Opini

Opini: Kebiasaan Membaca Dimulai dari Diri Sendiri

Saya pun mengambilnya dan kembali ke tempat duduk, seraya melihat cover buku itu dengan judul yang tertera “Polwan untuk Negeri”,

Editor: Agustinus Sape
FOTO PRIBADI
Arnoldus Nggorong menulis opini berjudul Kebiasaan Membaca Dimulai dari Diri Sendiri. 

Oleh: Arnoldus Nggorong

POS-KUPANG.COM - Saya memiliki suatu pengalaman menarik ketika saya mengurus perpanjangan SIM C (Surat Izin Mengemudi) di Polres Manggarai Barat pada tanggal 6 November 2023.

Setelah saya menyerahkan persyaratan administrasi yang diperlukan untuk diproses oleh petugas, saya mengambil tempat duduk yang sudah disediakan di ruang tunggu. Waktu itu saya ditemani oleh anak bungsu yang masih berumur 4 tahun 10 bulan.

Saya melayangkan pandangan ke sekeliling ruangan. Mata saya terhenti pada sesuatu semacam rak kecil yang ditempelkan di dinding tembok. Di dalamnya terdapat bahan bacaan di antaranya buku dan majalah. Saya tergoda mendekatinya untuk melihat lebih cermat apa kira-kira bahan bacaan yang tersedia di dalamnya.

Saya pun beranjak dari tempat duduk, lalu berjalan menuju rak itu untuk melihat-lihat mungkin saja ada yang menarik dari bahan bacaan itu untuk dibaca sekadar mengusir khayalan ‘liar’, tak tentu arah, di kala duduk kosong tanpa aktivitas yang berarti.

Perhatian saya terarah pada sebuah buku. Saya pun mengambilnya dan kembali ke tempat duduk, seraya melihat cover buku itu dengan judul yang tertera “Polwan untuk Negeri”, (jika saya tidak salah ingat). Sebuah judul yang memprovokasi para ‘kutu buku’.

Buku tersebut merupakan bunga rampai. Saya membuka lembaran demi lembaran. Setelah saya merasa cukup melihatnya, saya terkagum dengan buku tersebut yang dikemas dalam bahasa ilmiah populer, sesudah ‘melahap’ kata pengantarnya.

Alasan yang memunculkan rasa kagum itu adalah: pertama, karena para penulisnya adalah perempuan. Kedua, mereka adalah perempuan berprestasi di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia dengan jabatan penting dan strategis.

Ketiga, saya cukup yakin, dengan jabatan penting dan strategisnya, mereka telah turut dan akan terus memberi andil dalam menentukan langkah strategis institusi Polri khususnya, dan kebijakan perlindungan warga masyarakat Indonesia umumnya.

Keempat, mereka menjadi inspirasi bagi kaum hawa Indonesia untuk berdedikasi terutama dalam memberikan perlindungan dan rasa nyaman kepada warga masyarakat Indonesia di bidang kepolisian.

Kelima, bila dipandang dari sisi emansipasi, institusi Polri sudah memberi ruang kepada perempuan untuk menempati posisi-posisi penting dan strategis, yang umumnya sangat didominasi kaum adam.

Untuk menyebut salah satu contoh dalam wilayah administrasi Propinsi NTT, saat ini salah satu perempuan mengemban tugas memimpin Polres Lembata yang dilantik 12 April 2023 (Pos-kupang.com 12/4/2023).

Namun dalam tulisan ini, saya tidak meneropong soal keterlibatan perempuan di lembaga Polri. Kisah pengalaman di atas hanyalah sebuah ilustrasi untuk mengantar pembaca pada fokus tulisan ini yakni bahwa bahan bacaan, yang disimpan di rak, yang mudah dilihat, sudah disediakan di ruang tunggu di lembaga Polri misalnya.

Masih ada asa

Ini memberi secercah harapan bahwa di ruang yang sama di lembaga-lembaga pemerintahan lainnya pun disediakan bahan bacaan. Paling tidak, dengan menyediakan bahan bacaan di ruang-ruang semacam itu, pengunjung dapat tergugah hatinya untuk membaca.

Lagipula penempatan bahan bacaan di tempat-tempat seperti itu, pada hakikatnya, hendak memberi pesan ajakan sekaligus membangkitkan minat baca pengunjung yang masih ‘terkubur’ di alam bawah sadarnya, entah disadari atau pun tidak disadari.

Andai saja buku itu dapat berbicara, kira-kira ia akan mengatakan, “Ini aku, bacalah aku, anda akan melihat dunia.”

Sebab jika merujuk pada minat baca masyarakat Indonesia sebagaimana dilansir Kompas.com dari data Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, indeks minat baca masyarakat Indonesia cuma di angka 0,001 persen. Itu artinya dari seribu orang Indonesia, hanya satu orang yang gemar membaca buku (Kompas.com 11/8/2023).

Kalau mengacu pada data tersebut, maka hal itu seharusnya menjadi kegelisahan semua pihak. Walaupun demikian, secara kuantitatif, jumlah orang yang suka membaca tergolong kecil (minoritas), akan tetapi, paling kurang, angka yang sedikit itu, secara potensial, menunjukkan bahwa masih ada harapan.

Ini tidak bermaksud mengecilkan, mengabaikan, dan apalagi meniadakan peran tekhnologi, informasi dan komunikasi, yang cukup bermodalkan telepon genggam android dengan pulsa data internet seadanya, orang sudah bisa menjelajah rimba raya internet untuk memperoleh beragam informasi yang diinginkan, termasuk juga buku digital.

Namun demi kepentingan tulisan ini, saya sekadar memberikan deskripsi umum berhubungan dengan dampak penggunaan telepon genggam yang berlebihan terutama terhadap indra penglihatan (mata). Seperti dikutip dari rsud.cilacapkab.go.id, “Bahaya Gadget bagi Anak-anak”, dikatakan, gadget dapat merusak mata karena pencahayaan yang kurang baik, entah karena kecerahan terlalu redup ataupun kecerahan yang terlalu terang. Sebab kondisi cahaya yang demikian memaksa mata bekerja melebihi batas kemampuannya.

Layar smartphone, misalnya, ketika digunakan malam hari menjelang tidur, ia akan memancarkan sinar biru yang dapat merusak retina. Kerusakan retina mata akibat sinar biru menyebabkan degenerasi makula. Akibatnya adalah kehilangan penglihatan sentral yaitu kemampuan melihat apa yang ada di depan mata (lihat https://rsud.cilacapkab.go.id).

Untuk konteks Indonesia, menurut Budi Hardiman, dewasa ini kita tidak hanya berbicara dengan seseorang lewat smartphone, melainkan juga membaca respons alat itu pada layarnya dan berdialog dengan alat itu, seolah-olah dia adalah suatu alterego.

Kita bukan hanya memakainya, melainkan kita terintegrasi ke dalam sistemnya sebagai salah satu komponennya. Karena kondisi demikian, Budi Hardiman merujuk pada pemaparan filsuf tekhnologi Don Ihde tentang hubungan antara manusia dan tekhnologi, memasukannya ke dalam tipe hermeneutic dan alterity relations (Fransico Budi Hardiman, Filsafat dan Tekhnologi, 4/2/2023).

Mulai dari hal kecil

Bila ditilik dari perspektif reformasi, dengan menyediakan bahan bacaan di tempat-tempat seperti itu (walau mungkin baru disadari manfaatnya sekarang [cuma dugaan]), Polri sedang bergerak menuju pengejawantahan pesan reformasi.

Dengan tindakan kecil demikian (dalam anggapan kebanyakan orang), dalam kadar tertentu, semangat perubahan (pesan reformasi) menemukan salurannya.

Dengan formula yang sederhana, gerakan perubahan tidak membutuhkan tindakan yang besar, melainkan dari hal-hal kecil yang mudah dilakukan.

Hal ini tidak bermaksud memberikan pujian yang bernada hiperbola terhadap lembaga Polri khususnya Polres Mabar, dan mengesampingkan lembaga-lembaga lainnya.

Lalu saya (dianggap) menutup mata terhadap dua kasus besar yang membuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri goyah.

Sudah menjadi pengetahuan umum (dan bisa ditelusuri dalam jejak digital), bahwa dua kasus besar yang terjadi di ‘tubuh’ Polri, yang menikam nurani, ‘menggugurkan’ akal sehat dan membuat Ibu Pertiwi meratap pilu adalah kasus Irjen Ferdy Sambo Cs yang terlibat pembunuhan Brigadir Yosua (Detik.com 11/8/2022) dan Irjen Teddy Minahasa yang tersandung kasus narkoba (Kompas.com 12/1/2023).

Lebih dari itu, dengan tindakan kecil dan sederhana seperti itu, Polri sudah mulai melakukan pembenahan secara institusional terutama dalam memberikan pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat.

Salah satu bukti lain, paling tidak pengalaman saya sendiri, adalah pengurusan perpanjangan SIM C yang hanya membutuhkan waktu sekitar 20 atau 30 menit dengan biaya Rp 150.000,-. Sekali lagi, ini bukan sasaran utama tulisan ini (hanya sekadar intermezzo).

Belajar dari Tokoh dan Guru Bangsa

Tentang kebiasaan membaca, ingatan saya serta merta tertuju kepada para tokoh bangsa Indonesia. Di sini saya cukup menyebut beberapa sebagai contoh, meski sebenarnya masih banyak yang lain lagi.

Mereka adalah Ir. Soekarno (Presiden pertama RI), Drs. Mohammad Hatta (Wakil Presiden pertama RI), Sjahrir (Perdana Menteri RI), Haji Agus Salim, Sutan Takdir Alisjahbana, Tan Malaka, Abdurrahman Wahid.

Bila membaca kisah para tokoh tersebut, mereka tidak serta merta lahir begitu saja sebagai figur yang amat berpengaruh sekaligus menentukan bagi lahir dan berkembangnya Indonesia sebagai sebuah bangsa seperti sekarang ini.

Apalagi beranggapan bahwa mereka adalah ‘titisan langit’, yang dari lahirnya sudah memiliki kelebihan-kelebihan di dalam diri, dan dengan demikian tidak perlu lagi berusaha meningkatkan kemampuan diri dengan belajar misalnya.

Hal yang harus digarisbawahi dan lebih dari itu disimpan dalam ingatan untuk menjadi inspirasi adalah anggapan demikian dapat dikatakan sebagai kesesatan berpikir, irasional. Sebab kejeniusan, demikian Thomas Alva Edison, 99 persen adalah keringat dan 1 persen inspirasi.

Dirumuskan dalam bahasa sederhana, keberhasilan adalah buah dari ketekunan dan jerih lelah dengan mengabaikan segala cibiran, cemoohan, ejekan, ketakutan, dan segala perasaan (anggapan) negatif lainnya.

Andrew Robinson dalam bukunya ‘Sudden Genius?’ mengakui, seperti dikutip detik.com, jenius merupakan hasil kerja keras yang konsisten dan sebuah ketekunan (detik.com, 16/9/2010).

Dengan kata lain, tidak ada jalan pintas untuk menjadi jenius, atau terjadi dengan sendirinya.

Bila mencermati secara saksama, para tokoh yang disebutkan di atas memiliki kebiasaan membaca yang ulung, ‘kutu buku’. Soekarno, misalnya, sudah menunjukkan minat membaca sejak Sekolah Dasar Belanda (ELS). Kemudian ketika dibuang ke Ende, Bung Karno memanfaatkannya dengan membaca buku-buku di perpustakaan Biara St. Yosef SVD.

Soekarno juga sering berdiskusi dengan dengan Pater Johanes Bouma dan Pater Gerardus Huijtink. Padahal imam-imam SVD itu adalah orang Belanda, yang nota bene adalah ‘musuh’ Soekarno.

Dan yang paling impresif adalah justru ide-ide brilian dalam proses penemuan dan perumusan butir-butir mutiara Pancasila, tidak terlepas dari diskusi-diskusi serius dan mendalam dengan kedua misionaris Sang Sabda ini, yang telah dianggapnya sebagai sahabat karib selama masa pembuangan di Ende, tulis John Dami Mukese dalam buku ‘Ut Verbum Dei Currat, 100 Tahun SVD Indonesia.

Lebih dari itu pula, hasil dari ketekunannya membaca buku, Soekarno sangat terampil dalam retorika, yang kemudian dikenal sebagai “singa podium".

Y. B. Mangunwijaya menyebutnya, ‘orator priayi perlente’. Malah naskah pidato kenegaraannya, Soekarno menulisnya sendiri. Tidak seperti pemimpin “zaman now”, yang naskahnya ditulis oleh tim penyusun.

Bahkan pidato kenegaraan dimanfaatkan sebagai kesempatan mengeluarkan unek-unek (curhat) [Lihat pidato kenegaraan Presiden Jokowi 17 Agustus 2023, Kompas.com 16/8/2023).

Demikian juga dengan Mohammad Hatta. Pada waktu dibuang ke Boven Digul, Hatta membawa serta buku-buku yang diisi di dalam peti.

Lebih dari itu, di sana Hatta memberikan kursus filsafat kepada sesama tahanan, yang kemudian hasil kursus itu dibukukan “sebagai hasil pelajaran di alam sunyi”.

Lalu berdasarkan hasil belajarnya secara otodidak, Hatta menulis manfaat belajar filsafat, sebagaimana dikutip Ignas Kleden, “Filosofi meluaskan pandangan serta mempertajam pikiran. Kedua-duanya berguna sebagai perkakas untuk menukik lebih dalam ke batang ilmu ekonomi. Kemudian filosofi berguna untuk penerangan pikiran dan penetapan hati” (Lih. “Menukik Lebih Dalam”, 2009).

Sjahrir, nakhoda pertama Repulik Indonesia, yang meninggal 19 April 1966, dan langsung diakui sebagai pahlawan nasional, mendapat sanjungan dari Y. B. Mangunwijaya karena pemikirannya yang kritis, tajam, baik kepada penjajah maupun kekuasaan Soekarno, ketenangannya dalam situasi-situasi sulit, genting, di zaman itu, seorang yang revolusioner, adalah hasil dari kegemarannya membaca buku (Lih. Sejarah Tokoh Bangsa, 2005).

Haji Agus Salim yang menguasai 6 bahasa asing adalah seorang pembicara yang ulung, ahli debat dan pengkritik yang tajam. Kalau ada orang yang “menginterupsi” maka ia segera menjawabnya dan kadang-kadang menjadikan lawannya sasaran tertawaan.

Oleh karena itu, jarang orang berani berdebat dengan Agus Salim, demikian Mohammad Roem dalam buku ‘Sejarah Tokoh Bangsa’.

Tidak dipungkiri lagi bahwa kemampuan Agus Salim, yang kerap kali digelar The Grand Old Man, didapat dari ketekunannya membaca.

Pernah sekali peristiwa ketika tampil berpidato, seperti dilansir tirto.id, Haji Agus Salim diejek oleh lawan politiknya dengan menirukan suara kambing mengembik karena dia berjenggot seperti kambing.

Agus Salim tidak menggunakan cara-cara premanisme dalam membalasnya, apalagi dengan memanfaatkan pengaruh dan kekuasaan yang dimilikinya.

Akan tetapi dengan ketenangan dan kecerdasannya, Agus Salim mengatakan, “Tunggu sebentar. Sungguh menyenangkan, kambing-kambing pun mendatangi ruangan ini untuk mendengarkan pidato saya. Sayang sekali mereka kurang mengerti bahasa manusia sehingga menyela dengan cara yang kurang pantas.”

Lalu Agus Salim melanjutkan, “Saya sarankan kepada mereka keluar raungan. Kalau pidato saya untuk manusia ini selesai, mereka akan dipersilakan masuk kembali dan saya berpidato dalam bahasa kambing untuk mereka” (tirto.id 6/3/2019).

Andai saja Agus Salim kurang cerdas, dan lebih lagi, bila menggunakan perspektif segerombolan kecil elite saat ini, dalam konteks Indonesia, sudah pasti dengan segala pengaruh dan kekuasaannya, Agus Salim akan melaporkan lawan politiknya ke Polisi dengan pasal penghinaan.

Terlebih lagi ejekan itu sangat jelas mengarah kepada dirinya lantaran jenggotnya yang mirip kambing. Ini cuma sekadar pengandaian.

Namun Agus Salim lebih memilih cara yang rasional daripada sentimental dalam menanggapi ejekan lawan politiknya. Dengan perkataan lain, Agus Salim memilih cara yang santun dan berwibawa yang menunjukkan kedewasaan dan kecendekiawanannya daripada model premanisme. Sebab gaya premanisme hanya digunakan oleh orang yang irasional (bodoh).

Sekali lagi, bukan inti tulisan ini.

Hal yang sama pula dengan Gus Dur. Bahkan Gus Dur disebut pecandu bacaan. Bila tidak ditemukan bacaan di perpustakaan di rumahnya, Gus Dur mencarinya di toko-toko yang menjual buku-buku bekas di Jakarta.

Greg Barton menulis, bagi Gus Dur, membaca adalah cara mengalihkan kesedihan, karena dia masih kecil pada waktu ayahnya meninggal.

Maka dari itu, ketika penglihatannya mulai bermasalah yang menyebabkan matanya buta akibat kecelakaan mobil, Gus Dur meminta dibacakan buku ataupun berita.

Lalu yang paling heroik adalah Gus Dur menjadi figur yang teramat berani mengkritik Presiden Soeharto pada masa jayanya.

Hal yang tak kalah pentingnya juga adalah Gus Dur menanggapi kritik terhadap dirinya dengan joke. Misalnya ketika dituntut mundur dari jabatan Presiden, Gus Dur membalasnya dengan lelucon cerdas, “maju saja dituntun, apalagi mundur.” (Lih. Biografi Gus Dur, 2016).

Berpijak pada pengalaman para tokoh dan guru bangsa yang menjadikan buku sebagai ‘sahabat karibnya’ dapat dikatakan, anggapan sebagian besar orang bahwa memang, mereka sudah ditakdirkan sebagai pemimpin besar dan berpengaruh sejak dari lahir dengan sendirinya gugur. Sekali lagi, anggapan demikian adalah sebuah kesesatan berpikir.

Lagi pula pada umumnya, orang lebih terpesona pada ujung (hasil) daripada proses. Kebanyakan orang terpedaya dengan kemampuan dan keunggulan para tokoh tersebut tanpa melihat tahapan demi tahapan sebagai proses yang membentuk mereka sebagai pribadi yang tahan terhadap pelbagai ujian dalam dinamika hidupnya.

Dengan kata lain, mereka adalah orang-orang yang sungguh menyadari diri, dan dengan itu mereka mengasah potensi dirinya demi meningkatkan kapasitas diri.

Dalam bahasa akademis-etik, mereka adalah ‘cendekiawan berdedikasi’ karena komitmen, konsistensi, determinasi yang tak mudah goyah.

Mereka adalah orang-orang yang memiliki integritas, kapabilitas, intelektualitas dan etikabilitas. Pada mereka layak disematkan Negarawan.

Lebih dari itu, mereka mengabadikan buah pemikirannya dalam tulisan yang dapat dibaca banyak orang. Itulah warisan mereka yang amat bernilai bagi generasi-generasi berikutnya termasuk kita. Kemampuan menulisnya hanya dan sekali lagi hanya diperoleh lewat ketekunan membaca.

Bagi mereka, tidak pernah ada kata cukup apalagi berhenti membaca. Sebab membaca meluaskan ‘cakrawala’, memperkaya perbendaharaan kata, merawat nurani, memupuk kepekaan, menambah kepedulian, menjernihkan pikiran, memperkuat ingatan dan melestarikan akal sehat.

Dibahasakan dengan cara sederhana, membaca adalah cara cerdas membebaskan diri dari kebodohan.

Sebab seorang penulis yang hebat (terkenal) lahir dari kebiasaan membaca yang giat. Maka dari itu, jangan pernah merasa cukup, bosan, apalagi berhenti membaca!!! Bacalah mulai dari sekarang…!!!

(Penulis adalah pegiat sosial, alumnus STFK Ledalero, tinggal di Labuan Bajo)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved