Opini
Opini: Kegelisahan Akademik
Opini Arnoldus Nggorong tentang penetapan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej sebagai tersangka dugaan korupsi suap-gratifikasi.
Oleh: Arnoldus Nggorong
POS-KUPANG.COM - Belum lama ini, dunia akademik dikejutkan (seolah tidak percaya) dengan penetapan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, yang lebih dikenal dengan Eddy Hiariej, sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap-gratifikasi. Dia diduga memperdagangkan kewenangannya dalam sengketa kepemilikan saham PT Citra Lampia Mandiri, perusahaan pemilik konsesi 2.000 hektare tambang nikel di Luwu Timur, Sulawesi Selatan (tempo.co 10/11/2023).
Kasus tersebut dilaporkan ke KPK oleh Ketua Indonesia Police Watch (ICW), Sugeng Teguh Santoso, pada pertengahan Maret lalu. Eddy Hiariej diduga menerima gratifikasi sebesar Rp 7 miliar (cnnindonesia.com 9/11/2023).
Dikatakan mengejutkan (heran, aneh) karena pertama, Eddy Hiariej, sesungguhnya, adalah seorang akademisi yang menyandang gelar doktor dan professor Ilmu Hukum Pidana di Fakultas Hukum UGM.
Jika ditulis secara lengkap nama dan gelarnya sebagai berikut: Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej,S.H., M.Hum. Gelar-gelar akademik itu berjejer apik baik di depan maupun di belakang nama Eddy Hiariej.
Profesor adalah pangkat dosen tertinggi di perguruan tinggi, yang juga disebut mahaguru. Doktor merupakan gelar kesarjanaan tertinggi yang diberikan oleh perguruan tinggi kepada seorang sarjana yang telah menulis dan mempertahankan disertasinya dalam sidang promosi (lihat KBBI). Tidak ada lagi pangkat dan gelar di bidang pendidikan yang lebih tinggi dari itu.
Yang mengagumkan adalah pangkat yang prestisius dan gelar akademis tertinggi ini diraihnya dalam usia yang relatif muda. Gelar doktor dicapainya pada tahun 2009. Gelar profesor digapainya pada umur 37 tahun, tepatnya pada tahun 2010. Jabatan wakil menteri itu diperolehnya 10 tahun kemudian, setelah dilantik oleh Presiden Jokowi pada 23 Desember 2020.
Namanya menjadi sangat dikenal ketika Eddy Hiariej tampil menjadi saksi ahli bagi pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dalam sengketa hasil Pemilihan Presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi.
Pada waktu itu, Eddy Hiariej menunjukkan kamampuannya yang luar biasa dengan argumen-argemen yang brilian meski dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan menohok dan tajam para saksi ahli dari tim Prabowo-Sandi.
Mungkin saja karena jasanya itu, Presiden Jokowi memberi kepercayaan kepada Eddy Hiariej untuk menempati kursi Wamenkumham.
Baca juga: Opini Yoss Gerard Lema: Melukis Johny dan Nono di Puncak ‘Kemarau Kepemimpinan’
Dalam konteks ini teori balas jasa menemukan pengejawantahannya secara murni dan konsekuen. Namun ini cuma sekadar dugaan. Sebab yang paling tahu hanya Presiden Jokowi sendiri.
Kedua, bila menelusuri jejak karier dan prestasinya (dapat ditelusuri dalam jejak digital), dalam perspektif warga masyarakat biasa dan sederhana, kasus suap dan gratifikasi yang menjerat seorang Eddy Hiariej adalah hal yang tidak mungkin terjadi.
Sebab kapabilitas dan kompetensi keilmuan yang dimilikinya, secara teoretis, membuat Eddy Hiariej bukan hanya sekadar tahu, tetapi sangat mengerti dan memahami bahwa kasus suap dan gratifikasi adalah perilaku yang menyimpang, yang dengan sendirinya bertentangan dengan kebaikan.
Dikatakan menyimpang karena perbuatan itu melawan nilai dan norma. Disebut bertentangan dengan nurani karena tindakan tersebut di dalam dirinya sendiri adalah jahat.
Lebih dari itu, Eddy Hiariej mengajarkan ilmu hukum yang menjadi keahliannya kepada para mahasiswa, menulis buku yang berkaitan dengan bidang ilmunya (Hukum Pidana), tak terhitung lagi banyaknya karya tulis yang dimuat di jurnal ataupun media lainnya, menjadi pemateri (narasumber, pembicara utama) dalam sejumlah seminar.
Dengan narasi ini, seharusnya Eddy Hiariej menjadi agen utama dalam memerangi korupsi. Lagi pula korupsi sudah digolongkan dalam kejahatan yang luar biasa karena dampaknya yang masif dan meluas.
Tambahan pula, sekali lagi, Eddy Hiariej sendiri adalah profesor di bidang hukum dan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Bukankah dengan menjadi tersangka kasus korupsi (suap-gratifikasi), Eddy Hiariej sendiri melanggar hukum yang diajarkannya pula? Dirumuskan dengan bahasa sederhana, hukum menjerat profesor hukum.
Dampak korupsi
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dampak korupsi sangat luar biasa bukan hanya bagi si pelaku sendiri atau kelompoknya termasuk keluarganya, tetapi yang jauh lebih luas, adalah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara (tentang korupsi, lihat juga tulisan saya, “Cerita Korupsi yang Tidak Pernah Usai” Pos-kupang.com 2/2/2022).
Dampak yang paling ekstrem, dalam jangka panjang dan sampai pada tingkat yang tidak sanggup lagi ditolerir, adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa ‘bubar’, hanya tinggal nama, tinggal cerita sejarah.
Sebagai contoh, tentu masih diingat pelajaran sejarah tentang kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Dua kerajaan ini pernah mengalami masa jayanya di bumi Nusantara. Pada level internasional, negara adidaya Uni Soviet, yang pernah ada antara tahun 1922-1991, cuma berumur 69 tahun. Contoh yang disebutkan tadi, kini menjadi bagian dari sejarah masa lalu, yang hanya sekadar dikenang. Meski mungkin saja contoh yang disebutkan tadi sedikit berlebihan, namun dapat dijadikan pembelajaran yang baik.
Bukankah VOC, perusahaan dagang milik kolonial Belanda, bangkrut dan akhirnya bubar karena hanya, sekali lagi hanya, karena korupsi yang merajalela?
Gus Dur juga membubarkan Departemen Penerangan, justru, karena korupsi yang sudah beternak di tubuh lembaga itu. Ini cuma contoh.
Untuk kepentingan tulisan ini, saya hanya menyebutkan beberapa segi sebagai dampak korupsi. Dilihat dari aspek kesejahteraan, korupsi menyebabkan cita-cita kesejahteraan rakyat sebagai imperatif konstitutif yang bersifat wajib yang tertuang dalam UUD 1945 menjadi tidak maksimal diperjuangkan jika tidak hendak mengatakan upaya yang sia-sia.
Dalam sudut pandang sumber keuangan, uang yang dikorup itu adalah uang negara, yang diperoleh dari setoran pajak seluruh rakyat. Uang itu didapat rakyat melalui keringat dan darah. Dan/atau juga uang yang ditilep itu dari pinjaman negara dengan mengatasnamakan rakyat Indonesia, bukan atas nama pribadi atau kelompok tertentu.
Korupsi menodai pengorbanan rakyat yang menyetor pajak ke negara, yang mungkin saja karena terpaksa, termasuk di dalamnya menanggung cicilan utang negara.
Diteropong dari sisi karakter, perbuatan ini memberikan keteladanan yang paling buruk bagi generasi berikutnya, sekaligus menjadi ancaman serius terhadap pendidikan karakter.
Itu pun bila semua pihak terutama Pemerintah dan lebih-lebih lagi institusi pendidikan masih melihat korupsi sebagai ancaman (‘musuh’ bersama). (lihat pula tulisan saya, “Pendidikan Karakter Minus Keteladanan”, pos-kupang.com 4/3/2022).
Ditilik dari segi moral-religius, tindakan ini di dalam dirinya sendiri adalah jahat, dengan sendirinya melawan nurani, bertentangan dengan ajaran-ajaran agama mana pun di dunia ini.
Dilihat dari aspek sosial, korupsi menyebabkan terjadinya kesenjangan dalam hidup bermasyarakat, mengancam integrasi sosial.
Ditinjau dari hasil proyek pembangunan, proyek yang dikerjakan dengan dana, yang sebagiannya sudah dikorup, dengan sendirinya menurunkan mutu proyek tersebut, yang pada gilirannya proyek tersebut tidak bertahan lama, cepat rusak.
Deskripsi ringkas ini dengan sendirinya menerangkan bahwa korupsi berdampak merusak secara masif dan meluas, yang dapat dipadatkan dalam tesis, dampak korupsi menggerogoti dan merusak seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tidak sendirian
Bila melacak rekam jejak digital, profesor dengan jabatan penting dan strategis yang tersangkut tindak pidana korupsi bukan hanya Eddy Hiariej. Di sini saya hanya menyebutkan beberapa sekadar sebagai contoh, walau mungkin saja masih banyak.
Sebelumnya Indonesia pun dihebohkan oleh Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara,M.Eng., IPU., (gelar-gelar ini dikutip dari laman resmi Unud seperti ditulis Kompas.com 14/3/2023), Rektor Universitas Udayana, dalam kasus dugaan korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) mahasiswa baru seleksi Jalur Mandiri 2018-2022 (cnnindonesia.com 9/10/2023).
Bahkan balipost.com merilis, JPU menyebut 3 profesor yang ikut terlibat dalam dugaan korupsi SPI, walau masih berstatus saksi, yaitu Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi,S(K), Prof. Dr. dr. I Ketut Suyasa,Sp.B.,Sp.OT(K), dan Prof. Dr. Ir. I Gede Rai Maya Temaja,M.P. (balipost.com 20/10/2023).
Yang tak kalah menggemparkan juga adalah, seperti ditulis detik.com, Prof. Dr. H. Syahrul Yasin Limpo, S.H., M.Si., M.H., Menteri Pertanian RI ke-28, kini ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (detik.com 30/9/2023).
Jika diakumulasi, hanya dalam tahun 2023, sudah tiga orang profesor yang terpikat kasus korupsi. Secara potensial, jumlah profesor yang terjungkal dalam pusaran korupsi masih akan terus bertambah, lantaran tahun 2023 masih menyisakan beberapa hari.
Apalagi kalau dihubungkan dengan tahun-tahun berikutnya, boleh jadi, jumlah mereka masih akan terus bertambah, bila kesadaran sebagai makhluk yang memiliki akal budi dan nurani dinafikkan. Dalam bahasa etis-religius, tobat harus dimanifestasikan secara radikal dalam perkataan dan perbuatan.
Mengapa demikian?
Pertanyaan ini membawa kita pada peristiwa yang pernah menjadi viral gegara gaya hidup mewah yang didemonstrasikan oleh beberapa gelintir pejabat negara atau orang-orang terdekatnya.
Detik.com mencatat, salah satu pejabat yang gemar pamer kemewahan, contohnya, adalah Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Lampung, Dr. dr. Hj. Reihana,M.Kes. Dia menempati posisi itu selama 14 tahun. (detik.com 18/4/2023).
Ada pula istri pejabat, yang memamerkan gaya hidup mewah dan harta benda berharga mahal melalui media sosial.
Kompas.com menyebutkan, salah satu contoh adalah istri pejabat Kementerian Sekretariat Negara, Esha Rahmansah Abrar, Kasubag Administrasi Kendaraan Biro Umum Kemensetneg. Istrinya mengunggah kepemilikan mobil MG 5 GT Magnify seharga Rp. 407,9 juta (kompas.com 20/3/2023).
Lebih lanjut, kompas.com juga menulis, Evi Celiyanti, istri Kepala Bareskrim, Komjen Agus Andrianto, turut disoroti warganet setelah foto-fotonya yang diduga jalan-jalan di luar negeri tersebar di media sosial. Evi, sang istri Komjen Agus Andrianto, memamerkan pakaian dan aksesoris dari merek fesyen ternama seperti Gucci, Moncler, Roger Vivier Viv’ Run.
Gegara demonstrasi gaya hidup mewah melalui medsos itu, kata ‘flexing’ pun ikut menjadi viral. Contoh ini sekadar ilustrasi untuk menerangkan gaya hidup mewah, yang dapat saja mendorong orang melaksanakan praktek korupsi.
Kalau menyinggung gaya hidup, dengan sendirinya berada dalam satu garis linear dengan kesenangan. Sebab gaya hidup hanya lahir dari kesenangan. Dengan menyebut kesenangan sama artinya dengan perihal kegemaran, kepuasan, hobi.
Bila berpautan dengan kepuasan, maka siapa pun tidak pernah akan merasa cukup. Persis inilah godaan yang menjerumuskan manusia dalam pusaran korupsi. Sebab dia sudah dikendalikan oleh kesenangan. Dengan kata lain, kesenangan telah dianggap sebagai tujuan hidupnya.
Kesenangan sebagai tujuan hidup menemukan tempatnya dalam ajaran utilitarianisme, sebuah prinsip moral yang menekankan aspek kegunaan, yang diperkenalkan oleh dua filsuf Inggris yakni Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, demikian Yosef Keladu Koten (lihat buku “Menalar Keadilan, 2022).
Jika berhubungan dengan kegunaan, maka hal itu bersentuhan dengan objek, yang dari objek itu menghasilkan keuntungan, manfaat, kesenangan, kebaikan atau kebahagiaan, demikian Bentham.
Maka dari itu, Yosef Keladu Koten menyebut prinsip utilitarian dengan prinsip kegunaan, atau juga prinsip kebahagiaan terbesar atau pun prinsip kesenangan.
Secara naluriah, manusia selalu menginginkan kesenangan dan menafikan penderitaan. John Suart Mill membahasakan kebahagiaan sebagai kesenangan dan tidak adanya penderitaan. Selanjutnya bagi Mill, kesenangan adalah satu-satunya hal yang diinginkan sebagai tujuan, tulis Yosef Keladu Koten.
Bila kesenangan menjadi tujuan hidup, maka penderitaan, yang menghalangi kesenangan, diupayakan sedemikian rupa untuk selalu dihindari. Dalam arti tertentu, kesenangan mengalahkan akal sehat.
Kegelisahan
Bertolak dari fakta di atas, dalam tahun 2023 diketahui 3 profesor yang ‘terpesona’ kasus korupsi (belum termasuk yang belum sempat diketahui, masih laten) seharusnya menjadi kegelisahan semua pihak, pertama dan terutama oleh mereka yang bertumpuk-tumpuk gelar akademik dan mereka yang menentukan kebijakan di bidang pendidikan.
Lebih dari itu, kondisi tersebut pada hakikatnya adalah gugatan terhadap lembaga pendidikan itu sendiri.
Gugatan itu dapat dirumuskan dalam pertanyaan retoris-refleksif berikut: apakah gelar yang disematkan hanya untuk kepentingan diri sendiri (cukup untuk dirinya sendiri), ataukah untuk mendemonstrasikan ‘kehebatan’ diri, atau juga demi popularitas, atau pula untuk mendapat jabatan dan pengaruh? Masih adakah otokritik dalam diri?
Pertanyaan retoris-refleksif selanjutnya, yang mungkin saja tersimpan rapi dalam lubuk hati orang biasa dan sederhana, apakah lembaga pendidikan hanya menghasilkan orang yang pada akhirnya harus mendekam di penjara? Ataukah gelar yang didapat dengan susah payah melalui sekolah bertahun-tahun (minus yang diperoleh dengan cuma-cuma [dengan membeli]) pada ujungnya dibui?
Deretan pertanyaan di atas hanya bisa dijawab oleh yang memiliki gelar tersebut. Siapa pun, termasuk saya, selain si empunya, hanya sebatas pada prasangka.
Sekali lagi, sejumlah pertanyaan di atas tidak dimaksudkan untuk menyerang dan lebih lagi memvonis mereka yang sudah telanjur 'terlena' dalam kasus korupsi. Lalu saya menganggap diri sebagai pihak yang paling berhak menghukum mereka, dan lebih lagi dianggap paling bebas dari godaan-godaan duniawi semacam itu. Lagi-lagi, hal itu jauh dari maksud tulisan ini dan apalagi kompetensi saya. Sebab ada yang lebih berhak yaitu lembaga yudikatif.
Kegelisahan ini muncul karena beberapa alasan yang dirumuskan dalam deretan pertanyaan di atas.
Penutup
Negara Kesatuan Republik Indonesia telah diperjuangkan oleh para pendahulu dengan mempertaruhkan jiwa dan raga. Mereka melepaskan kepentingan diri, hanya, dan sekali lagi hanya, demi mewujudkan Indonesia berdiri sebagai bangsa yang merdeka dan bermartabat.
Mereka pun telah merumuskan dengan begitu indah Pancasila sebagai fondasi dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Dan atas nama seluruh rakyat Indonesia, Soekarno dan Hatta memaklumkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Perilaku korupsi, meski dilakukan secara senyap dan si pelaku berharap tidak diketahui publik, lebih-lebih lagi dilakukan oleh pendidik, adalah bentuk negasi yang paling biadab terhadap Pancasila, UUD 1945, dan para pejuang kemerdekaan NKRI. Sebab korupsi, perlahan namun pasti, pada tingkat yang tidak sanggup lagi ditolerir, membawa kehancuran, mengamini disintegrasi bangsa Indonesia bila tidak dihentikan secara tegas.
Berhadapan dengan kondisi bangsa yang rusak akibat korupsi yang merasuk ke semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara, pertanyaan yang patut diajukan adalah, apakah penyelenggara negara ini khususnya pada pendidik merasa gelisah berhadapan dengan kejahatan korupsi? Pertanyaan lebih lanjut, bila memang mereka merasa gelisah, apakah kegelisahan itu hanya pada tataran retorika? Ataukah kegelisahan itu hanya ungkapan emosional semata, yang dipendam berlaru-larut, seperti orang yang sedang mengalami depresi, tanpa ada upaya-upaya konkret untuk mengatasinya? Mengapa korupsi masih juga terus dilakukan? Jawabannya, hanya mereka sendiri yang tahu!
Sumbangsih yang diminta tidak melebihi batas kemampuan dari si pemberi (tiap warga negara). Berilah, sejauh yang dapat diberikan. Itulah tuntutan etis yang paling sederhana. Bukan mengambil sejauh yang dapat diambil.
(Penulis adalah pegiat sosial, alumni STFK Ledalero, tinggal di Labuan Bajo)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.