Opini
Opini: Melihat Proses Rekrutmen Politik dalam Pemilu AS
Seorang bakal calon presiden dari Partai Republik membutuhkan minimal 1.215 delegasi untuk bisa dinobatkan sebagai calon presiden.
Hampir tak ada upaya untuk merendahkan suara publik ketika seorang calon kalah, kecuali Donald Trump.
Tapi dalam kasus Donald Trump sendiri sebenarnya ada faksi-faksi dalam tubuh Partai Republik yang tak berpandangan sama dengan Trump, terutama karena pendekatan yang memecah belah bangsa dan kecenderungan dirinya untuk otoriter.
Uniknya, para pemimpin Republik yang bersuara lain dengan Trump itu tetap menghormati suara rakyat yang memilih Trump. Mereka tak mau terbuka menentang Trump, karena ingin menghormati pilihan rakyat.
Orang-orang yang dahulu mendampingi dan kemudian menyeberang dengan Trump seperti John Bolton yang mantan duta besar AS untuk PBB pun nyaris tak berbalik menyerang orang yang dulu satu perahu dengan mereka.
Bukan hanya karena soal etika, tapi juga demi menghormati rakyat yang memilih Trump. Demokrasi pun menjadi benar-benar dipahami sebagai dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.
Memang tak perlu meniru sistem politik yang dianut dan diterapkan sebuah negara, karena karakteristik dan kemampuan nasional masing-masing negara berbeda. Tetapi menarik pelajaran baik dari tatanan manapun adalah hal yang tidak salah.
Apalagi jika pelajaran baik itu adalah tentang rekrutmen politik yang transparan dan meninggikan rekam jejak, serta proses politik yang menghormati suara dan pilihan rakyat dalam kaitannya dengan siapa yang paling banyak mendapatkan dukungan rakyat.
Dengan semua hal itu, semua elemen bangsa, khususnya antara elite politik dan pemilih, justru terlihat berkomitmen saling mendewasakan diri dalam proses rekrutmen politik.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.