Opini
Opini: Kebiasaan Membaca Dimulai dari Diri Sendiri
Saya pun mengambilnya dan kembali ke tempat duduk, seraya melihat cover buku itu dengan judul yang tertera “Polwan untuk Negeri”,
Lebih dari itu pula, hasil dari ketekunannya membaca buku, Soekarno sangat terampil dalam retorika, yang kemudian dikenal sebagai “singa podium".
Y. B. Mangunwijaya menyebutnya, ‘orator priayi perlente’. Malah naskah pidato kenegaraannya, Soekarno menulisnya sendiri. Tidak seperti pemimpin “zaman now”, yang naskahnya ditulis oleh tim penyusun.
Bahkan pidato kenegaraan dimanfaatkan sebagai kesempatan mengeluarkan unek-unek (curhat) [Lihat pidato kenegaraan Presiden Jokowi 17 Agustus 2023, Kompas.com 16/8/2023).
Demikian juga dengan Mohammad Hatta. Pada waktu dibuang ke Boven Digul, Hatta membawa serta buku-buku yang diisi di dalam peti.
Lebih dari itu, di sana Hatta memberikan kursus filsafat kepada sesama tahanan, yang kemudian hasil kursus itu dibukukan “sebagai hasil pelajaran di alam sunyi”.
Lalu berdasarkan hasil belajarnya secara otodidak, Hatta menulis manfaat belajar filsafat, sebagaimana dikutip Ignas Kleden, “Filosofi meluaskan pandangan serta mempertajam pikiran. Kedua-duanya berguna sebagai perkakas untuk menukik lebih dalam ke batang ilmu ekonomi. Kemudian filosofi berguna untuk penerangan pikiran dan penetapan hati” (Lih. “Menukik Lebih Dalam”, 2009).
Sjahrir, nakhoda pertama Repulik Indonesia, yang meninggal 19 April 1966, dan langsung diakui sebagai pahlawan nasional, mendapat sanjungan dari Y. B. Mangunwijaya karena pemikirannya yang kritis, tajam, baik kepada penjajah maupun kekuasaan Soekarno, ketenangannya dalam situasi-situasi sulit, genting, di zaman itu, seorang yang revolusioner, adalah hasil dari kegemarannya membaca buku (Lih. Sejarah Tokoh Bangsa, 2005).
Haji Agus Salim yang menguasai 6 bahasa asing adalah seorang pembicara yang ulung, ahli debat dan pengkritik yang tajam. Kalau ada orang yang “menginterupsi” maka ia segera menjawabnya dan kadang-kadang menjadikan lawannya sasaran tertawaan.
Oleh karena itu, jarang orang berani berdebat dengan Agus Salim, demikian Mohammad Roem dalam buku ‘Sejarah Tokoh Bangsa’.
Tidak dipungkiri lagi bahwa kemampuan Agus Salim, yang kerap kali digelar The Grand Old Man, didapat dari ketekunannya membaca.
Pernah sekali peristiwa ketika tampil berpidato, seperti dilansir tirto.id, Haji Agus Salim diejek oleh lawan politiknya dengan menirukan suara kambing mengembik karena dia berjenggot seperti kambing.
Agus Salim tidak menggunakan cara-cara premanisme dalam membalasnya, apalagi dengan memanfaatkan pengaruh dan kekuasaan yang dimilikinya.
Akan tetapi dengan ketenangan dan kecerdasannya, Agus Salim mengatakan, “Tunggu sebentar. Sungguh menyenangkan, kambing-kambing pun mendatangi ruangan ini untuk mendengarkan pidato saya. Sayang sekali mereka kurang mengerti bahasa manusia sehingga menyela dengan cara yang kurang pantas.”
Lalu Agus Salim melanjutkan, “Saya sarankan kepada mereka keluar raungan. Kalau pidato saya untuk manusia ini selesai, mereka akan dipersilakan masuk kembali dan saya berpidato dalam bahasa kambing untuk mereka” (tirto.id 6/3/2019).
Andai saja Agus Salim kurang cerdas, dan lebih lagi, bila menggunakan perspektif segerombolan kecil elite saat ini, dalam konteks Indonesia, sudah pasti dengan segala pengaruh dan kekuasaannya, Agus Salim akan melaporkan lawan politiknya ke Polisi dengan pasal penghinaan.
Terlebih lagi ejekan itu sangat jelas mengarah kepada dirinya lantaran jenggotnya yang mirip kambing. Ini cuma sekadar pengandaian.
Namun Agus Salim lebih memilih cara yang rasional daripada sentimental dalam menanggapi ejekan lawan politiknya. Dengan perkataan lain, Agus Salim memilih cara yang santun dan berwibawa yang menunjukkan kedewasaan dan kecendekiawanannya daripada model premanisme. Sebab gaya premanisme hanya digunakan oleh orang yang irasional (bodoh).
Sekali lagi, bukan inti tulisan ini.
Hal yang sama pula dengan Gus Dur. Bahkan Gus Dur disebut pecandu bacaan. Bila tidak ditemukan bacaan di perpustakaan di rumahnya, Gus Dur mencarinya di toko-toko yang menjual buku-buku bekas di Jakarta.
Greg Barton menulis, bagi Gus Dur, membaca adalah cara mengalihkan kesedihan, karena dia masih kecil pada waktu ayahnya meninggal.
Maka dari itu, ketika penglihatannya mulai bermasalah yang menyebabkan matanya buta akibat kecelakaan mobil, Gus Dur meminta dibacakan buku ataupun berita.
Lalu yang paling heroik adalah Gus Dur menjadi figur yang teramat berani mengkritik Presiden Soeharto pada masa jayanya.
Hal yang tak kalah pentingnya juga adalah Gus Dur menanggapi kritik terhadap dirinya dengan joke. Misalnya ketika dituntut mundur dari jabatan Presiden, Gus Dur membalasnya dengan lelucon cerdas, “maju saja dituntun, apalagi mundur.” (Lih. Biografi Gus Dur, 2016).
Berpijak pada pengalaman para tokoh dan guru bangsa yang menjadikan buku sebagai ‘sahabat karibnya’ dapat dikatakan, anggapan sebagian besar orang bahwa memang, mereka sudah ditakdirkan sebagai pemimpin besar dan berpengaruh sejak dari lahir dengan sendirinya gugur. Sekali lagi, anggapan demikian adalah sebuah kesesatan berpikir.
Lagi pula pada umumnya, orang lebih terpesona pada ujung (hasil) daripada proses. Kebanyakan orang terpedaya dengan kemampuan dan keunggulan para tokoh tersebut tanpa melihat tahapan demi tahapan sebagai proses yang membentuk mereka sebagai pribadi yang tahan terhadap pelbagai ujian dalam dinamika hidupnya.
Dengan kata lain, mereka adalah orang-orang yang sungguh menyadari diri, dan dengan itu mereka mengasah potensi dirinya demi meningkatkan kapasitas diri.
Dalam bahasa akademis-etik, mereka adalah ‘cendekiawan berdedikasi’ karena komitmen, konsistensi, determinasi yang tak mudah goyah.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki integritas, kapabilitas, intelektualitas dan etikabilitas. Pada mereka layak disematkan Negarawan.
Lebih dari itu, mereka mengabadikan buah pemikirannya dalam tulisan yang dapat dibaca banyak orang. Itulah warisan mereka yang amat bernilai bagi generasi-generasi berikutnya termasuk kita. Kemampuan menulisnya hanya dan sekali lagi hanya diperoleh lewat ketekunan membaca.
Bagi mereka, tidak pernah ada kata cukup apalagi berhenti membaca. Sebab membaca meluaskan ‘cakrawala’, memperkaya perbendaharaan kata, merawat nurani, memupuk kepekaan, menambah kepedulian, menjernihkan pikiran, memperkuat ingatan dan melestarikan akal sehat.
Dibahasakan dengan cara sederhana, membaca adalah cara cerdas membebaskan diri dari kebodohan.
Sebab seorang penulis yang hebat (terkenal) lahir dari kebiasaan membaca yang giat. Maka dari itu, jangan pernah merasa cukup, bosan, apalagi berhenti membaca!!! Bacalah mulai dari sekarang…!!!
(Penulis adalah pegiat sosial, alumnus STFK Ledalero, tinggal di Labuan Bajo)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.