biasanya dilakukan juga permainan taji ayam (pata’jing manu).

Pacuan Kuda

Pacuan kuda dilaksanakan selama 10 hari di bulan September-Oktober di Desa Nggongi setiap tahunnya. Peserta berasal dari tujuh kecamatan di Sumba Timur bagian selatan.

Makanan

Salah satu makanan khas dari Desa Praimadita dikenal dengan nama uhu kadita taigangga yang terbuat dari pulut hitam, ada juga manggullu yang dibuat dari pisang merah, kaparak kirilu (petatas yang dikeringkan dan ditumbuk)

Transportasi
Anda pasti sudah mulai membayangkan bagaimana kenikmatan perjalanan Anda ke Desa Praimadita. Maklum, desa ini memang belum banyak dikunjungi wisatan dan alamnya masih sangat terjaga.

Bagi Anda yang ingin merasakan sensasi petualangan sejati di alam Desa Praimadita serta ingin tahu lebih jauh soal kearifan lokal dan budayanya, jangan tunggu waktu lama untuk berkunjung ke surga di selatan Kabupaten Sumba Timur ini.

Perjalanannya tidak sulit. Bila Anda berasal dari luar negeri maka Anda bisa naik penerbangan dari negara asal dan transit di Bali atau Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur.

Penerbangan bisa dilanjutkan dari Bandara Ngurah Rai Bali atau Bandara El Tari Kupang menuju Bandara
Umbu Mehang Kunda, Waingapu, Sumba Timur.

Sementara yang berasal dari Indonesia bisa langsung mengakses penerbangan dari Bali, Kupang atau daerah asal Anda.

Setelah tiba di Waingapu Anda bisa menggunakan mobil travel ke hotel untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Desa Praimadita.

Ada sekitar 16 hotel dan homestay ala backpacker di Waingapu. Anda bisa memilih untuk menginap di Hotel Padadita yang menyajikan keindahan pantai dan suasana hijau segar atau memilih Hotel Tanto di pusat kota
Waingapu atau Hotel Merlin, Hotel Jemmy, Villa Amidala, Praikamari Guesthouse, Casa Kandara Waingapu, dan beberapa homestay lainnya.

Setelah beristirahat dan menikmati beberapa lokasi wisata di sekitar Waingapu, perjalanan ke Desa Praimadita bisa dilakukan di pagi hari. Sebaiknya setelah sarapan, sekitar pukul 06.00 atau 07.00 Wita, Anda sudah harus bergegas menuju Praimadita sehingga masih bisa melihat keindahan pegunungan dan singgah di beberapa titik wisata sebelum tiba di Desa Praimadita.

Akses transportasi umum dari Kota Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur ke Kampung Adat Praimadita sekitar 100 kilometer. Biasanya ditempuh sekitar lima jam perjalanan dengan menggunakan truk bak kayu, yang merupakan transportasi umum reguler bagi masyarakat setempat. Warga biasanya merogoh kocek sekitar Rp 30.000 per orang dari Waingapu ke Desa Praimadita.

Sementara bagi wisatawan atau pengunjung bisa juga memanfaatkan jasa mobil strada Rp 1,5 juta per sekali jalan untuk lima-enam orang penumpang. Total pulang pergi dengan strada Rp 3 juta.

Bila ingin keliling kampung atau menuju destinasi wisata di sekitar Praimadita hanya bisa dillakukan dengan jalan kaki, naik motor warga, atau mobil yang disewa dari Waingapu.

Harga sewa kendaraan di dalam kampung sekitar Rp 10.000-50.000 ribu per orang tergantung jauh dekat lokasi wisata (mungkin sekarang harga sewanya sudah naik). Namun, akan lebih mudah bila menngunakan starda sehingga bisa langsung diantar ke lokasi tanpa mengeluarkan biaya tambahan.

Bila ingin ke Pulau Salura atau pantai di pulau lain bisa menggunakan perahu milik warga sekitar Rp 150 ribu per orang. Ada juga per paket lima orang biayanya Rp 700 ribu menggunakan lumunium speed boat.

Di desa Anda juga bisa merasakan bagaimana naik kuda dengan harga sewa Rp 50.000-Rp 100 ribu per sekali naik tergantung jarak yang ditempuh.

Komunikasi

Pastikan bila akan berwisata ke Desa Praimadita, seluruh keperluan dan pekerjaan yang berkaitan dengan internet bisa diselesaikan selama Anda berada di Waingapu bahkan sesaat sebelum berangkat dari negara atau daerah asala karena sarana komunikasi dan informasi yang bisa diakses oleh warga dan wisatawan hanyalah jaringan seluler GSM Telkomsel, tanpa jaringan 3G dan 4G untuk akses internet.

Mungkin akan terasa sulit bagi Anda yang sudah sangat bergantung dengan internet baik dalam hal komunikasi maupun pekerjaan. Namun, ada baiknya kesempatan ini digunakan untuk detoks dari segala hingar bingar hidup dengan internet dan lebih memusatkan hidupmu pada kesederhanaan dan fokus pada dirimu sendiri selama berwisata di Desa Praimadita.

Siapkan dirimu untuk hidup tanpa internet bahkan tanpa televisi atau teknologi lain yang Anda rasakah di kota.

Bagi Anda yang berasal dari luar negeri, untuk kebutuhan komunikasi saat emergency atau untuk kebutuhan komunikasi, maka bisa membeli kartu telekomunikasi baik SIMPATI maupun AS untuk ditukar dengan SIM card dari negara asal.

Namun, perlu diingat hanya untuk jaringan seluler GSM Telkomsel tanpa internet untuk whatsapp, Facebook, dan media sosial lainnya.

Fasilitas Pendukung

Berada jauh dari Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur tidak berarti tak ada fasiltas dasar untuk menunjang hidup para wisawatan mancanegara maupun wisatawan lokal saat berkunjung ke Desa Praimadita.

Di desa ini, Anda bisa mendapatkan akses listrik untuk penerangan atau charger handphone, air untuk kebutuhan mandi, cuci, dan minum, serta sarana kesehatan dan tempat ibadah.

Bila Anda tiba-tiba sakit, mengalami cedera atau kecelakaan kecil saat berwisata bisa ditangani langsung oleh para medis di Desa Praimadita. Desa ini memiliki satu unit Puskesmas dan satu unit Rumah Sakit Bergerak di Desa Nggongi (desa tetanggga) yang jaraknya cukup dekat.

Meski belum ada dokter spesialis, namun pertolongan pertama bisa diberikan oleh dokter dan perawat yang berada di Puskesmas maupun rumah sakit.

Sebagai antisipasi, bila Anda memiliki penyakit atau alergi tertentu maka bisa membawa obat dari negara atau daerah asal untuk jaga-jaga bila tak ada obat serupa di Desa Praimadita.

Sementara bagi Anda yang tetap ingin menjalankan ibadah selama berwisata maka ada tujuh gereja Kristen dan satu kapela Katolik di sekitar Desa Praimadita. Bagi Anda yang beragama muslim terdapat musola kecil di salah satu penginapan dekat Pantai Katundu. Untuk sholat lima waktu disediakan arah kiblat di setiap homestay.

Meski belum ada restaurant atau warung representatif, namun Anda tidak perlu khawatir karena para ibu di Desa Praimadita pandai mengolah makanan laut dan menyiapkan makanan untuk kebutuhan para wisatawan selama berwisata. Biasanya pihak homestay akan membantu Anda mendapatkan makanan yang dimasak dengan baik untuk dihindangkan baik untuk sarapan, snack, makan siang dan makan malam.

Bagi Anda yang beragama muslim, juga akan disediakan makanan yang layak dikonsumsi dan halal.

Beberapa kios kecil pun tersedia baik untuk kebutuhan tertentu misalnya sandal jepit, sabun, shampo, kopi, gula, biskuit, dan beberapa kebutuhan dasar lainnya namun terbatas.

Snack dan kebutuhan lain yang sekiranya Anda butuhkan saat berada di Desa Praimadita bisa dibawa dari negara atau daerah asal atau dibeli di beberapa mini market di Kota Waingapu.

Penginapan

Agar bisa menikmati beberapa destinasi wisata yang ada di Desa Praimadita termasuk mengunjungi Pulau Salura dan pulau lainnya, maka Anda harus menginap di beberapa homestay yang disediakan warga.

Ada satu homestay milik keluarga Alm. Umbu Yadar (tokoh Desa Praimadita). Tersedia empat kamar lengkap dengan listrik, air, AC dan dua kamar mandi dalam.

Selain itu di Pantai Katundu terdapat dua tempat menginap yakni Rumah Tunggu, lengkap dengan musola, 4 kamar,dan dua toilet. Serta penginapan sederhana ala rumah Sumba dengan atap dari daun gewang untuk backpacker atau keluarga kecil dengan lima kamar dan empat toilet di luar kamar.

Di tahun 2020, Anda juga sudah bisa menikmati cottage yang sedang dibangun di Desa Praimadita.

Biaya untuk homestay bervariasi mulai dari Rp 350.000 - Rp 500.000 per malam.

Sebelum kembali ke Waingapu Anda bisa mengunjungi beberapa titik rumah warga yang menyediakan souvenir sebagai oleh-oleh seperti tenun ikat dan pangan lokal yang dikemas menjadi cemilan nikmat.

Keamanan

Selain fasilitas, keindahan, dan kenyamanan tempat wisata, salah satu hal yang paling penting yang soal keamanan.
Jangan khawatir karena Desa Praimadita masih sangat aman. Masyarakat di sana hidup dalam semangat persaudaraan, gotong royong dan damai.

Meski banyak warga yang belum banyak mengenal dunia luar atau pandai mengakses teknologi namun secara moral, masyarakat di Desa Praimadita sangat menghargai tamu atau wisawatan yang datang ke desa mereka.

Tidak usah ragu untuk bertanya, karena beberapa orang muda dan guide menuju Desa Praimadita dan destinasi wisata di sekitar desa sudah tersedia. Sejauh komunikasi berjalan baik maka seluruh masyarakat akan melayani Anda dengan baik dan ramah.

Selain menggunakan bahasa daerah, sebagian besar warga juga sudah pandai berbahasa Indonesia, jadi jangan pernah takut akan kehilangan arah saat berada di desa indah ini.

Bila beruntung, maka dengan komunikasi yang baik Anda juga bisa ikut dalam acara adat masyarakat setempat yang kebetulan berlangsung saat Anda berwisata ke sana.

Kampung Adat Praimadita akan didukung dengan objek wisata menarik lain di desa-desa sekitar, yakni wisata bahari khas laut selatan dan air terjun, di antaranya:

1) Air Terjun Laputi, di Desa Praingkareha, Kecamatan Tabundung yang airnya mengalir sepanjang tahun melalui hamparan bebatuan yang bertingkat-tingkat. Di puncaknya terdapat sebuah danau keramat, di mana terdapat belut yang tidak boleh ditangkap dan dimakan karena menurut kepercayaan masyarakat setempat jika belut tersebut dimakan maka orang tersebut akan mati.

2) Air Terjun Kanabu Wai di Desa Waikanabu, Kecamatan Tabundung yang terkoneksi dengan kawasan Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti dengan berbagai flora dan fauna yang unik dan menarik. Lokasinya cukup jauh sehingga harus ada perhitungan matang sebelum ke sana.

3) Pantai Watu Parunu di Desa Lainjanji, Kecamatan Wulla Waijelu, dengan karakteristik tebing tinggi yang terbentuk dari susunan beberapa jenis batu memberi pesona tersendiri saat mengunjungi pantai tersebut, Seakan siap menantang kerasnya arus pantai selatan. Saat air bergerak surut, anda dapat mendekati areal tebing melalui celah batu alam yang oleh penduduk setempat disebut Watu Parunu.

4) Pantai Tawui di Desa Tawui, Kecamatan Pinu Pahar, dengan ciri khas gulungan ombak yang tak henti-henti dan hamparan kerikil membungkus sepanjang garis pantai membuat siapa saja enggan untuk beranjak dari tempat ini karena sangat exotis.

5) Sejarah Raja, kubur raja, dan adat istiadat Raja Nggongi, desa tetangga Praimadita.

(https://parekrafntt.id)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved