Opini
Opini: Kebiasaan Membaca Dimulai dari Diri Sendiri
Saya pun mengambilnya dan kembali ke tempat duduk, seraya melihat cover buku itu dengan judul yang tertera “Polwan untuk Negeri”,
Lagipula penempatan bahan bacaan di tempat-tempat seperti itu, pada hakikatnya, hendak memberi pesan ajakan sekaligus membangkitkan minat baca pengunjung yang masih ‘terkubur’ di alam bawah sadarnya, entah disadari atau pun tidak disadari.
Andai saja buku itu dapat berbicara, kira-kira ia akan mengatakan, “Ini aku, bacalah aku, anda akan melihat dunia.”
Sebab jika merujuk pada minat baca masyarakat Indonesia sebagaimana dilansir Kompas.com dari data Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, indeks minat baca masyarakat Indonesia cuma di angka 0,001 persen. Itu artinya dari seribu orang Indonesia, hanya satu orang yang gemar membaca buku (Kompas.com 11/8/2023).
Kalau mengacu pada data tersebut, maka hal itu seharusnya menjadi kegelisahan semua pihak. Walaupun demikian, secara kuantitatif, jumlah orang yang suka membaca tergolong kecil (minoritas), akan tetapi, paling kurang, angka yang sedikit itu, secara potensial, menunjukkan bahwa masih ada harapan.
Ini tidak bermaksud mengecilkan, mengabaikan, dan apalagi meniadakan peran tekhnologi, informasi dan komunikasi, yang cukup bermodalkan telepon genggam android dengan pulsa data internet seadanya, orang sudah bisa menjelajah rimba raya internet untuk memperoleh beragam informasi yang diinginkan, termasuk juga buku digital.
Namun demi kepentingan tulisan ini, saya sekadar memberikan deskripsi umum berhubungan dengan dampak penggunaan telepon genggam yang berlebihan terutama terhadap indra penglihatan (mata). Seperti dikutip dari rsud.cilacapkab.go.id, “Bahaya Gadget bagi Anak-anak”, dikatakan, gadget dapat merusak mata karena pencahayaan yang kurang baik, entah karena kecerahan terlalu redup ataupun kecerahan yang terlalu terang. Sebab kondisi cahaya yang demikian memaksa mata bekerja melebihi batas kemampuannya.
Layar smartphone, misalnya, ketika digunakan malam hari menjelang tidur, ia akan memancarkan sinar biru yang dapat merusak retina. Kerusakan retina mata akibat sinar biru menyebabkan degenerasi makula. Akibatnya adalah kehilangan penglihatan sentral yaitu kemampuan melihat apa yang ada di depan mata (lihat https://rsud.cilacapkab.go.id).
Untuk konteks Indonesia, menurut Budi Hardiman, dewasa ini kita tidak hanya berbicara dengan seseorang lewat smartphone, melainkan juga membaca respons alat itu pada layarnya dan berdialog dengan alat itu, seolah-olah dia adalah suatu alterego.
Kita bukan hanya memakainya, melainkan kita terintegrasi ke dalam sistemnya sebagai salah satu komponennya. Karena kondisi demikian, Budi Hardiman merujuk pada pemaparan filsuf tekhnologi Don Ihde tentang hubungan antara manusia dan tekhnologi, memasukannya ke dalam tipe hermeneutic dan alterity relations (Fransico Budi Hardiman, Filsafat dan Tekhnologi, 4/2/2023).
Mulai dari hal kecil
Bila ditilik dari perspektif reformasi, dengan menyediakan bahan bacaan di tempat-tempat seperti itu (walau mungkin baru disadari manfaatnya sekarang [cuma dugaan]), Polri sedang bergerak menuju pengejawantahan pesan reformasi.
Dengan tindakan kecil demikian (dalam anggapan kebanyakan orang), dalam kadar tertentu, semangat perubahan (pesan reformasi) menemukan salurannya.
Dengan formula yang sederhana, gerakan perubahan tidak membutuhkan tindakan yang besar, melainkan dari hal-hal kecil yang mudah dilakukan.
Hal ini tidak bermaksud memberikan pujian yang bernada hiperbola terhadap lembaga Polri khususnya Polres Mabar, dan mengesampingkan lembaga-lembaga lainnya.
Lalu saya (dianggap) menutup mata terhadap dua kasus besar yang membuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri goyah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.