Pemilu 2024
Mundurnya Ratu Wulla Mengurangi Keterwakilan 30 Persen Perempuan di DPR RI
Cita-cita untuk menempatkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di Dewan Perwakilan Rakyat masih jauh panggang dari api.
Akibatnya, caleg-caleg harus berinovasi dalam memengaruhi pilihan pemilih. Caleg perempuan yang tidak kuat modal finansial dan modal sosial akhirnya tersisih oleh caleg yang punya modal kuat. Padahal, caleg perempuan yang memulai karier politik dari nol sering kali tidak punya modal finansial yang kuat.
”Saya pun akhirnya juga harus makan tabungan, bahkan defisit, karena harus lebih sering turun ke pemilih. Tanpa kedekatan yang kuat dengan konstituen, pemilih akan lebih mengutamakan caleg yang memberikan uang,” katanya saat dihubungi, Selasa (26/3/2024).
Menurut Nurul, diperlukan kebijakan yang lebih afirmatif kepada perempuan agar bisa mengantarkan minimal 30 persen perempuan di DPR. Sistem proporsional daftar terbuka yang berlaku dalam empat kali pemilu terakhir terbukti tidak mampu mengantarkan keterwakilan perempuan yang memadai di parlemen.
Oleh karena itu, ia mengusulkan agar Indonesia menerapkan mixed-member proportional agar mampu menghadirkan keterwakilan perempuan 30 persen di parlemen. Caleg perempuan harus diberi kuota khusus sehingga representasinya memadai.
Lebih jauh, lanjut Nurul, anggota DPR perempuan mesti lebih meneguhkan kehadirannya di parlemen. Mereka mesti hadir dalam rapat-rapat dan aktif menyuarakan kepentingan rakyat. Meskipun jumlahnya sedikit, suara yang vokal dari sebagian anggota DPR perempuan bisa berdampak besar.
”Angka tidak selalu menjadi penentu. Meskipun jumlahnya sedikit, tapi vokal menyuarakan kepentingan rakyat, akan sangat efektif di parlemen. Tetapi, sekalipun jumlahnya besar, tapi tidak bersuara, maka angka itu tidak berarti apa-apa,” katanya.
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, ekosistem politik di Indonesia membuat perempuan sulit meningkatkan keterpilihan secara signifikan. Politik yang mahal dan berbiaya tinggi, persaingan ketat caleg internal dan caleg antarpartai, praktik jual beli suara yang masif, wilayah cakupan dapil yang luas, serta adanya pemilih yang belum terbuka terhadap kepemimpinan perempuan membuat peluang keterpilihan kaum hawa rendah.
”Ditambah lagi partai tidak optimal memberikan pengawalan, pendampingan, dan dukungan memadai bagi kerja-kerja pemenangan yang dilakukan caleg perempuan,” ujarnya.
Akibatnya, konfigurasi caleg perempuan yang menduduki kursi DPR akan tetap sama seperti di periode sebelumnya. Caleg perempuan berlatar belakang pengusaha, pesohor, dan bagian dari politik dinasti memiliki potensi besar untuk lolos. Sebab, kekuatan modal kapital dan jejaring sosial di daerah sangat menentukan keterpilihan.
Menurut Titi, masih rendahnya persentase keterwakilan perempuan di DPR dapat berdampak pada sulitnya menghadirkan kebijakan yang inklusif dan ramah hak-hak perempuan. Caleg perempuan dengan persentase stagnan harus bekerja lebih keras untuk memberikan advokasi tentang isu dan kebijakan yang berpihak pada perempuan.
”Pada akhirnya, bukan tidak mungkin akan makin sulit bagi perempuan Indonesia untuk mencapai keadilan dan kesetaraan jender dalam lingkungan politik dan publik,” katanya.
Di sisi lain, dapil tanpa keterwakilan perempuan bisa menjadi contoh pendidikan politik yang buruk bagi pemilih. Isu perempuan makin sulit diperjuangkan dan bisa dianggap bukan prioritas bagi para wakil rakyat.
(kompas.id)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.