Opini
Opini: Kebiasaan Membaca Dimulai dari Diri Sendiri
Saya pun mengambilnya dan kembali ke tempat duduk, seraya melihat cover buku itu dengan judul yang tertera “Polwan untuk Negeri”,
Sudah menjadi pengetahuan umum (dan bisa ditelusuri dalam jejak digital), bahwa dua kasus besar yang terjadi di ‘tubuh’ Polri, yang menikam nurani, ‘menggugurkan’ akal sehat dan membuat Ibu Pertiwi meratap pilu adalah kasus Irjen Ferdy Sambo Cs yang terlibat pembunuhan Brigadir Yosua (Detik.com 11/8/2022) dan Irjen Teddy Minahasa yang tersandung kasus narkoba (Kompas.com 12/1/2023).
Lebih dari itu, dengan tindakan kecil dan sederhana seperti itu, Polri sudah mulai melakukan pembenahan secara institusional terutama dalam memberikan pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat.
Salah satu bukti lain, paling tidak pengalaman saya sendiri, adalah pengurusan perpanjangan SIM C yang hanya membutuhkan waktu sekitar 20 atau 30 menit dengan biaya Rp 150.000,-. Sekali lagi, ini bukan sasaran utama tulisan ini (hanya sekadar intermezzo).
Belajar dari Tokoh dan Guru Bangsa
Tentang kebiasaan membaca, ingatan saya serta merta tertuju kepada para tokoh bangsa Indonesia. Di sini saya cukup menyebut beberapa sebagai contoh, meski sebenarnya masih banyak yang lain lagi.
Mereka adalah Ir. Soekarno (Presiden pertama RI), Drs. Mohammad Hatta (Wakil Presiden pertama RI), Sjahrir (Perdana Menteri RI), Haji Agus Salim, Sutan Takdir Alisjahbana, Tan Malaka, Abdurrahman Wahid.
Bila membaca kisah para tokoh tersebut, mereka tidak serta merta lahir begitu saja sebagai figur yang amat berpengaruh sekaligus menentukan bagi lahir dan berkembangnya Indonesia sebagai sebuah bangsa seperti sekarang ini.
Apalagi beranggapan bahwa mereka adalah ‘titisan langit’, yang dari lahirnya sudah memiliki kelebihan-kelebihan di dalam diri, dan dengan demikian tidak perlu lagi berusaha meningkatkan kemampuan diri dengan belajar misalnya.
Hal yang harus digarisbawahi dan lebih dari itu disimpan dalam ingatan untuk menjadi inspirasi adalah anggapan demikian dapat dikatakan sebagai kesesatan berpikir, irasional. Sebab kejeniusan, demikian Thomas Alva Edison, 99 persen adalah keringat dan 1 persen inspirasi.
Dirumuskan dalam bahasa sederhana, keberhasilan adalah buah dari ketekunan dan jerih lelah dengan mengabaikan segala cibiran, cemoohan, ejekan, ketakutan, dan segala perasaan (anggapan) negatif lainnya.
Andrew Robinson dalam bukunya ‘Sudden Genius?’ mengakui, seperti dikutip detik.com, jenius merupakan hasil kerja keras yang konsisten dan sebuah ketekunan (detik.com, 16/9/2010).
Dengan kata lain, tidak ada jalan pintas untuk menjadi jenius, atau terjadi dengan sendirinya.
Bila mencermati secara saksama, para tokoh yang disebutkan di atas memiliki kebiasaan membaca yang ulung, ‘kutu buku’. Soekarno, misalnya, sudah menunjukkan minat membaca sejak Sekolah Dasar Belanda (ELS). Kemudian ketika dibuang ke Ende, Bung Karno memanfaatkannya dengan membaca buku-buku di perpustakaan Biara St. Yosef SVD.
Soekarno juga sering berdiskusi dengan dengan Pater Johanes Bouma dan Pater Gerardus Huijtink. Padahal imam-imam SVD itu adalah orang Belanda, yang nota bene adalah ‘musuh’ Soekarno.
Dan yang paling impresif adalah justru ide-ide brilian dalam proses penemuan dan perumusan butir-butir mutiara Pancasila, tidak terlepas dari diskusi-diskusi serius dan mendalam dengan kedua misionaris Sang Sabda ini, yang telah dianggapnya sebagai sahabat karib selama masa pembuangan di Ende, tulis John Dami Mukese dalam buku ‘Ut Verbum Dei Currat, 100 Tahun SVD Indonesia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.