Wawancara Eksklusif

Wawancara Eksklusif M Nasir Djamil: Ide Permanenkan MKMK Turunkan Derajat Kenegarawanan Hakim

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS M Nasir Djamil tidak sepakat wacana atau ide MKMK agar dipermanenkan.

Editor: Alfons Nedabang
TRIBUN GAYO
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, M Nasir Djamil. 

Karena atribut-atribut yang melekat kepada Hakim Mahkamah Konstitusi itu sudah ditanggalkan oleh putusan MKMK tersebut.

Pemikiran Bang Nasir berarti sama dengan salah satu Hakim Konstitusi yang dissenting opinion bahwa seharusnya Pak Anwar Usman diberhentikan. Tapi kalau mengacu kepada pernyataan Prof Mahfud apabila Anwar Usman diberhentikan dia bisa mengajukan banding artinya akan ada proses hukumnya lebih panjang. Apakah ini sudah cukup?

Iya jadi karena Mahkamah Konstitusi itu kan lebih mengedepankan integritas, etika, jadi martabat Hakim Mahkamah Konstitusi itu bukan hanya pada putusannya tapi juga pada perilakunya.

Oleh karena itu ketika ada putusan MKMK tersebut maka secara otomatis dalam pandangan saya itu menanggalkan berubah kebesaran itu. Jadi seolah-olah jubah itu dikoyak-koyak dengan kebutuhan MKMK itu.

Setelah dikoyak-koyak atau di ditaruh di suatu tempat artinya seolah-olah keputusan Majelis Kehormatan itu ingin mengatakan bahwa Anda ( Anwar Usman ) tidak laik lagi menggunakan jubah.

Saya katakan sebaiknya Pak Anwar lebih terhormat kalau dia mengundurkan diri karena memang putusan itu sangat berat dan menodai Mahkamah Konstitusi.

Ada kemudian yang beranggapan seharusnya dengan dinonaktifkan Pak Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi bisa dikaitkan dengan menganulir karpet merah Gibran Rakabuming Raka?

Ya tapi kan Indonesia ini kan negara peraturan, bukan negara hukum, negara undang-undang dan peraturan. Jadi soal etikabilitas, integritas itu kan belum menjadi sesuatu yang bahagian dari keputusan-keputusan politik.

Asal sesuai dengan aturan ya sudah persoalan itu di luar etika, di luar integritas itu dalam pandangan saya selama ini terjadi bukan masalah. Yang penting aturannya dilalui.

Contoh misalnya undang-undang Cipta Kerja misalnya dikebut siang malam kemudian mengabaikan aspek-aspek formal dan lain sebagainya yang penting sesuai saja sama mereka. Soal bahwa ini pantas atau tidak patut nggak ada urusan.

Makanya saya katakan negara kita ini sebenarnya bukan negara hukum tapi negara undang-undang jadi dibuat aturan. Kalau negara hukum itu hukum punya moralitas.

Nah moralitas hukum itulah yang kemudian membuat hukum itu menjadi bermartabat problemnya karena kita belum sampai kepada negara hukum. Nah akhirnya moralitas hukum itu ditempatkan di satu tempat. Itu sebabnya kemudian hukum di negeri ini seperti pagar kawat yang mudah dibengkokkan ke mana dia mau.

Apakah ada kemudian Komisi III DPR memanggil Mahkamah Konstitusi?

Ketika ada lembaga-lembaga negara yang diatur pengaturannya dalam konstitusi itu kami sebut dengan rapat konsultasi. Itu biasanya biasanya lazim yang kami lakukan selama ini kami mendatangi lembaga tersebut.

Jadi kami misalnya bertandang ke BPK, bertandang ke Mahkamah Agung, bertandang ke Mahkamah Konstitusi dan rapat konsultasi itu bukan rapat pengawasan lebih kepada pertanyaan-pertanyaan bagaimana meningkatkan kapasitas kompetensi hakim kemudian sarana dan prasarana yang membuat agar tugas-tugas hakim bisa lebih baik putusan dan bisa lebih memberikan keadilan kepada masyarakat.

Halaman
1234
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved