Nyamuk Wolbachia
Berdasarkan Studi Risiko, Wolbachia Tidak Membuat Nyamuk Semakin Menggigit
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI Imran Pambudi menepis kekhawatiran pasca penyebaran nyamuk Wolbachia.
Tipe kedua adalah ketika nyamuk jantan tanpa Wolbachia kawin dengan nyamuk betina ber-Wolbachia, sehingga menghasilkan nyamuk ber-Wolbachia. Ketiga, terjadi jika nyamuk jantan ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk betina tanpa Wolbachia, sehingga telurnya tidak menetas.
Cara Wolbachia dilakukan dengan menggunakan ember berisi air bersih yang setiap embernya berisi 250 hingga 300 butir telur nyamuk, dengan tingkat penetasan telur sekitar 90 persen. Setiap ember ditempatkan pada jarak 75 meter persegi.
Jumlah ember minimal harus mencapai 10 persen populasi Aedes aegypti di wilayah tersebut, dan pelepasan dilakukan sebanyak 12 kali.
Di Kota Yogyakarta, metode ini telah diterapkan selama lebih dari 10 tahun, dan lebih dari 1,5 juta orang tinggal di daerah yang menjadi tempat terjadinya pelepasan awan nyamuk ber-Wolbachia. Sejauh ini, belum ada bukti ilmiah yang menyatakan metode tersebut berbahaya bagi lingkungan, kesehatan manusia, dan hewan.
Evaluasi dan penelitian risiko juga telah dilakukan, yang hasilnya menunjukkan bahwa metode dan manfaat Wolbachia dapat diperluas untuk membantu melindungi jutaan orang di Indonesia dari demam berdarah.
Keamanan
Berdasarkan penelitian dan hasil yang menjanjikan tersebut, Kementerian Kesehatan kemudian menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1341 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Pilot Project Pengendalian DBD melalui Wolbachia sebagai salah satu strategi pengendalian yang termasuk dalam strategi nasional pencegahan DBD yang dilaksanakan. di lima kota: Semarang, Jakarta Barat, Bandung, Kupang, dan Bontang.
Kementerian bersama 25 peneliti Indonesia telah memastikan inovasi Wolbachia terbukti aman berdasarkan studi analisis risiko dan hasil uji efektivitas.
Hasil analisis tersebut kemudian dilaporkan ke WHO dan akhirnya pada tahun 2021 metode Wolbachia direkomendasikan oleh WHO.
Peneliti nyamuk ber-Wolbachia di Pusat Pengobatan Tropis UGM, Riris Andono Ahmad, membantah kabar inovasi Wolbachia merupakan hasil rekayasa genetika yang berpotensi memicu munculnya penyakit baru.
Ia yakin inovasi tersebut tidak akan menyebabkan perubahan genetik bakteri Wolbachia pada sel serangga dan nyamuk.
“Analoginya bakteri Wolbachia banyak terdapat pada serangga lalu masuk ke nyamuk Aedes aegypti. Ibarat kita mengonsumsi bakteri, misalnya susu probiotik. Begitu bakteri yang kita minum masuk ke dalam tubuh kita, kita tidak menjadi virus. manusia hasil rekayasa genetika,” jelasnya.
Bakteri tersebut hanya dapat hidup di dalam sel serangga, sehingga jika meninggalkan inangnya pasti akan mati.
Karena hasil yang baik, Kementerian Kesehatan kemudian memutuskan untuk memperluas wilayah pelepasan awan nyamuk ber-Wolbachia ke Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Bontang, dan Kupang.
Meskipun telah menunjukkan hasil yang baik, penerapan metode Wolbachia tetap memerlukan pemantauan dan evaluasi secara berkala untuk melihat kemajuan programnya.
Kementerian Kesehatan telah menerbitkan buku panduan pengendalian DBD di lima kota dengan menggunakan metode Wolbachia untuk memastikan program berjalan dengan baik sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Yogyakarta.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.