Opini

Empati dan Toleransi Beragama Ala Soedjatmoko

Nurani bangsa yang tertuang dalam Pancasila mesti menjadi pedoman bersama, entah dalam bertindak maupun dalam berpikir sebagai bangsa.

|
Editor: Dion DB Putra
unsplash
Ilustrasi. 

Oleh: Kris Ibu
Tinggal di Paroki Ponu, Kefamenanu

POS-KUPANG.COM - Di tengah kontestasi Pemilu 2024 yang riuh, penulis tertarik dengan hadirnya Gerakan Nurani Bangsa (GNB). Gerakan ini diinisiasi tokoh-tokoh bangsa seperti Ibu Sinta Nuriyah Wahid, Profesor Quraish Shihab, Kardinal Ignasius Suharyo, Romo Franz Magnis Suseno, Karlina Supelli, Pendeta Gomar Gultom, Komarudin Hidayat, dan lain-lain.

Mereka merasa terpanggil mencemplungkan diri dalam persoalan bangsa yang tidak baik-baik saja hari-hari ini: etika yang dilanggar demi mencapai kekuasaan, Presiden yang menjadi politisi, monopoli bantuan sosial.

Dengan berbagai macam dinamika persoalan yang melanda bangsa kita ini, para sesepuh bangsa hadir untuk mengingatkan kembali akan nilai luhur bangsa yang tertuang dalam Pancasila.

Bagi mereka, Nurani bangsa yang tertuang dalam Pancasila mesti menjadi pedoman bersama, entah dalam bertindak maupun dalam berpikir sebagai bangsa.

Jika GNB hadir untuk mengedepankan nurani kebangsaan dan pentingnya pemimpin bangsa yang memiliki visi kebangsaan yang menjunjung tinggi kemaslahatan bersama, penulis lebih melihat bersatunya para sesepuh bangsa dari sudut pandang empati dan toleransi beragama.

Artinya, artikel ini hendak membincangkan salah satu unsur keberagaman di Indonesia, yakni agama dengan mengedepankan empati dan toleransi.

Bagi penulis, bersatunya para sesepuh bangsa dari berbagai latar belakang agama ini hendak menyiratkan satu pesan penting perihal nilai-nilai kebangsaan yang mesti menjadi napas bersama, melampaui sekat agama.

Pertanyaannya, mengapa mesti agama dan bukan isu lain yang diangkat? Bagi penulis, agama selalu menjadi isu yang seksi di Indonesia.

Kita lihat saja fenomena beberapa waktu lalu (bisa juga masih sampai saat in) di mana kasus intoleransi makin merebak di tanah air kita. Di mana-mana terjadi pelecehan terhadap manusia karena sebuah alasan mendasar: berbeda agama.

Agama yang satu memproklamirkan kebenaran tunggal agamanya serentak memaksa penganut agama lain untuk mengimani hal yang sama. Atau, agama yang satu melabeli ‘najis’ atau ‘kafir’ agama yang lain karena tidak sesuai dengan ajaran imannya.
Dengan dalil kebenaran yang dianut mayoritas, kaum minoritas dipersekusi. Dari sini dapat dibaca bahwa seolah-olah doktrin agama tertentu lebih baik dibanding agama yang lain. Ini merupakan bentuk intoleransi yang menegasikan wajah keberagaman Indonesia.

Tulisan ini hendak merumuskan sebuah ikhtiar demi membingkai perbedaan agama, yakni dialog kehidupan. Pada titik ini, sumbangan pemikiran Soedjatmoko perihal empati dan toleransi menjadi berkonteks dan relevan.

Status quetionis-nya adalah apa persisnya empati dan toleransi yang ditawarkan Soedjatmoko demi terciptanya dialog kehidupan di Indonesia? Kerangka berpikir Soedjatmoko perihal empati dan toleransi dipakai sebagai solusi dan tawaran mendesak demi terciptanya dialog kehidupan dalam rumah bersama kita Indonesia.

Indonesia dan Wajah Keberagamannya

Indonesia adalah sebuah negara dengan latar belakang yang unik. Selain dianggap sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dikenal sebagai negara dengan keanekaragaman suku bangsa, ras, bahasa, adat istiadat, agama, dan lain sebagainya.

Keanekaragaman ini menampilkan ‘wajah ganda’: mengandung potensi, serentak tantangan. Pertama, potensi. Keanekaragaman ini merupakan potensi karena pada titik inilah bangsa Indonesia memiliki kekayaan yang melimpah akan budaya dan dapat menjadikan Indonesia sebagai negara yang khas akan keberagamannya.

Negara yang bhineka tunggal ika. Kekhasan ini apabila dirajut dalam suasana rukun dan adem dari hari ke hari, akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang cinta damai. Ibarat mozaik, Indonesia menjadi indah karena dihiasi oleh beragam warna.

Dengan kesadaran akan potensi ini, Indonesia sebagai sebuah nation-state, memiliki kesadaran bersama tentang masa depan bangsa Indonesia yang memegang teguh komitmen akan kesejahteraan bersama (bonum commune).

Konsekuensi logisnya, untuk mewujudkan negara demokratis yang menjunjung tinggi keanekaragaman dengan tujuan kesejahteraan bersama, dibutuhkan kemauan bersama dari setiap individu warga negara.

Kemauan bersama (general will) yang dipahami di sini adalah dasar dan hakikat untuk menata diri secara politis demi perwujudan nilai-nilai kebaikan bersama (bonum commune/common good).

Singkatnya, setiap ‘kemauan politik’ hanya dapat terwujud dengan baik, apabila dilandasi atau digerakkan oleh ‘kemauan bersama’ yang baik dari semua warga negara (Felix Baghi: 2009, hlm. x).

Kedua, tantangan. Tak dapat dimungkiri, meski keanekaragaman dapat menjadikan Indonesia sebagai negara yang indah, keanekaragaman ini mengandung tantangan yang sesewaktu dapat memecah-belah bangsa kita.

Kita bisa saksikan bersama fenomena yang menyeruak akhir-akhir ini di mana bertumbuh-suburnya perasaan sukuisme, tirani agama mayoritas, pengkotak-kotakan tempat tinggal berdasarkan ras, dan masih banyak lagi.

Ada banyak contoh mengenai hal ini, salah satunya kontestasi Pilgub Jakarta 2017. Di sana ada kecemburuan sosial, banyak orang memelintir isu agama dan politik sedemikian rupa sehingga timbul kebencian dari satu pihak ke pihak lainnya (politisasi agama dan agamaisasi politik), adanya pelabelan kepada etnis tertentu, dan masih banyak lagi.

Konsekuensi lanjut adalah terjadinya gesekan dan ‘saling sikut’ antarwarga negara, khususnya pada tingkat ‘akar rumput’. Keberagaman yang sepatutnya dirayakan, diabaikan karena melecehkan kemanusiaan.

Manusia Indonesia, menyitir Felix Baghi, sepatutnya menyadari keberagaman yang ditandai dengan perbedaan ini merupakan sebuah fakta niscaya yang tidak dapat disangkal; sebuah fakta yang mesti disyukuri. Kemajemukan ini seyogianya tidak menjadi alasan untuk melanggengkan diskriminasi (ibid., hlm. xi).

Diskursus Agama di Indonesia

Diskursus mengenai agama selalu menjadi isu yang sexi ketika kita membincangkan keberagaman di Indonesia. Beberapa agama besar sudah “direstui” di Indonesia, seperti Islam, Kristen, dan sebagainya.

Dengan alasan perbedaan agama ini, Indonesia membutuhkan tali perekat bersama agar tidak terjadi gesekan di antara penganut agama yang berbeda. Atau, tali silahturahmi dibutuhkan demi merajut persaudaraan.

Kita bersyukur terbentuknya kelompok-kelompok dialog lintas-agama, seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Gerakan Nurani Bangsa (GNB) membantu setiap manusia Indonesia untuk melihat lebih jauh betapa perbedaan mesti dirayakan bersama. Dengan perkataan lain, meski berbeda, kita mesti tetap merajut persaudaraan.

Rajutan persaudaraan antaragama ini mendesak karena negeri kita adalah sebuah negeri yang memandang agama sebagai hal yang penting dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti dirilis pada tahun 2015 oleh Pew Research Center (sebuah lembaga survei internasional di Amerika) Indonesia menempati posisi ketiga yang mengakui bahwa agama adalah hal yang urgen dalam kehidupan sehari-hari di antara berbagai negara di dunia (Gaya Nusantara: 2020, hal. 3).

Meski demikian, muncul juga berbagai kisah pilu yang menggores bahkan melukai spirit keberagaman itu sendiri. Religiositas masyarakat Indonesia kerap kali salah kaprah dan berakibat pada terabainya nilai kemanusiaan.

Atas nama doktrin atau kebenaran tunggal agama tertentu, sebagian kelompok cenderung diintimidasi atau ditindas (ibid.) Kehadiran kelompok agama lain dianggap sebagai ancaman dan oleh karenanya pelabelan kafir bagi kelompok yang berbeda dengan saya adalah sebuah hal yang lumrah terjadi.

“Saya, ya saya; anda, ya anda.” Ada semacam demarkasi yang tegas antara “agama saya dan agama anda”.

Bahkan, isu diskriminasi dan intoleransi dalam hal agama bertumbuh subur ketika pandemi Covid-19 melanda negeri ini. Pada 6 April 2021, SETARA Institute merilis data kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia Tahun 2020.

Salah satu temuan kunci yang dirilis SETARA Institute, yakni sepanjang 2020, terjadi 180 peristiwa pelanggaran KBB di Indonesia, dengan 422 tindakan yang terjadi.

“Dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah peristiwa menurun tipis, yang mana pada 2019 terjadi 200 peristiwa pelanggaran KBB, namun dari sisi tindakan melonjak tajam dibandingkan sebelumnya yang ‘hanya’ 327 pelanggaran.”

Kita lihat sebuah ironi di sini. Agama yang mengajarkan cinta kasih dan persaudaraan justru mengingkari dirinya sendiri, merobek keindahan tersebut akibat ulah para penganut yang tidak memiliki keluasa berpikir.

Idealnya, setiap agama dituntut menerjemahkan doktrin keagamaannya ke dalam konteks ruang publik. Di ruang publik inilah, cinta kasih dan persaudaraan dijunjung tinggi. Inilah tanda toleransi yang ideal; tanda kesosialan manusia diamalkan.

Dengan perkataan lain, privatisasi kesalehan yang menjadi karakter orang beragama mesti bertransformasi menjadi kesalehan publik. Doa dan praktik keagamaan mesti berdampak pada kualitas moralitas publik.

Doa bukan sekadar praktik formal-ritual yang steril terhadap masalah sosial. Agama harus melampaui kesalehan privat dan menjadi sumber inspirasi dalam mengatasi masalah-masalah etika, sosial dan moral yang mendera bangsa (Otto Gusti, Media Indonesia, 11/10/17).

Empati dan Toleransi: Kekuatan Dialog

Di tengah carut-marutnya perwujudan nilai-nilai agama dalam ruang publik ini, kita membutuhkan dialog kehidupan.

Dialog ini tidak hanya terjadi dalam bentuk dialog intelektual seperti pada lembaga-lembaga formal (misalnya FKUB) atau Gerakan Nurani Bangsa (GNB) yang diinisiasi para sesepuh bangsa kita, melainkan mesti sampai pada taraf ‘akar rumput’. Dialog kehidupan mesti menyentuh realitas masyarakat.

Dialog ini akan membentuk sebuah kesadaran bersama akan pentingnya hidup rukun dan damai di tengah keberagaman agama. Dengan demikian, setiap orang menyadari bahwa “yang lain” merupakan individu otonom yang khas dengan perbedaan apapun yang mereka anut.

Untuk sampai pada tahap dialog kehidupan, pemikiran Soedjatmoko, politisi cum intelektual Indonesia, menjadi penting untuk dikaji perihal empati dan toleransi. Soedjatmoko menganjurkan agar setiap orang mesti memiliki sebuah proyeksi imajinatif yang memungkinkan seseorang untuk masuk ke dalam kehidupan orang lain.

Dengan itu, setiap manusia Indonesia memiliki kesadaran bersama demi terciptanya kehidupan yang harmonis. Soedjatmoko menegaskan, “The projection of our own imagination into the experience of others breeds an awareness of the commonaiity of human experience and aspirations” (Soedjatmoko: 1986, hlm. 2). Dengan proyeksi imajinatif itu, seseorang mencemplungkan dirinya dalam empati dan toleransi bagi orang lain.

Menurut Soedjatmoko, empati adalah elan atau kekuatan vital yang mesti dimiliki oleh setiap orang untuk memahami dan mengakui perbedaan orang lain.

Dengan lain perkataan, empati adalah daya hidup yang memampukan perjumpaan “muka dengan muka”. Tanpa kualitas empati, lanjut Soedjatmoko, tidak ada tali perekat bersama untuk yang mengikat tali persaudaraan dan silahtirahmi. Sebab, empati adalah “bahan baku pembangunan bangsa” (Bdk. ibid).

Dengan kekuatan empati yang dianjurkan Soedjatmoko, seseorang sampai pada tahap kecakapan menjangkau orang lain. Konsekuensi etisnya, empati memampukan setiap orang untuk terlibat dalam hidup orang lain di dalamnya seseorang mampu menangkap ‘makna’ dari setiap perjumpaan.

Sementara toleransi, dalam pandangan Soedjatmoko, mesti sampai pada tahap pengakuan akan perbedaan yang dimiliki orang lain. Itu artinya, perbedaan dalam diri orang lain bukan hanya dilihat sebagai perbedaan yang terberi atau an sich, tetapi juga mengakui bahwa orang perbedaan adalah suatu rahmat yang mesti disyukuri.

Dengan kata lain, toleransi terjadi tidak hanya mengandalkan konsep bahwa orang lain berbeda, tetapi mengakui kekhasan mereka. Soedjatmoko menegaskan, “Tolerance is the recognition of the validity of difference, and as such it is the foundation of peaceful relations within and among nations” (ibid).

Hemat penulis, dua komponen ini (empati dan toleransi) merupakan sumbangan pemikiran yang penting dan berharga bagi terwujudnya dialog kehidupan di Indonesia.

Apabila sumbangan ini ditempatkan dalam konteks perbedaan agama, empati dan toleransi yang dianjurkan Soedjatmoko memungkinkan seseorang melihat perbedaan agama orang lain sebagai sebuah anugerah yang patut disyukuri.

Bahwasanya, setiap orang dengan kebebasan dalam dirinya berhak berbeda dalam menganut agama tertentu dan perbedaan tersebut dilihat sebagai “berbeda dalam menyembah Allah yang sama”.

Singkatnya, empati dan toleransi yang dianjurkan Soedjamoko membuka horizon pemikiran setiap manusia Indonesia untuk menyadari orang lain adalah “wajah saya yang lain” dan karena itu patut dihargai dan diakui.

Dengan demikian, berdasarkan tawaran Soedjatmoko tentang mendesaknya empati dan toleransi, hemat saya, akan membuka pintu yang lebar bagi terjalinnya dialog kehidupan.

Empati dan dialog adalah kekuatan vital yang mesti dimiliki setiap orang sebelum masuk pada taraf dialog kehidupan. Singkatnya, empati dan toleransi yang digaungkan Soedjatmoko merupakan sumbangan berharga bagi Indonesia.

Akhirnya, selain para sesepuh bangsa yang tergerak melihat persoalan bangsa, setiap manusia Indonesia yang beragama hendaknya menetapkan pentingnya empati dan toleransi.

Dengan itu, dialog kehidupan terjadi mulai dari “para sesepuh” hingga “akar rumput”. Sebagaimana ditegaskan Soedjatmoko, dialog kehidupan akan tercapai apabila didahului empati dan toleransi.*

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved