Opini
Opini: Berapa Lama Mereka Boleh Menjabat?
Ada ironi pada fenomena itu. Di satu sisi, event Pemilu secara harafiah dimaknai sebagai membatasi masa jabatan.
Oleh: Yohanes Vianey F. Akoit
Rohaniwan Katolik, Imam Kongregasi MSsCc
POS-KUPANG.COM - Pertanyaan berapa lama mereka boleh memimpin urgen diajukan. Urgensinya tentu untuk menyoal sekaligus memastikan batas masa jabatan anggota legislatif.
Pertanyaan ini mengemuka mengingat perhelatan Pemilu telah usai. Dan hasil pemilihan legislatifnya menunjukkan ada beberapa pertahana legislatif yang kembali terpilih.
Ada ironi pada fenomena itu. Di satu sisi, event Pemilu secara harafiah dimaknai sebagai membatasi masa jabatan.
Maka baik Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, Bupati dan Wakil Bupati, sama-sama memiliki batas waktu memerintah yang jelas dan tegas. Mereka hanya boleh memerintah selama dua periode.
Akan tetapi pada sisi yang lain, batas masa jabatan seperti itu tidak berlaku bagi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Karena itu ada anggota legislatif yang telah menjabat lima periode.
Apakah fenomena ini menunjukkan rakyat memang menghendaki demikian? Atau sebaliknya pelanggengan itu justru terjadi karena ketiadaan norma yang mengatur batas masa jabatan?
Bahkan terbuka kemungkinan untuk melihat fenomena itu sebagai taktik politik, pemeliharaan basis pemilih dan keuntungan yang diperoleh darinya? Jawaban dan argumentasinya bisa beragam.
Dan bisa dipastikan ada pro-kontra terkait isu batas masa jabatan anggota legislatif.
Polemik ini pernah diajukan ke Mahkama Konstitusi. Salah satu pemohonnya ialah Andi Redani Suryanata, (seorang mahasiswa) dan kuasa hukumnya Zico L.D Simanjuntak, pada Juni 2023 (Kompas.id 7/8/2023).
Mereka mengusulkan adanya pembatasan masa jabatan anggota legislatif. Maksudnya agar terdapat kemungkinan regenerasi di parlemen serta memberikan asas keadilan bagi semua kalangan.
Akan tetapi hingga saat ini belum ada norma khusus yang mengatur pembatasan masa jabatan anggota legislatif. Karena ketiadaan itu maka ada anggota legislatif menjabat lima periode. Masih terbuka kemungkinan untuk kembali bertarung pada pemilihan legislatif periode mendatang.
Kedaulatan Kosong
Terlepas dari pro-kontra itu, jawaban yang seringkali muncul di ruang-ruang diskusi ialah rakyat memang menentukan demikian. Jawaban ini terkesan substantif karena rakyat didaulat sebagai pemilik kekuasaan.
Akan tetapi glorifikasi dan sanjungan itu justru membutakan mata sekaligus membuat rakyat jumawa. Rakyat kelihatannya terkesima dan merasa berhak memilih siapapun yang dikehendakinya.
Tanpa disadari rakyat lupa bersikap kritis dan adil perihal pemberian mandat.
Fenomena ini menjadi tanda rakyat belum sepenuhnya memegang kendali atas kedaulatannya. Di satu sisi rakyat menyadari diri sebagai pemberi mandat, akan tetapi rakyat lupa memberi batasan pada penerima mandat.
Rakyat perlu disadarkan untuk mengendalikan mandatnya secara penuh. Selain jumawa, rakyat cenderung fanatik kepada anggota legislatif tertentu.
Mudah dihasut dan gampang percaya pada taktik pelangg ngan kekuasaan. Tesis ini beralasan karena beragam diskusi menyoal masa jabatan legislatif, selalu akan dijawab dengan perkataan rakyat
yang menentukan.
Kata-kata ini otomatis menjadi partisi yang membatasi terbukanya ruang diskusi terkait masa jabatan anggota legislatif.
Pembungkaman ini serta merta ikut mengalihkan isu regenerasi parlemen dan asas keadilan menjadi sekadar isu kedaulatan rakyat.
Karena itu apabila ada anggota legislatif menjabat lima periode, maka kebanyakan orang akan menganggap rakyat menghendakinya. Dengan itu tidak ada lagi kemungkinan menyoal masa jabatan anggota legislatif.
Penegasan kedaulatan berada di tangan rakyat benar adanya. Hanya saja bila dicermati penegasan itu kosong dan semu. Kedaulatan demokratis yang ditahktakan pada rakyat ternyata menyesatkan nalar.
Rakyat seolah diberi pakaian kemuliaan akan tetapi sebenarnya suatu pembodohan. Pasalnya, kedaulatan yang disematkan itu dibangun pada fondasi deterministik. Yaitu sebuah pengkondisian yang mengarahkan rakyat untuk memberi mandat pada apa yang telah ditentukan.
Karena itu dalang utamanya bukan rakyat tetapi para kandidat dan partai pengusungnya. Seharusnya selaku pemegang mandat, posisi aktif sebagai dalang diperankan dari, oleh dan untuk rakyat.
Akan tetapi karena telah diambil-alih maka terjadi pemangkasan peran. Unsur dari dan oleh rakyat ditiadakan. Konsekuensinya rakyat hanya diberi doktrin demokrasi bahwa keterlibatan memilih pemimpin adalah kewajiban. Dengan doktrin itu rakyat lalu disodorkan sederetan nama hasil seleksi partai untuk dicoblos.
Inilah determinisme yang dialami rakyat. Mereka dikondisikan untuk memilih apa yang telah disediakan. Conditioning itu secara sugestif dirumuskan dalam narasi etis dan santun. Dan seruan itu terlontar lewat ucapan menolak golput (tidak ikut memilih).
Ungkapan ini secara metaforis menjadi tanda yang memperlihatkan adanya mekanisme politik dibalik proses penjaringan kandidat pemimpin. Dan untuk mendukung mekanisme itu masyarakat cukup diberi mantra moral untuk memilih pemimpin yang telah ditentukan. Kenyataan ini menjadi tanda kedaulatan rakyat sedang dipangkas.
Pengebirian kedaulatan rakyat perlu dipulihkan kembali. Sanjungan yang seolah mengangkat harkat dan menjunjung kedaulatan rakyat perlu dikoreksi.
Karena rakyat hanya diberi label pemberi mandat, tapi dalam praksisnya diposisikan secara pasif. Hal itu terjadi karena rakyat hanya diberi sederetan profil kandidat pemimpin untuk dipilih. Itu berarti prinsip aktifnya justru ada pada pihak kandidat dan partai pengusungnya.
Mereka itulah inisiator dan elemen aktif terselenggarannya proses pemberian mandat (Pemilu). Rakyat secara pasif dikondisikan untuk wajib memilih. Upaya pemulihan kedaulatan rakyat dapat digagas melalui dua cara.
Pertama, partai pengusung mesti mempermudah proses rekrutmen calon anggota legislatif. Tujuannya agar lebih banyak bermunculan calon pemimpin dengan ide pembangunan yang baik.
Sebab ada keyakinan, proses rekrutmen yang mudah akan mendorong semakin banyak keterlibatan. Sebaliknya semakin sulit sebuah proses akan menghambat keterlibatan.
Usulan ini terutama ditujukan kepada partai-partai besar/pemenang Pemilu. Pada partai-partai besar dan mapan ini ada akses dan logistik politik memadai. Mereka memiliki legal standing yang kokoh. Akan tetapi pengalaman mengatakan rekrutmen politiknya sangat rumit.
Walhasil banyak calon legislatif memilih bertarung lewat partai-partai baru yang bahkan belum lolos standar parliamentary threshold. Konsekuensinya banyak suara rakyat terbuang sia-sia.
Kedua, ongkos politik terlampau mahal. Karena itu hanya mereka yang memiliki modal operasional yang akan bertarung di gelanggang politik. Dan kebanyakan mereka adalah para legislatif pertahana. Mereka memiliki kesiapan secara finansial dan basis masa yang kuat.
Karena itu secara kelengkapan para legislatif pertahana lebih siap untuk dicalonkan mewakili daerah pemilihan tertentu. Ongkos politik yang mahal mesti dipikirkan kembali terutama oleh partai pengusung.
Rakyat pun mesti membiasakan diri untuk memilih pemimpin bukan karena imbalan finansial. Tujuannya agar regenerasi di parlemen dapat terwujud.
Kehendak Kuasa
Kedaulatan rakyat dapat dipulihkan lewat sikap patriotisme dan demokratis para legislatif pertahana. Mereka mesti berani mengatakan cukup pada hasrat dan kehendak kuasa untuk memimpin. Selama kehendak kuasa itu tidak diberi batasan maka yang ada hanyalah monopoli dan keserakahan.
Tentu tidak dipungkiri ada kualitas pelayanan anggota legisatif. Kualitas itulah alasan mengapa mereka terus dipilih. Akan tetapi kualitas itu mesti menjelma menjadi watak.
Seorang pemimpin mesti menumbuhkan di dalam dirinya jiwa demokratis dan semangat untuk bertindak adil.
Bila watak itu diupayakan maka niscaya akan muncul keutamaan toleran terhadap kaderisasi di parlemen. Henri Bergson memiliki definisi waktu yang kirannya dapat dijadikan sebagai inspirasi.
Komparasi antara masa jabatan anggota legislatif dengan pengertian waktu menurut Bergson menarik untuk dipadukan.
Tujuannya untuk menyadari bahwa pembatasan masa jabatan lebih dipandang objektif ketimbang pelanggengan kekuasaan untuk masa jabatan yang panjang.
Menurut Henri Bergson, ada dua pengertian waktu. Pertama Temps dari kata bahasa Prancis. (Tempus = waktu).
Definisi ini kenal dengan istilah waktu yang dipahami dalam kaitan dengan ruang. Karena itu bisa dihitung. Cirinya kuantitatif dan bisa dijumlahkan.
Secara abstrak wujud temps dapat diumpamakan sebagai sebuah garis tak terbatas yang tersusun dari banyak titik-titik. Dan titik-titik itu berdiri terpisah satu dengan yang lain. Karena keterpisahan itu maka tempus bisa dihitung, diukur dan dibagi-bagi.
Waktu dalam pengertian temps inilah yang dipelajari dalam ruang ilmu pengetahuan karena bersifat objektif (Bertens 2001).
Dalam kaitan dengan jabatan anggota legislatif, masa bakti yang objektif menurut perspektif Bergson adalah waktu/masa jabatan yang terputus-putus.
Itu berarti periodisasi perlu dibatasi. Dan titik-titik yang membentuk garis lurus dalam ilustrasi di atas bisa ditafsirkan sebagai suksesi para legislator berbeda. Secara berkesinambungan mereka berpartisipasi membangun peradaban hidup masyarakat.
Singkatnya, masa jabatan anggota legislatif perlu dibatasi tegas. Tentang berapa jumlah persisnya perlu diputuskan bersama.
Kedua, Duree (Inggris; duration/durasi). Kata ini tidak mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi meski ada kerumitan itu duree bisa diartikan sebagai lamanya/bentangan (Bertens 2001).
Maka waktu dalam pengertian duree berarti suatu bentangan panjang tak terputuskan. Suatu garis tunggal panjang tanpa situasi jedah. Bergson memberi keterangan bahwa duree bersifat subjektif-psikologis.
Karena ada subjektivitas itu maka duree tidak bisa dikuantifisir. Waktu sebagai untaian panjang dan tak terbagi mengalir dari kehendak subjek.
Apabila duree digunakan untuk membaca fenomena masa jabatan anggota legislatif, maka masa bakti yang panjang tidak merepresentasi objektivitas.
Sebaliknya durasi pelayanan yang panjang adalah luapan yang keluar dari kehendak subjek. Itu berarti sebaik apapun pelayanan anggota legislatif, tidak ada alasan baginya untuk memperpanjang masa jabatan.
Sebab motor yang menggerakkanya adalah kehendak kuasa pribadi. Maka objektivitas dan kualitas pelayanan yang digaungkan anggota legislatif, menurut perspektif duree, hanyalah kehendak subjektif untuk melanggengkan kekuasaan.
Dengan demikian, uraian di atas adalah ajakan untuk menyoal masa jabatan anggota legislatif.
Perlu ada pembatasan masa bakti anggota legislatif di parlemen. Tujuannya agar kaderisasi di parlemen dapat terwujud dan menghadirkan asas keadilan bagi semua kalangan.
Sambil menunggu ditetapkannya produk hukum yang mengatur batas masa jabatan, setiap anggota DPR harus mampu membatasi kehendak kuasannya.
Anggota legislatif mesti toleran dan berani menjawab cukup untuk pelayanan di parlemen. Dengan menghidupkan keutamaan demikian maka kedaulatan rakyat perlahan ikut dipulihkan. (*)
Opini: Green Chemistry, Solusi Praktis Melawan Krisis Lingkungan di NTT |
![]() |
---|
Opini - Drama Penonaktifan Anggota DPR: Siapa yang Sebenarnya Berkuasa, Rakyat atau Partai? |
![]() |
---|
Opini: Anomali Tunjangan Pajak DPR RI, Sebuah Refleksi Keadilan Fiskal |
![]() |
---|
Opini: Paracetamol Publik Menyembuhkan Demam Bukan Penyakit |
![]() |
---|
Opini: Pendidikan Generasi Muda Indonesia Berciri Kalos Kagathos Menurut Konsep Paidea Plato |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.