Opini

Opini: Kegelisahan Akademik 

Opini Arnoldus Nggorong tentang penetapan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej sebagai tersangka dugaan korupsi suap-gratifikasi.

|
Editor: Agustinus Sape
FOTO PRIBADI
Arnoldus Nggorong menulis opini tentang Kegelisahan Akademik. 

Dengan narasi ini, seharusnya Eddy Hiariej menjadi agen utama dalam memerangi korupsi. Lagi pula korupsi sudah digolongkan dalam kejahatan yang luar biasa karena dampaknya yang masif dan meluas.

Tambahan pula, sekali lagi, Eddy Hiariej sendiri adalah profesor di bidang hukum dan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Bukankah dengan menjadi tersangka kasus korupsi (suap-gratifikasi), Eddy Hiariej sendiri melanggar hukum yang diajarkannya pula? Dirumuskan dengan bahasa sederhana, hukum menjerat profesor hukum.

Dampak korupsi

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dampak korupsi sangat luar biasa bukan hanya bagi si pelaku sendiri atau kelompoknya termasuk keluarganya, tetapi yang jauh lebih luas, adalah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara (tentang korupsi, lihat juga tulisan saya, “Cerita Korupsi yang Tidak Pernah Usai” Pos-kupang.com 2/2/2022).

Dampak yang paling ekstrem, dalam jangka panjang dan sampai pada tingkat yang tidak sanggup lagi ditolerir, adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa ‘bubar’, hanya tinggal nama, tinggal cerita sejarah. 

Sebagai contoh, tentu masih diingat pelajaran sejarah tentang kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Dua kerajaan ini pernah mengalami masa jayanya di bumi Nusantara. Pada level internasional, negara adidaya Uni Soviet, yang pernah ada antara tahun 1922-1991, cuma berumur 69 tahun. Contoh yang disebutkan tadi, kini menjadi bagian dari sejarah masa lalu, yang hanya sekadar dikenang. Meski mungkin saja contoh yang disebutkan tadi sedikit berlebihan, namun dapat dijadikan pembelajaran yang baik.

Bukankah VOC, perusahaan dagang milik kolonial Belanda, bangkrut dan akhirnya bubar karena hanya, sekali lagi hanya, karena korupsi yang merajalela?

Gus Dur juga membubarkan Departemen Penerangan, justru, karena korupsi yang sudah beternak di tubuh lembaga itu. Ini cuma contoh.

Untuk kepentingan tulisan ini, saya hanya menyebutkan beberapa segi sebagai dampak korupsi. Dilihat dari aspek kesejahteraan, korupsi menyebabkan cita-cita kesejahteraan rakyat sebagai imperatif konstitutif yang bersifat wajib yang tertuang dalam UUD 1945 menjadi tidak maksimal diperjuangkan jika tidak hendak mengatakan upaya yang sia-sia.

Dalam sudut pandang sumber keuangan, uang yang dikorup itu adalah uang negara, yang diperoleh dari setoran pajak seluruh rakyat. Uang itu didapat rakyat melalui keringat dan darah. Dan/atau juga uang yang ditilep itu dari pinjaman negara dengan mengatasnamakan rakyat Indonesia, bukan atas nama pribadi atau kelompok tertentu.

Korupsi menodai pengorbanan rakyat yang menyetor pajak ke negara, yang mungkin saja karena terpaksa, termasuk di dalamnya menanggung cicilan utang negara.

Diteropong dari sisi karakter, perbuatan ini memberikan keteladanan yang paling buruk bagi generasi berikutnya, sekaligus menjadi ancaman serius terhadap pendidikan karakter.

Itu pun bila semua pihak terutama Pemerintah dan lebih-lebih lagi institusi pendidikan masih melihat korupsi sebagai ancaman (‘musuh’ bersama). (lihat pula tulisan saya, “Pendidikan Karakter Minus Keteladanan”, pos-kupang.com 4/3/2022).

Ditilik dari segi moral-religius, tindakan ini di dalam dirinya sendiri adalah jahat, dengan sendirinya melawan nurani, bertentangan dengan ajaran-ajaran agama mana pun di dunia ini.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved