Opini
Opini: Kegelisahan Akademik
Opini Arnoldus Nggorong tentang penetapan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej sebagai tersangka dugaan korupsi suap-gratifikasi.
Lebih lanjut, kompas.com juga menulis, Evi Celiyanti, istri Kepala Bareskrim, Komjen Agus Andrianto, turut disoroti warganet setelah foto-fotonya yang diduga jalan-jalan di luar negeri tersebar di media sosial. Evi, sang istri Komjen Agus Andrianto, memamerkan pakaian dan aksesoris dari merek fesyen ternama seperti Gucci, Moncler, Roger Vivier Viv’ Run.
Gegara demonstrasi gaya hidup mewah melalui medsos itu, kata ‘flexing’ pun ikut menjadi viral. Contoh ini sekadar ilustrasi untuk menerangkan gaya hidup mewah, yang dapat saja mendorong orang melaksanakan praktek korupsi.
Kalau menyinggung gaya hidup, dengan sendirinya berada dalam satu garis linear dengan kesenangan. Sebab gaya hidup hanya lahir dari kesenangan. Dengan menyebut kesenangan sama artinya dengan perihal kegemaran, kepuasan, hobi.
Bila berpautan dengan kepuasan, maka siapa pun tidak pernah akan merasa cukup. Persis inilah godaan yang menjerumuskan manusia dalam pusaran korupsi. Sebab dia sudah dikendalikan oleh kesenangan. Dengan kata lain, kesenangan telah dianggap sebagai tujuan hidupnya.
Kesenangan sebagai tujuan hidup menemukan tempatnya dalam ajaran utilitarianisme, sebuah prinsip moral yang menekankan aspek kegunaan, yang diperkenalkan oleh dua filsuf Inggris yakni Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, demikian Yosef Keladu Koten (lihat buku “Menalar Keadilan, 2022).
Jika berhubungan dengan kegunaan, maka hal itu bersentuhan dengan objek, yang dari objek itu menghasilkan keuntungan, manfaat, kesenangan, kebaikan atau kebahagiaan, demikian Bentham.
Maka dari itu, Yosef Keladu Koten menyebut prinsip utilitarian dengan prinsip kegunaan, atau juga prinsip kebahagiaan terbesar atau pun prinsip kesenangan.
Secara naluriah, manusia selalu menginginkan kesenangan dan menafikan penderitaan. John Suart Mill membahasakan kebahagiaan sebagai kesenangan dan tidak adanya penderitaan. Selanjutnya bagi Mill, kesenangan adalah satu-satunya hal yang diinginkan sebagai tujuan, tulis Yosef Keladu Koten.
Bila kesenangan menjadi tujuan hidup, maka penderitaan, yang menghalangi kesenangan, diupayakan sedemikian rupa untuk selalu dihindari. Dalam arti tertentu, kesenangan mengalahkan akal sehat.
Kegelisahan
Bertolak dari fakta di atas, dalam tahun 2023 diketahui 3 profesor yang ‘terpesona’ kasus korupsi (belum termasuk yang belum sempat diketahui, masih laten) seharusnya menjadi kegelisahan semua pihak, pertama dan terutama oleh mereka yang bertumpuk-tumpuk gelar akademik dan mereka yang menentukan kebijakan di bidang pendidikan.
Lebih dari itu, kondisi tersebut pada hakikatnya adalah gugatan terhadap lembaga pendidikan itu sendiri.
Gugatan itu dapat dirumuskan dalam pertanyaan retoris-refleksif berikut: apakah gelar yang disematkan hanya untuk kepentingan diri sendiri (cukup untuk dirinya sendiri), ataukah untuk mendemonstrasikan ‘kehebatan’ diri, atau juga demi popularitas, atau pula untuk mendapat jabatan dan pengaruh? Masih adakah otokritik dalam diri?
Pertanyaan retoris-refleksif selanjutnya, yang mungkin saja tersimpan rapi dalam lubuk hati orang biasa dan sederhana, apakah lembaga pendidikan hanya menghasilkan orang yang pada akhirnya harus mendekam di penjara? Ataukah gelar yang didapat dengan susah payah melalui sekolah bertahun-tahun (minus yang diperoleh dengan cuma-cuma [dengan membeli]) pada ujungnya dibui?
Deretan pertanyaan di atas hanya bisa dijawab oleh yang memiliki gelar tersebut. Siapa pun, termasuk saya, selain si empunya, hanya sebatas pada prasangka.
Sekali lagi, sejumlah pertanyaan di atas tidak dimaksudkan untuk menyerang dan lebih lagi memvonis mereka yang sudah telanjur 'terlena' dalam kasus korupsi. Lalu saya menganggap diri sebagai pihak yang paling berhak menghukum mereka, dan lebih lagi dianggap paling bebas dari godaan-godaan duniawi semacam itu. Lagi-lagi, hal itu jauh dari maksud tulisan ini dan apalagi kompetensi saya. Sebab ada yang lebih berhak yaitu lembaga yudikatif.
Kegelisahan ini muncul karena beberapa alasan yang dirumuskan dalam deretan pertanyaan di atas.
Penutup
Negara Kesatuan Republik Indonesia telah diperjuangkan oleh para pendahulu dengan mempertaruhkan jiwa dan raga. Mereka melepaskan kepentingan diri, hanya, dan sekali lagi hanya, demi mewujudkan Indonesia berdiri sebagai bangsa yang merdeka dan bermartabat.
Mereka pun telah merumuskan dengan begitu indah Pancasila sebagai fondasi dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Dan atas nama seluruh rakyat Indonesia, Soekarno dan Hatta memaklumkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Perilaku korupsi, meski dilakukan secara senyap dan si pelaku berharap tidak diketahui publik, lebih-lebih lagi dilakukan oleh pendidik, adalah bentuk negasi yang paling biadab terhadap Pancasila, UUD 1945, dan para pejuang kemerdekaan NKRI. Sebab korupsi, perlahan namun pasti, pada tingkat yang tidak sanggup lagi ditolerir, membawa kehancuran, mengamini disintegrasi bangsa Indonesia bila tidak dihentikan secara tegas.
Berhadapan dengan kondisi bangsa yang rusak akibat korupsi yang merasuk ke semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara, pertanyaan yang patut diajukan adalah, apakah penyelenggara negara ini khususnya pada pendidik merasa gelisah berhadapan dengan kejahatan korupsi? Pertanyaan lebih lanjut, bila memang mereka merasa gelisah, apakah kegelisahan itu hanya pada tataran retorika? Ataukah kegelisahan itu hanya ungkapan emosional semata, yang dipendam berlaru-larut, seperti orang yang sedang mengalami depresi, tanpa ada upaya-upaya konkret untuk mengatasinya? Mengapa korupsi masih juga terus dilakukan? Jawabannya, hanya mereka sendiri yang tahu!
Sumbangsih yang diminta tidak melebihi batas kemampuan dari si pemberi (tiap warga negara). Berilah, sejauh yang dapat diberikan. Itulah tuntutan etis yang paling sederhana. Bukan mengambil sejauh yang dapat diambil.
(Penulis adalah pegiat sosial, alumni STFK Ledalero, tinggal di Labuan Bajo)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.